Rabu, 16 Juni 2010

Pura Batu Bolong, Lombok - NTB

Pura Batu Bolong, Lombok - NTB. Disudut tikungan jalan menurun menuju Senggigi, Lombok, di situlah Pura Batu Bolong berada. Sebuah pura yang berdiri di atas batu karang yang bolong (berlubang) serta tetap kokoh, tegar dan agung di bibir pantai Senggigi ini, menyhnpan aura religius yang kuat dengan keindahan pantainya. Buih-buih ombak yang ramah seolah senantiasa meranku1 dengan damai areal pura dan pantainya.
Awal memasuki kawasan pura yang piodalan-nya jatuh pada Purnamaning Kasa ini, umat Hindu atau pamedek yang hendak tangkil (melakukan persembahyangan) bisa masuk melalul Candi Bentar bertekstur pasir. Di kiri-kanan gerbang utama ini ada pintu kecil (betelan) berterali besi sebagai side entrance atau pintu sampingnya.

Di sebelah kiri areal (dekat jalan raya), terdapat bukit yang di atasnya berdiri Pura Pucaksari Melanting dengan beberapa pelinggih dan bangunan pelengkap, seperti Palinggih Pasimpangan Gunung Agung, Pasimpangan Gunung Rinjani, Pasimpangan Ayu Mas Melanting dan Bale Pawedan. Di sekeliling, selain pantai nan elok, juga beragam pepohonan tumbuh di areal dekat pura. Seperti pohon beringin (di Jaba Sisi), bujut, celagi (asem), waru (di tepi pantai), pule, dan lain-lain.

Memasuki areal pura, orang akan menuruni tangga terlebih dulu, sebelum melewati beberapa pelinggih yang berdiri di sekitar jalan setapak menuju puncak Pura Batu Bolong. Saat pertama, di sisi kiri jalan yang dilalui, ada dua pelinggih (dalam satu penyengker). Yang lebih dekat dengan pintu masuknya, berdiri (menghadap ke selatan), palinggih Bagus Balian. Di sisi kiri dari pelinggih itu (menghadap ke barat) ada pelinggih Pengayengan Ratu Gde Mas Mecaling.

Pada sisi kirinya, berjejer Bale Pewaregan dan Bale Pakemit. Melewatinya, di sebelah kanan jalan setapak terdapat Bale Pawedan dan Bale Pengodal. Menyusul di belakang Pelinggih Pangelukatan (dasar palinggih-nya bersentuhan dengan air laut). Seberang kanannya ada Palinggih Pelawangan.

Setelah melewati bangunan-bangunan suci inilah, orang bisa menyaksikan lebih dekat onggokan batu karang besar, berlubang menjulang vertikal. Ibarat menganga, lidah dan suara debur ombak terlihat menembus dan berkecipak dilubang batu karang itu. Maka, suasana alam yang indah berpadu dengan hamparan aura religi yang teduh memendarkan kekaguman. Serta keindahan yang khusuk merasuki benak setiap orang.

Di sebelah batu berlubang/bolong itulah tersedia undag-undag. Naik menuju hulu atau bagian atas batu karang. Tempat di mana terdapat Padmasana, pelinggih Batara Ayu Mas Lingsir Batu Bolong, palinggih Batara Bagus Lingsir Batu Bolong. Juga pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh dan (di atas tebing yang paling ujung-menjorok ke laut) pesimpangan Petirthan. Beberapa jenis patung yang ada di kompleks pura ini antara lain patung Subali, Sugriwa, Rama, Laksmana, dan patung naga.

Berpindah-pindah
Menurut beberapa sumber, perjalanan Dang Hyang Dwijendra hingga ke Pulau Lombok merupakan lanjutan dari perjalanan beliau dari Jawa dan Bali. Beliau kerap berpindah-pindah tempat. Di awali dari daerah Daha, kemudian ke Pasuruan, Blambangan, terus ke kawasan Pulau Bali bagian Barat-Jembrana (sekitar tahun Çaka 1411).

Pun, selain mengelilingi pantai selatan Pulau Bali, beliau melanjutkan peralanan spiritual ke kawasan Bali Utara. Seperti Pura Pulaki hingga ke Pura Ponjok Batu, sebelum melanjutkan perjalanannya ke Pulau Lombok. Di tempat yang terakhir itulah Dang Hyang Dwijendra disebutkan sempat menolong beberapa orang bendega atau nelayan perahu yang karam dekat Ponjok Batu. Para bendega asal Lombok yang diselamatkan beliau itu konon turut mengantarkan Dang Hyang Dwijendra ke Lombok.

Bapak Mangku Made Sada, salah satu pemangku yang sehari-hari siap melayani umat tangkil ke pura itu, mengungkapkan. Katanya, keberadaan pura itu memiliki nilai sejarah dan spiritual sebagai bagian dari perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra, usai menyusuri pantai-pantai di Bali. Dikatakannya, sebelum beliau - yang disebut pula sebagai Ida Peranda Sakti Wawu Rauh — sampai di Batu Belong, pertama kali memasuki kawasan Tanjung Bukur dan Pura Kapusan - Lombok Barat. Selanjutnya, setelah tiba di Batu Bolong, perjalanan beliau dilanjutkan ke Lingsar dan Suranadi.

Pura Batu Bolong yang berhadapan dengan Selat Lombok dan Gunung Agung di Bali ini memiliki atmosfir spiritual yang mampu memberikan kedamaian dan ketenangan bagi para pemedek yang ngaturang bakti ke pura ini.

Ikhwal yang paling menonjol peran beliau dalam penerapan konsep pembangunan pura di Bali maupun di Lombok adalah tentang perlunya dibangun sebuah pelingggih dalam bentuk Padmasana. Sebagai sthana Ida Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Pencipta). Dikatakan berbeda peuntukannya dengan tempat pemujaan lain, yang umumnya berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur dan para dewa.
 
Vibrasi Kesucian
Karya arsitektur Pura Batu Bolong-Lombok ini boleh dikata muncul akibat kebutuhan manusia (umat Hindu) akan ruang peribadatan yang dapat mewadahi seluruh aktivitas spiritual-religiusnya. Dengan demikian, peran kreasi manusia di tempat ini dan kondisi alam sekitar pantai Senggigi akan senantiasa mewarnai dan membantu menambah vibrasi kesucian pura itu sendiri.

Pura ini juga diyakini oleh masyarakat umat Hindu setempat dapat memancarkan spirit atau getaran rohani yang damai, teduh dan khusuk. ”Mengalami” ruang dan massa arsitektur pura ini mengantarkan orang lebih mamahami “jarak”, “waktu” dan “spirit”. Kegiatan “mengalami” yang dimaksud saat berada didalam pura ini adalah di mana orang bersentuhan langsung dengan realitas. Orang dapat merasakan ruang, permukaan massa dan benda-benda alam pantai serta “spirit” tempat dengan segenap indera yang dimiliki.

Bagaimana pun, Pura Batu Bolong yang terletak di Lombok ini memiliki makna tradisi yang berkaitan dengan kehidupan budaya masyarakat Hindu di Lombok yang “diwariskan” oleh budaya Bali. Selain secara historis-geografis punya kedekatan, masyarakat umat Hindu setempat tetap masih kuat melekatkan makna tradisi didalamnya. Secara prinsip punya kemiripan dengan makna tradisi yang ada Bali. Hal ini terlihat dari jenis-jenis pelinggih yang dibangun di pura itu.

Dengan tetap berpijak pada desa-kala-patra dan aspek ekologisnya, tentu ada bagian bagian yang mengalami penyesuaian atau transformasi. Bentuk pintu gerbang yang tidak terlalu besar dan tinggi, panggunaan bahan yang diperoleh dari lingkungan atau alam setempat, bentuk pepalihan yang dikembangkan serta penempatan dari jenis patung yang ada, boleh dikata menunjukkan hal itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar