Rabu, 16 Juni 2010

PURA PULAKI ini berdekatan dengan Pura Dalem Melanting yakni pantai utara Pulau Bali, termasuk Desa Banyupoh, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng. Pura atau Khayangan ini disamping sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam perwujudannya (manifestasi)-Nya. Pura ini juga sebagai tempat memuliakan dan memuja arwah suci dari Sri Patni Kaniten- salah seorang istri dari Danghyang Nirartha yang diberi gelar “Bhatari Dalem Ketut”. Pembangunan Pura Pulaki ini ada kaitannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha seperti halnya Pura Dalem Melanting. Di dalam Dwijendra Tattwa mengenai asal mula berdirinya pura atau khyangan pulaki disebutkan: Pada waktu itu istri Danghyang Nirartha Sri Patni Kaniten yang berasal dari Blambangan bergelar Mpu Istri Ktut dalam keadaan payah menyembah Danghyang Nirartha dan berkata, “Mpu Danghyang, dinda tidak kuasa lagi melanjutkan perjalanan dan rasanya ajal hamba sudah tiba, karena itu ijinkanlah dinda sampai disini saja mengiringi Mpu Danghyang.

Dengan hormat serta kerenahan hati yang tulus iklas dinda mohon agar diberikan ajaran ilmu gaib sebagaimana yang sudah diberikan kepada anakda Ni Ayu Swabhawa, agar adinda dapat terlepas dari segala dosa dan kembali menjadi Dewa,” demikian permohonan Mpu Isteri Ktut. Danghyang Nirartha lalu menjawab, “baiklah kalau demikian, dinda diam disini saja bersama-sama dengan puteri kita Ni Ayu Swabhawa, ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting, dan adinda boleh menjadi “Bhatari Dalem Ktut” yang akan menjadi junjungan dan disembah orang-orang desa disini. Desa bersama orang-orang yang ada disini akan kanda “Pralina” (hanguskan), sehingga tidak dapat lagi dilihat oleh manusia biasa dan semua orang-orangnya menjadi orang halus (wong gamang) namanya orang “Sumedang”, sedang daerah desa ini kemudian bernama “Mpu Laki”, demikian kata Danghyang Nirartha.

Setelah itu menggaiblah Mpu Isteri Ktut dan tidak dapat dilihat manusia lagi, dan kemudian Danghyang Nirartha bersama putra-putrinya meneruskan perjalanannya dengan tujuan Gelgel untuk bertemu dengan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang bertahta dan memerintah di Bali. Dalam perjalanannya ini Danghyang Nirartha pertama tiba di Desa Gadingwani, dan oleh orang desa Gadingwani Danghyang Nirartha dimohon agar berkenan untuk sementara waktu tinggal di desa Gadingwani untuk mohon pengobatan, berhubung desa Gadingwani sedang diserang wabah penyakit sehingga banyak rang-orang desa menderita sakit, dan malahan tidak sedikit sudah menemui ajal sebagai korban penyakit yang sedang berkecamuk itu..dan seterusnya.

Begitulah di tempat moksa (menggaibnya) Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut itu kemudian dibangun sebuah bangunan suci (Pura atau Khayangan) yang diberi nama Pura Pulaki sebagai tempat memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa. Selain itu disini dimuliakan yaitu Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut. *patra dari berbagai sumber

JAGA KESUCIAN PURA
PURA Pulaki terletak di Desa Banyupoh, Kecamatan Grokgak, Buleleng. Penyungsung pura atau pengemponnya terdiri atas desa-desa yang ada di Grokgak dan Seririt. Dari kedua Kecamatan ini ada 42 Desa adat atau Subak sebagai pengempon utamanya. Pura Pulaki yang pujawalinya jatuh pada Purnama Kapat ini tetap harus dijaga kesuciannya. Pasalnya di Pura ini ada tempat yang disebut dengan Utamaning Mandala yang sama sekali tidak boleh dinaiki oleh orang sembarangan, mengingat tempat ini boleh dibilang teramat disucikan. Jangan krama pamedek yang boleh kesana (pelinggih utama-red) tiang sebagai pemangku saja tidak dibolehkan menginjak tempat itu.

Dan ini harus ada sejenis upacara tertentu untuk bisa ke pelinggih utama itu. Di pelinggih bawah ada dua pelinggih sebagai penyawangnya. Dari sanalah umat ngaturang bhakti dan menghaturkan sarana upakara, ucap Jro Mangku Mas. Dikatakan karena sangat disucikan pelinggih utama itu, maka harus bebas dari cakar atau “injakan kaki”, ini semata-mata untuk menjaga kesucian pura. Jro Mangku pun kurang tahu sejarah persisnya mengapa tidak boleh naik keatas.

Tapi kalau ada upacara besar seperti “ngeteg linggih” di pura baru dibolehkan naik ke atas yakni ke pelinggih utama itu, katanya. Disamping ada persyaratan tidak boleh munggah keatas, terutama utama mandala, juga pamedek disarankan sangat hati-hati dengan kera atau monyet yang berkeliaran disana. Bojog ini sangat nakalnya, sehingga setiap krama pamedek yang kurang hati-hati jangan harap tasnya atau sandalnya dan sarana upakaranya bisa selamat. Setiap bawaan tidak boleh lengah membawanya, karena setiap saat kera ini siap menyambar bawaan pamedek. Ditanya mengapa kera ini sangat licik dan menyambar bawaan pamedek? Dengan enteng Jro Mangku mengatakan, cuma karena lapar saja, karena tidak ada yang mengurusnya. Tapi Jro Mangku hanya bisa menyarankan saja, setiap bawaan dijaga dengan waspada. Karena upakara yang masih suklapun akan siap disambar oleh monyet yang nakal itu.

Kadang-kadang Monyet itu sempat melawan bila kita mau menghalaunya. Banyak pamedek yang takut oleh ulah monyet ini, katanya menambahkan. Sampai saat ini belum diketahui mengapa bojog yang berada didaerah ini begitu beringas terhadap manusia, padahal dulu tidak begitu, jelas I Wayan Natha salah seorang krama di Pura Pulaki. Banyak yang memperkirakan kebringasan bojog ini terhadap manusia, tidak tertutup kemungkinan karena semakin berkurangnya makanan yang ada disekitarnya. Dulu, bojog-bojog itu mencari makanan di hutan disekitar tempat itu, sekarang hutannya sudah tidak ada. Otomatis bojog hanya mengandalkan makanan yang diberikan pamedek dan umat yang kebetulan sembahyang ke pura. Tetapi semua ini masih tetap dalam perkiraan sementara. 

NGAYAH, KASISIPAN IDA BHATARA
NGAYAH disuatu tempat atau pura, tidak sembarang orang dapat melakukannya. Dalam perjalanan hidup seseorang sering ada pekerjaan yang disebut dengan ngayah. Ngayah berarti melakukan pekerjaan “tanpa mengharapkan hasil”, Dan semuanya harus berdasarkan ketulus iklasan. Begitu juga dialami Jro Mangku Mas, krama asal Brengbeng, Celukan Bawang ini, ketika dihubungi MBA di Pura Pulaki. Dalam hatinya sama sekali tidak terpikirkan untuk ngayah disebuah pura walaupun secara garis keturunan memang sentana pemangku, ujarnya.

Tapi karena tiang tahu yang namanya ngayah pekerjaan berat, paparnya lagi. Tak diduga toh takdir sulit tiang tolak, pasalnya ada sebuah “perintah” yang mengharuskan mau sebagai pengayah. Dalam usia yang telah menginjak 45 tahun Jro Mangku Mas memang masih tampak muda dan penuh semangat. Kegiatan ngayahnya diawali dengan sebuah peristiwa yang terjadi di tahun 1995. Saat itu, katanya mengenang masa lalunya, tiba-tiba rasanya ada sakit yang tidak beres dihati. Sebagai krama Bali tiang yakin sebuah penderitaan yang namanya sakit pasti bisa disembuhkan. Apalagi sakitnya tidak begitu kronis, celotehnya. Berbagai cara sudah tiang upayakan misalnya berobat ke berbagai dokter, semuanya ini tidak menyelesaikan masalah. Payah berobat melalui medis, tiang alihkan saja keberbagai balian. Tapi usaha balian juga tidak ada perubahan. Sakit semakin membandel saja, seolah-olah tidak mau pergi dari badannya. Sehingga tiang menjadi bingung dan ragu. Lebih ragu lagi mau kemana dibawa sakit yang membandel ini. Berdasarkan berbagai mimpi yang telah dialaminya, lantas diputuskannya membawa diri ke seorang dukun yang mumpuni yang berada jauh di Nusa. Oh Tuhan, ternyata jodoh terkuaknya sebuah sakit misterius ini ada pada dukun atau balian dari Nusa tanpa disebutkan namanya. Dari balian ini tiang diharapkan memakai sarana asep (dupa) sebagai terapinya, pasalnya sakit yang dibawa Jro Mangku Mas ini bukanlah penyakit yang mudah disembuhkan. Karena penyakit ini adalah sisipan dari Ida Bhatara tempat leluhurnya ngayah. Balian dari Nusa ini menyarankan, Jro Mangku Mas ngamel dengan sebuah dupa. Dupa itu diletakkan ditempat tidurnya. karena dupa itu sebagai terapi sebagai kesembuhan dirinya, ucap Sang Balian seperti ditirukan Jro Mangku Mas. Akhirnya tanpa diduga, penyakitnya berangsur-angsur hilang. Betapa senangnya hati Jro Mangku Mas saat itu.

Begitu sembuh tahun 1995 dirinya disarankan Balian dari Nusa itu untuk ngayah. Dan jadilah dia Pemangku di Pura Sad Khayangan Pulaki yang merupakan sungsungan Jagat Bali di Bali, sejak saat itu Jro Mangku Mas mulai melaksanakan tugas-tugas kepemangkuan, apakah mabersih-bersih ataukah melayani umat yang bakal pedek tangkil ke pura. Pekerjaan ini dilakukannya dengan tulus iklas, tanpa pamerih.

JRO MANGKU MAS: TIDAK PUNYA OBSESI
DITANYA Obsesinya ngayah sebagai Juru Sapuh dengan jujur Jro Mangku Mas mengungkapkan. Sebenarnya ngayah itu adalah sebuah profesi, kalau sudah menyangkut profesi, otomatis pekerjaan yang dilakukan harus berdasarkan kesenangan hati, tanpa berfikir banyak untung ruginya. Begitu juga dengan tugas tiang sebagai seorang pemangku, katanya sambil tersenyum bangga. Bagaimana sebagai pemangku ini merupakan profesi yang sangat membanggakan. Soalnya ini semua amanat yang diberikan Tuhan kepada kita.
Kembali ke soal untung rugi sebagai seorang pemangku, Jro Mangku Mas menjelaskan, kalau sudah ngayah di tempat suci seperti pura kita tidak boleh terlalu berharap, karena masalah pamerih atau hasil seluruhnya tergantung dari Sang Pencipta. Yang jelas, sebagai Pemangku cuma satu yang tiang minta, “Mogi-mogi Hyang Pramakawi asung suweca ring padewekan tiang keluarga, umat Hindu dan umat manusia yang ada di Mercapada. Inilah yang tiang harapkan. Harta ini tidak dapat diukur dengan uang seberapapun jumlahnya. uang bukan jaminan untuk membahagiakan umat manusia. kalau kita sudah mendapat keselamatan apapun yang akan dicari kemungkinan akan tercapai.

Tinggal kita berusaha menunggu hasilnya sesuai dengan karma kita masing-masing, tukas Jro Mangku dengan penuh harapan. Harapan untuk hidup selamat adalah dambaan umat manusia tanpa terkecuali. Ketika ditanya apa yang sudah didapatkan selama menjadi seorang pemangku. Jro Mangku Mas enggan menjelaskan lebih detail, seakan ada sesuatu yang dirahasiakan. Walaupun begitu Jro Mangku Mas tetap tampil ramah apa adanya, seakan-akan tidak ada beban dalam dirinya. Tampil bersahaja merupakan gaya khas Jro Mangku Mas, karena itu dia selalu merasa dekat dengan umat yang tangkil ke pura. Sedapat mungkin tiang bakal melayani umat dengan baik, katanya enteng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar