Varsikamscaturo nasanyatha
Indro’bhipravarsati
tathabhivarsetsmam rastra
kamair Indrvratam caran
(Manawa Dharmasastra, IX, 304)
Maksudnya: Laksana Dewa Indra menurunkan hujan yang berlimpah selama empat bulan setiap tahun, demikianlah raja menempati kedudukan bagaikan Dewa Indra dengan menghujankan kemakmuran bagi rakyatnya.
KEBERADAAN Pura Gumang di Bukit Juru, Desa Bugbug, Karangasem, ada hubungannya dengan adanya mata air yang mengaliri sawah ladang di sekitar Desa Bugbug. Keterangan tertulis yang bernilai sejarah tentang Pura Gumang di Bukit Juru ini memang sampai saat ini masih belum diketemukan. Keterangan tentang pura tersebut hanya didapat dari keterangan orang tua-tua seperti pemangku yang menjadi jan banggul di Pura Gumang dan juga dari tokoh-tokoh masyarakat yang menaruh perhatian tentang agama dan adat Hindu.
Cerita itu didapatkan Secara turun-temurun. Menurut cerita rakyat yang dicatat oleh Tim Penelitian Sejarah Pura IHD (kini Unhi), dulu ada seorang dari Jawa bernama I Dewa Gede datang ke Bali. Saat I Dewa Gede datang ke Bali, masyarakat Bali tidak begitu hirau. Setelah beberapa lama I Dewa Gede berputar-putar di Bali, akhirnya ia menemukan tempat yang sangat menenangkan hatinya. Tempat itu adalah Bukit Juru yang juga bernama Bukit Gumang.
Di tempat itu, I Dewa Gede melakukan olah tapa sambil bertani bersama-sama masyarakat petani setempat. Di daerah Bukit Juru, pertanian mengandalkan air tadah hujan. Upaya menghijaukan Bukit Juru tidak pernah berhenti dilakukan oleh I Dewa Gede.
Di samping itu, dalam melakukan oleh tapa, ia senantiasa memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar muncul mata air dan sungai untuk kesuburan pertanian masyarakat di sekitarnya. Dalam upaya melakukan penghijauan dengan air tadah hujan dan melakukan tapa barata itu, akhirnya suatu saat muncuJiah mata air di Pura Gumang di Bukit Juru sekarang ini.
Atas keberhasilan usaha I Dewa Gede bersama masyarakat petani secara sekala dan niskala ini, I Dewa Gede lantas dicintai oleh rakyat. Hal itu berhasil tentunya karena waranugraha Hyang Widhi Wasa. Oleh karena adanya waranugraha itulah akhiniya Pura Gumang didirikan di mata air tersebut. Kata Gumang konon berasal dari paiguman yang artinya musyawarah. Atas keberhasilan I Dewa Gede menghijaukan Bukit Juru itu dengan upaya sekala dan niskala itu pula, akhirnya rakyat mengadakan rapat (igum) untuk mengadakan upacara di Pura Gumang dan memberikan hadiah sapi kepada I Dewa Gede. Saat itu I Dewa Gede diberikan tambahan nama menjadi I Dewa Gede Gumang. Konon sapi-sapi persembahan rakyat itu pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang habis ditembaki oleh orang-orang Belanda dan Jepang yang suka berburu di Bukit Juru itu. Ada juga versi lain tentang keberadaan Pura Gumang ini. Menurut Jero Mangku Nengah Silur, zaman dulu para dewa turun dan Gunung Mahameru di India ke Jawa dan Bali. Di Bali, para dewa ke Pulaki, Silayukti, CandiDasa.
Di Candi Dasa, para dewa menemukan air. Air itu atas kehendak para dewa terus menjadi telaga dengan tamannya. Para dewa ingin bermeditasi dengan dapat melihat Gunung Agung dengan Pura Besakih-nya secara lurus. Ternyata, dan Candi Dasa para dewa tidak dapat melihat Gunung Agung dengan jelas dan lurus.
Para dewa lalu pindah ke Gunung Gundul, ke Bukit Pejenengan. Ternyata sama juga, Gunung Agung tidak bisa dilihat secara baik. Dan dua tempat itu, mereka akhirnya berpindah ke Bukit Juru yang berbadan tiga. Dan Bukit Juru inilah para dewa barn melihat Gunung Agung dengan lurus. Di Bukit Juru inilah para dewa melakukan musyawarah (mapaiguman) melakukan yoga dan tapa serta mendirikan pura untuk memuja Hyang Widhi di Pura Besakih.
Lewat musyawarah itulah Bukit Juru disebut Bukit Gumang. Yang bermusyawarah itu adalah para déwa untuk melimpahkan karunianya pada umat yang berusaha memajukan hidupnya, seperti mengembangkan tradisi kehidupan yang agranis. Di Tampaksining juga ada Pura Gumang yang dilatarbelakangi oleh pertemuan Dewa Indra dengan para dewa untuk menata kehidupan di Bali setelah dapat mengalahkan Mayadenawa. Demikian mitologi tentang Mayadenawa. Di tempat - Dewa Indra bermusyawarah atau mapaiguman itulah dibangun Pura Catur Paigu- man yang selanjutnya disebut Pura Gumang di Tampaksiring.
Di Pura Gumang di Bukit Juru terdapat beberapa petinggih utama dan pelengkap. Ada peling.gih Gedong sebagai stana Ida Bhatara Gede Gumang yang juga disebut Ida Bhatara Gede Manik Mas Kecatur. Di kiri kanan Gedong, agak mundur sedikit, terdapat tiga pelinggih Taksu yang mengapit Gedong - dua dikiri dan satu di kanan. Tiga Taksu tersebut sebagai pelinggih Ida Bhatara Gede Gumang.
Ada pula pelinggih Meru tumpang tiga sebagai stana Ida Bhatari Uma, saktinya Dewa Siwa. Mengapa Ida Bhatara Gede Gumang disebut juga Ida Bhatara Gede Manik Mas Kecatur, hal mi mungkin sebagai bukti bahwa I Dewa Gede itu pemuja Bhatara Siwa dengan saktinya Sang Catur Dewi. Dewa Siwa memiliki empat sakti yaitu Dewi Uma, Dewi Perwati, Dewi Gangga, dan Dewi Gauri. Empat sakti Siwa inilah yang disebut Sang Catur Dewi.
Cerita itu didapatkan Secara turun-temurun. Menurut cerita rakyat yang dicatat oleh Tim Penelitian Sejarah Pura IHD (kini Unhi), dulu ada seorang dari Jawa bernama I Dewa Gede datang ke Bali. Saat I Dewa Gede datang ke Bali, masyarakat Bali tidak begitu hirau. Setelah beberapa lama I Dewa Gede berputar-putar di Bali, akhirnya ia menemukan tempat yang sangat menenangkan hatinya. Tempat itu adalah Bukit Juru yang juga bernama Bukit Gumang.
Di tempat itu, I Dewa Gede melakukan olah tapa sambil bertani bersama-sama masyarakat petani setempat. Di daerah Bukit Juru, pertanian mengandalkan air tadah hujan. Upaya menghijaukan Bukit Juru tidak pernah berhenti dilakukan oleh I Dewa Gede.
Di samping itu, dalam melakukan oleh tapa, ia senantiasa memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar muncul mata air dan sungai untuk kesuburan pertanian masyarakat di sekitarnya. Dalam upaya melakukan penghijauan dengan air tadah hujan dan melakukan tapa barata itu, akhirnya suatu saat muncuJiah mata air di Pura Gumang di Bukit Juru sekarang ini.
Atas keberhasilan usaha I Dewa Gede bersama masyarakat petani secara sekala dan niskala ini, I Dewa Gede lantas dicintai oleh rakyat. Hal itu berhasil tentunya karena waranugraha Hyang Widhi Wasa. Oleh karena adanya waranugraha itulah akhiniya Pura Gumang didirikan di mata air tersebut. Kata Gumang konon berasal dari paiguman yang artinya musyawarah. Atas keberhasilan I Dewa Gede menghijaukan Bukit Juru itu dengan upaya sekala dan niskala itu pula, akhirnya rakyat mengadakan rapat (igum) untuk mengadakan upacara di Pura Gumang dan memberikan hadiah sapi kepada I Dewa Gede. Saat itu I Dewa Gede diberikan tambahan nama menjadi I Dewa Gede Gumang. Konon sapi-sapi persembahan rakyat itu pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang habis ditembaki oleh orang-orang Belanda dan Jepang yang suka berburu di Bukit Juru itu. Ada juga versi lain tentang keberadaan Pura Gumang ini. Menurut Jero Mangku Nengah Silur, zaman dulu para dewa turun dan Gunung Mahameru di India ke Jawa dan Bali. Di Bali, para dewa ke Pulaki, Silayukti, CandiDasa.
Di Candi Dasa, para dewa menemukan air. Air itu atas kehendak para dewa terus menjadi telaga dengan tamannya. Para dewa ingin bermeditasi dengan dapat melihat Gunung Agung dengan Pura Besakih-nya secara lurus. Ternyata, dan Candi Dasa para dewa tidak dapat melihat Gunung Agung dengan jelas dan lurus.
Para dewa lalu pindah ke Gunung Gundul, ke Bukit Pejenengan. Ternyata sama juga, Gunung Agung tidak bisa dilihat secara baik. Dan dua tempat itu, mereka akhirnya berpindah ke Bukit Juru yang berbadan tiga. Dan Bukit Juru inilah para dewa barn melihat Gunung Agung dengan lurus. Di Bukit Juru inilah para dewa melakukan musyawarah (mapaiguman) melakukan yoga dan tapa serta mendirikan pura untuk memuja Hyang Widhi di Pura Besakih.
Lewat musyawarah itulah Bukit Juru disebut Bukit Gumang. Yang bermusyawarah itu adalah para déwa untuk melimpahkan karunianya pada umat yang berusaha memajukan hidupnya, seperti mengembangkan tradisi kehidupan yang agranis. Di Tampaksining juga ada Pura Gumang yang dilatarbelakangi oleh pertemuan Dewa Indra dengan para dewa untuk menata kehidupan di Bali setelah dapat mengalahkan Mayadenawa. Demikian mitologi tentang Mayadenawa. Di tempat - Dewa Indra bermusyawarah atau mapaiguman itulah dibangun Pura Catur Paigu- man yang selanjutnya disebut Pura Gumang di Tampaksiring.
Di Pura Gumang di Bukit Juru terdapat beberapa petinggih utama dan pelengkap. Ada peling.gih Gedong sebagai stana Ida Bhatara Gede Gumang yang juga disebut Ida Bhatara Gede Manik Mas Kecatur. Di kiri kanan Gedong, agak mundur sedikit, terdapat tiga pelinggih Taksu yang mengapit Gedong - dua dikiri dan satu di kanan. Tiga Taksu tersebut sebagai pelinggih Ida Bhatara Gede Gumang.
Ada pula pelinggih Meru tumpang tiga sebagai stana Ida Bhatari Uma, saktinya Dewa Siwa. Mengapa Ida Bhatara Gede Gumang disebut juga Ida Bhatara Gede Manik Mas Kecatur, hal mi mungkin sebagai bukti bahwa I Dewa Gede itu pemuja Bhatara Siwa dengan saktinya Sang Catur Dewi. Dewa Siwa memiliki empat sakti yaitu Dewi Uma, Dewi Perwati, Dewi Gangga, dan Dewi Gauri. Empat sakti Siwa inilah yang disebut Sang Catur Dewi.
Dalam kaitannya memuja Tuhan untuk memohon turunnya mata air dan sungai yang mengalir di daerah Bughug, Jasi, Bebandem, Datah dan Ngis, ada kaitannya dengan cerita turunnya sungai Gangga dan Sorga Loka dalam cerita Purana di India.
Pendirian pelinggih untuk I Dewa Gede mi tentunya dibuat setelah I Dewa Gede Gumang sudah berbadan niskala dalam statusnya yang sudah menjadi Dewa Pitara. Umumnya, roh suci atau Dewa Pitara seorang tokoh dibuatkan pelinggih bukan oleh din tokoh tersebut, namun dibuat oleh keturunannya atau masyarakat generasi setelah tokoh tersebut sudah berbadan niskala sebagai Dewa Pitara atau Siddha Dewata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar