Pura Tugu yang berdiri di Desa Tegal Tugu, Keeamatan Gianyar adalah pura yang tergolong pura tua. Kapan persisnya pura itu dibangun belum ada kepastian sejarah. Yang jelas pura tersebut adalah Untuk memohon kesejahteraan di bhur loka, terutama samudera dan kesejahteraan pertanian. Hal ini dibuktikan dengan adanya pelinggih untuk Ida Batara di Segara dan Ida Batara di Ulun Suwi.
Hal itu pula mengingatkan pada adanya Samudra Kerti dan Danu Kerti sebagai unsur Sad Kerti. Pura Tugu pada awalnya untuk memuja Tuhan agar ada kemakmuran ekonomi pertanian melalui pemujaan Tuhan di Pelinggih Batara Segara dan di Pelinggih Batara Ulun Suwi. Pura Segara adalah pura yang konon sudah ada sebelum Mpu Kuturan mendampingi raja menata Bali. Tri Kahyangan Bali sebelumnya ada Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman adalah Pura Segara, Pura Penataran dan Pura Pucak.
Tiga Kahyangan itu sebagai sarana untuk memuja Tuhan yang berada di Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Setelah Mpu Kuturan di Bali barulah ada pendirian Pura Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman atas anjuran Mpu Kuturan. Pura ini tergolong pura yang pernah dikunjungi oleh Dang Hyang Dwijendra ketika beliau bertirthayatra di Bali. Sayang saat beliau berkunjung ke Desa Tegal Tugu, pemangku pura mewajibkan beliau menyembah tanpa sopan santun penghormatan pada tamu yang datang. Apa lagi yang datang itu adalah orang suci dan sakti.
Karena pemangku pura mewajibkan Dang Hyang Dwijendra menyembah di pura tersebut, maka beliau pun bersedia melakukan hal itu. Menyembah di pura tersebut pun dilakukan oleh Dang Hyang Dwijendra. Hal itu dilakukan semata-mata untuk mematuhi perintah pemangku. Bukan karena atas kehendak Dang Hyang Dwijendra. Hal itulah yang menyebabkan pelinggih di Pura Tugu itu akhirnya hancur karena Dang Hyang Dwijendra menyembah di pura tersebut tidak atas dorongan hati beliau.
Sesungguhnya dalam etika Hindu tidak tepat melakukan pemujaan di suatu pura manapun atas pemaksaan atau rayuan dari pihak lain. Lebih-lebih Dang Hyang Dwijendra adalah seorang pandita dwijati. Beliaulah yang sesungguhnya menentukan pemujaan tersebut bagaimana seyogianya dilakukan. Dang Hyang Dwijendra sudah mencapai berbagai persyaratan seorang pandita dan beliau sudah diyakini sebagai pandita sakti.
Mengapa Dang Hyang Dwijendra disebut pandita sakti, karena beliau memiliki banyak ilmu pengetahuan dan banyak pengalaman dalam mengamalkan ilmu yang dimiliki itu. Sakti menurut Wrehaspati Tattwa adalah mereka yang memiliki banyak ilmu dan banyak kerja berdasarkan ilmu yang dimiliki itu. Sebagai orang yang sakti dan suci, Dang Hyang Dwijendra tentunya tidak mudah terpancing oleh sikap yang arogan dan mana pun datangnya.
Beliau sudah tangguh (dira) dan sudah mampu mengatasi suka dan duka. Dipuji, disanjung maupun dihina bagi beliau diterima secara seimbang. Karena ciri seorang brahmana adalah memiliki sifat-sifat sama, dharma, papa, sauca, ksanti, arjawa, jnyanam, wijnyanam, dan astikyam sebagaimana dinyatakan dalam Sloka Bhagawad Gita yang dikutif di atas.
Sama artinya seimbang. Dalam Bhagawad Gita 11.15 ada dinyatakan sama duhka, sukha diram, artinya seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Orang yang tidak terganggu oleh keadaan senang dan menderita akan mencapai kehidupan yang kekal abadi. Dang Hyang Dwijendra nampaknya sudah berada dalam keadaan seperti itu. Dengan demikian beliau tidak menolak ketika disuruh menyembah di Pura Tugu tersebut.
Dhama adalah orang yang mampu menasehati dirinya sendiri. Dalam Sarasamuscaya 57 dinyatakan: dama ngarania upasarna dening tuturnia. Artinya tenang dan sabar tahu menasehati dirinya sendiri. Tapa adalah orang yang tahan akan dinamika panasnya kehidupan ini. Dalam Sarasamuscaya 57 dinyatakan: tapa ngaranya carira sang cosana adalah mampu mengendalikan jasmaninya. Sauca adalah suci lahir dan batin. Ksanti selalu dalam keadaan tenang dan damai.
Arjawa adalah orang yang sangat jujur dalam Sarasamuscaya 63 ada dinyatakan sbb: arjawa, si duga-duga bener. Artinya orang yang benar-benar jujur. Knyanam adalah memiliki ilmu pengetahuan. Wijnyanam adalah bijaksana karena telah memiliki banyak menguasai ilmu pengetahuan. Astikyam sangat paham dan percaya pada ajaran suci Weda.
Demikianlah sembilan syarat yang dikemukakan oleh Bhagawad Gita XVIII.42 untuk menentukan untuk bisa disebut seorang brahmana. DangHyangDwijendra sepertinya sudah memenuhi sembilan syarat yang dinyatakan dalam Sloka Bhagawad Gita tersebut. Karena di Pura Tugu di Desa Tegal Tugu itu Dang Hyang Dwijendra di.stanakan thpelinggih yang berbentuk Candi diapit oleh Pelinggih Segara dan Pelinggih Ulun Suwi. Istilah candi umumnya digunakan sebagai bangunan suci di Pulau Jawa. Di Bali candi itu disebut Tugu. Karena itu pura tersebut Pura Tugu, maksudnya Pura Candi.
Pura Tugu itu sudah menjadi tempat pemujaan umum, dan semua kalangan dan seluruh Bali, terutama dan pratisentana Dang Hyang Dwijendra. Pemujaan tersebut hendaknya dilakukan untuk dapat menyerap nilai-nilai kebrahmanaan untuk dijadikan landasan moral dan mental dalam menapaki kehidupan ini. Lebih-lebih pada zaman post modern ini semakin dibutuhkan kekuatan moral dan mental sebagai dasar untuk menapaki kehidupan ini. Memperhatikan keberadaan pelinggih di Pura Tugu ini adalah untuk memuja Tuhan untuk membangun sifat-sifat kebrahmanaan untuk memelihara alam dan kehidupan bersama yang dinamis harmonis dan produktif untuk mengembangkan kehidupan yang sejahtera lahir batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar