Selasa, 22 Juni 2010

Asal Usul Mahapatih Gajah Mada (Serat Babad Gajah Maddha)


Gajah Mada (1299-1364) Mahapatih majapahit yang sangat terkenal dengan sumpah palapanya merupakan satu-satunya orang kuat pada jamannya di nusantara. Salah satu keruntuhan kerajaan Majapahitdikatakan karena tidak memiliki orang kuat yang lain yang cakap untuk menggantikan gajah Mada. Panglima Perang yang ditunjuk menjadi Mahapatih kerajaan Majapahit menggantikan Arya Tadah pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)

Sebagai mahapatih dia berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta (1331) dan kemudian berikrar untuk mempersatukan Nusantara dengan sumpahnya yang dikenal sebagai Sumpah Palapa.
Serat Pararaton memuat Sumpah Palapa yang diucapkan dihadapan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai berikut:
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram, tanjungpura, ring haru, pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik, samana isun amukti palapa”
artinya :
“Apabila sudah kalah Nusantara, saya akan beristirahat, apabila Gurun telah dikalahkan, begitupula Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, pada waktu itu saya akan menikmati istirahat”
Sepeninggalan Gajah Mada Namanya terus di kenang  bukan saja di tanah air akan tetapi sampai di kawasan asia tenggara (yang dulu di sebut Nusantara) bahkan nama Gajah Mada di pakai sebagai nama salah satu Universitas Terkemuka di Indonesia dan juga di pakai sebagai Nama Hotel Berbintang 5.
Sayang sekali asal-usul Mahapatih Gajah Mada yang sangat masyur ini belum jelas diketahui Orang,baik meyangkut Nama orang Tuanya maupun tempat serta tahun kelahirannya.
Muhammad yamin didalam bukunya yang berjudul Gajah Mada, Balai Pustaka,cet ke-6,1960,hal 13 Mengungkapkan tokoh ini sebagai :
“Diantara sungai brantas yang mengalir dengan derasnya menuju kearah selatan dataran Malang dan dikaki pegunungan Kawi-Arjuna yang indah permai,maka disanalah nampaknya seorang-orang indonesia berdarah rakyat dilahirkanpada permulaan abad ke-14.
Ahli sejarah tidak dapat menyusur hari lahirnya dengan pasti: ibu bapak dan keluarganya tidak dapat perhatian kenang-kenangan riwayat: Begitu juga nama desa tempat dia dilahirkan dilupakan saja oleh penulis keropak jaman dahulu asal usul gajah mada semua dilupakandengan lalim oleh sejarah”

Jadi jelaslah menurut Muhammad Yamin,asal-usul Gajah Mada masih sangat gelap, walaupun ada dugaan bahwa gajah mada dilahirkan di aliran sungai Brantas yang mengalir keselatan diantara kaki gunung Kawi-Arjuna,diperkirakan sekitar tahun 1300 M.

Keinginan untuk mengetahui asal-usul Patih Gajah Mada sebagai Negarawan besar pada Jaman Kerajaan Majapahit, telah lama menarik perhatian ahli sejarah,salah satunya bpk I Gusti Ngurah Ray Mirshaketika mengadakan Klasifikasi Dokumen Lama yang berbentuk Lontar-lontar pada “perpustakaan Lontar Fakultas Sastra, Universitas Udayana” (sekitar tahun 1974. Salah satu lontar yang menarik perhatian diantaranya adalah lontar yang berjudul “Babad Gajah Maddha”. Lontar tersebut memakai kode: Krop.7, Nomer 156, Terdiri dari 17 Lembar lontar berukuran 50×3,5 cm, ditulisi timbal balik, setiap halaman terdiri atas 4 baris, memakai huruf dan bahasa Bali-Tengahan.
Lontar tersebut adalah merupakan Salinan sedangkan yang asli belum dapat dijumpai.
Secara garis besar lontar babad Gajah Maddha tersebut berisikam
1. Asal Usul Gajah Mada
2. Gri Kresna Kapakisan dalam hubungannya dengan raja-raja Majapahit
3. Emphu keturunan pada waktu memerintah dibali
Yang menjadi perhatian dari sekian lontar tersebut dan dapat dijadikan penelitian lebih lanjut adalah bagian yanfg menjelaskan tentang Asal-Usul/Kelahiran sang Maha Patih Gajah Mada.

Ringkasan Isi Teks Lontar Babad Gajah Maddha

Tersebutlah Brahmana Suami-Istri di wilatikta, yang bernama Curadharmawysa dan Nariratih, keduanya disucikan (Diabhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat. Setelah disucikan lalu kedua suami istri tersebut diberi nama Mpu Curadharmayogi dan istrinya bernama Patni Nuriratih. Kedua pendet tersebut melakukan Bharata (disiplin) Kependetaan yaitu :Sewala-brahmacari” artinya setelah menjadi pendeta suami istri tersebut tidak boleh berhubungan sex layaknya suami istri lagi.
Selanjutnya Mpu Curadharmayogi mengambil tempat tinggal (asrama) di Gili Madri terletak di sebelah selatan Lemah Surat, Sedangkan Patni Nariratih bertempat tinggal di rumah asalnya di wilatikta, tetapi senantiasa pulang ke asrama suaminya di gili madri untuk membawa santapan,dan makanan berhubungan jarak kedua tempat tinggal mereka tidak begitu jauh.

Pada suatu hari Patni Nariratih mengantarkan santapan untuk suaminya ke asrama di gili madri, tetapi sayang pada saat hendak menyantap makanan tersebut air minum yang disediakan tersenggol dan tumpah (semua air yang telah dibawa tumpah),sehingga  Mpu Curadharmayogi mencari air minum lebih dahulu yang letaknya agak jauh dari tempat itu arah ke barat. Dalam keadaan Patni Nariratih  seorang diri diceritakan timbulah keinginan dari Sang Hyang Brahma untuk bersenggama dengan Patni Nariratih  . Sebagai tipu muslihat segerah Sang Hyang Brahma berganti rupa (berubah wujud,(“masiluman”)) berwujud seperti Mpu Curadharmayogi sehingga patni Nariratih mengira itu adalah suaminya.
Segera Mpu Curadharmayogi palsu (Mayarupa) merayu Patni Nariratih untuk melakukan senggama, Tetapi keinginan tersebut ditolak oleh Patni Nariratih,oleh karena sebagai pendeta sewala-brahmacari sudah jelas tidak boleh lagi mengadakan hubungan sex,oleh karena itu Mpu Curadharmayogi palsu tersebut memperkosa Patni Nariratih.

Setelah kejadian tersebut maka hilanglah Mpu Curadharmayogi palsu,dan datanglah Mpu Curadharmayogi yang asli (Jati). Patni Nariratih menceritakan peristiwa yang baru saja menimpa dirinya kepada suaminya dan akhirnya mereka berdua menyadari,bahwa akan terdjadi suatu peristiwa yang akan menimpa meraka kelak.kemudian ternyata dari kejadian yang menimpa Patni Nariratih akhirnya mengandung.
Menyadari hal yang demikian tersebut mereka berdua lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan asrama itu,mengembara ke hutan-hutan ,jauh dari asramanya tidak menentu tujuannya,hingga kandungan patni Nariratih bertambah besar. Pada waktu mau melahirkan mereka sudah berada didekat gunung Semeru dan dari sana mereka menuju kearah Barat Daya, lalu sampailah disebuah desa yang bernama desa Maddha. Pada waktu itu hari sudah menjelang malam dan Patni Nariratih sudah hendak melahirkan,lalu suaminya mengajak ke sebuah “Balai Agung” yang etrletak pada kahyangan didesa Maddha tersebut.
Bayi yang telah dilahirkan di bale agung itu, segera ditinggalkan oleh mereka berdua menuju ke sebuah gunung. Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa didesa Maddha,lalu oleh seorang patih terkemuka di wilatikta di bawa ke wilatikta dan diberi nama “Maddha”

INTERPRETASI/TAFSIRAN dari Isi

1. Pada halaman 2a Lontar Babad Gajah Maddha (sealanjutnya di singkat dengan B.G.M) dikatakan bahwa oran tua Gajah Mada berasal dari Wilatikta yang disebut juga Majalangu (B.G.M hal.1b)

Disebelah selatan “Lemah Surat” terletak “Giri Madri” yang dikatakan berada dekat dengan Wilatikta (B.M.G Hal.6a)pada B.M.G hal.6b dikatakan hampir setiap hari Patni Nariratih pulang pergi dari wilatikta,megantar makanan suaminya di asramanya di gili Madri yang terletak disebelah selatan wilatikta. Hal ini berarti Gili Madri terletak disebelah selatan Lemah Surat dan juga disebelahselatan Wilatikta. Jarak antara Gili Madri dengan Wilatikta dikatakan dekat.Tetapijarak antara Lemah Surat dengan Wilatikta begitu pula arah dimana letak Lemah Surat dari Wilatikta tidak disebutkan dalam B.G.M
2. Pada B.G.M hal. 12a yang menyebutkan tentang kelahiran Gajah Mada, ada kalimat yang berbunyi “On Cri Caka warsa jiwa mrtta yogi swaha” kalimat ini adalah Candrasangkala yang bermaksud kemungkinan sebagi berikut:
On Cri Cakawarsa        = Selamatlah Tahun Saka
Jiwa                = 1 (satu)
mrtta                = 2 (Dua)
Yogi                = 2 (Dua)
Swaha                = 1 (satu)
jadi artinya : Selamat Tahun Saka 1221 atau tahun (1299 Masehi)seandainya itu  benar maka gajah mada dilahirkan pada tahun 1299 Masehi.

3. Mengenai nama Maddha B.G.M hal.10b – 11a disebutkan sebagai berikut:

Karena malu terhadap gurunya yakni : Mpu Ragarunting, begitu juga terhdap orang banyak, maka setelah kandungan Patni Nariratih membesar, lalu disjak ia oleh suaminya meninggalkan asrama pergi mengembara kedalam hutan dan gunung yang sunyi. Akhirnya pada malam hari,waktu bayi hendak lahir,mereka berdua menuju kesebuah desa yang bernama Maddha terletak di dekat kaki gunung semeru. didesa itulah sang Bayi dilahirkan disebuah “Bale-Agung” yang ada di Kahyangan (Temple) desa tersebut. Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa desa Maddha,kemudian dibawa ke Wilatikta oleh seorang patihdan kemudian diberi nama Maddha jadi jika demikian halnya nama Maddha berasal dari nama desa.
Nama Gajah oleh B.G.M sama sekali tidak disebutkan.kemungkinan besar nama gajah adalah nama  kemungkinan nama tambahan atau nama julukan atau bisa juga nama Jabatan (Abhiseka) bagi sebutan orang Kuat (?)
dengan demikian Gajah Mada berarti Orang kuat yang berasal dari Maddha.

4. Mengenai nama orang Tua Gajah Mada, ayahnya bernama Curadharmawyasa dan ibunya bernama Nariratih (B.G.M. hal 2a) Setelah mereka disucikan (Abhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat,nama mereka berubah menjadi Curadharmayogi dan Patni Nariratih (B.G.M hal 3b) meraka berdua adalah brahmana (B.G.M hal. 2a)

Adapun didalam B.G.M hal. 9b, yang menyebutkan bahwa Patni Nariratih bersenggama dengan Dewa Brahma yang berganti rupa seperti suaminya sehingga Gajah Mada seolah-olah dilahirkan atas hasil senggama antara Patni Nariratih dengan Dewa Brahma, dapat kita tafsirkan sebagai berikut:
Pengungkapan Mitos demikian itu sudah tentu sukar diterima oleh akal mengingat motif yang demikian itu sudah banyak terdapat p[ada penulisan-penulisan babad, maka perlulah dicari Latar belakang dari hal-hal yang dimythoskan itu.

Perkiraan yang dapat kami tangkap adalah:
a. Mpu Curadharmayogi dan istrinya Patni Nariratih adalah melakukan brata “Sewala Brahmacari” yang berarti sejak mereka menjadi pendeta mereka tidak diperbolehkan untuk berhubungan sex atau senggama oleh karena itu mereka berpisah tempat Sang suami ber asrama di Gili Madri sedangkan Sabng istri bertempat tinggal di Wilatikta tetapi kedua suami istri ini masih saling bertemu karena sang istri acapkali membawakan makanan untuk sang suami.

b. Pada suatu ketika yaitu pada hari Coma, Umanis, Tolu, Cacil ka daca (senin, Legi, Tolu ,bulan april) Patni Nariratih membawakan suaminya santapan. Pada waktu hendak makan,air minum tiba-tiba tumpah.Dengan tidak sadar keluarlah kata-kata dari Patni Nariratih : “ih ah palit dewane plet”yang maksudnya kemaluan suaminya kelihatan (B.G.M ha. 7a). Dalam B.G.M hal.7b dikatakan bahwa kata-kata tersebut didengar oleh Dewa Brahma. disinilah menurut Interpretasi kami bahwa yang mendengar hal tersebut tidak lain adalah suaminya sendiri, sehingga timbuh hasrat birahi ingin bersenggama dengan suaminya,Akhirnya senggama tersebut terjadi antara Patni Nariratih dengan suaminya sendiri
Mengapa demikian, karena menurut interpretasi kami, Brahma adalah sebagai dewa pencipta/penumbuh (konsep trimurti) dan ini sering digunakan sebagai mythologi sebagai sumber kelahiran seseorang yang ke-namaan atau termasyur.

Jadi logislah disin untuk menyembunyikan perbuatan Mpu Curadharmayogi maka dipakailah Dewa Brahma sebagai gantinya. Mengapa dikatakan senggama itu terjadi dengan Dewa Brahma, Kiranya ini untuk menyembunyikan perbuatan Mpu Curadharmayogi sebagai seorang”Sewala-brahmacari” itulah sebabnya setelah Patni Nariratih hamil mereka segera pergi dari asrama unuk menyembunyikan diri.

c. Mengenai Lahirnya Sang bayi pada balai agung di sebuah kahyangan di desa maddha. ini kira-kiranya memang diusahakan oleh Mpu Curadharmayogi dan Patni Nariratih menurut penafsiran kami:
Balai Agung adalah merupakan sebuah balai yang patut ada di dalam sebuah “Kahyangan Desa”(Pura desa) yang berfungsi sebagai tempat membersihkan diri dari noda-noda spritual.

Hal yang demikian ini dapat dibandingkan dengan keadaan di Bali sampai sekarang, Bahwa Bale-Agung terletak didalam Pura Desa yaitu salah satu Kahyangan Tiga yang ada pada tiap-tiap desa. Pura Desa ini adalah Sthana Dewa Brahma dalam fungsi sebagi pencipta. Jadi logislah orang tua Gajah Mada mengusahakan Balai Agung sebagai tempat untuk melahirkan bayi dengan maksud :
- Proses kelahiran berjalan lancar bayi terhindar dari noda-noda spritual
- Supaya bayi tersebut dianggap dilahirkan dari sumber pebcipta
-Supaya ada orang yang memungut dan memeliharanya.

Ki Patih Gajah Mada, Mahapatih kerajaan Majapahit yang terkenal dan sangat dikagumi , ternyata adalah murid dari KI Hanuraga, sesepuh Generasi III, Paiketan Paguron Suling Dewata .
Menurut Parampara Perguruan Seruling Dewata, khususnya saat menceritakan kisah ketua angkatan ke III , Ki Hanuraga ( atau Ksatria Suling Gading ), tersirat kisah hidup Gajahmada . Gajahmada, lahir di desa Mada, Mada Karipura, beliau ditemukan sekarat oleh seorang Maha Yogi Ki Hanuraga, di Jawa Ki Hanuraga di kenal dengan nama Begawan Hanuraga sedangkan di Bali beliau dikenal dengan nama dengan sebutan Mahayogi Hanuraga ( Sesepuh Generasi III Perguruan Seruling Dewata )beliau menguasai 72 kitab pusaka yang mempelajari 72 ilmu silat dan diwarisi oleh sesepuh sesepuh sebelumnya seperti Ki Mudra dan Ki Madra sesepuh Generasi II, serta Ki Budhi Dharma sesepuh generasi I yang di diksa pada abad ke 5 – caka tahun ke 63 – bulan ke 11- hari ke 26 ( caka warsa 463 ). mengenai Gajahmada , diceritakan, bahwa Gajahmada kecil bernama I Dipa, dia memanggil Ki Hanuraga dengan sebutan Eyang Wungkuk, dan belajar ilmu kanuragan selama 5 tahun sambil mempelajari ilmu ketata Negaraan , I Dipa ( Gajah Mada Kecil ) adalah seorang yg tdk memiliki siapa-siapa ( sebatang kara ), sebagai pengembala kambing. Perkenalan Mahayogi Hanuraga dgn I Dipa ( Gajahmada ),terjadi saat Ki Hanuraga melakukan pengembaraan ke tiga kalinya mengelilingi Nusantara ( kala itu di sebut Nusa Ning Nusa ) , sebelum Mahayogi sakti ini kembali ke Pertapaan Candra Parwata di Gunung Batukaru di Bali ketika usia beliau sudah sepuh ( tua ), sesuai tradisi Perguruan sebagai seorang Mahayogi harus kembali ke pertapaan. Mahayogi Hanuraga menemukan Gajahmada, dipinggiran hutan dalam keadaan pingsan, antara hidup dan mati, karena kasihan Maha Yogi Ki Hanuraga mengobati dan menyembuhkan luka dalam Gajahmada. dari Ki Hanuraga-lah I Gajahmada, belajar ilmu silat dan kanuragan , serta mengajari ilmu Tata Negara dan tercatat sebagai siswa Paiketan Paguron Suling Dewata di bawah bimbingan langsung sesepuh Generasi III , Ki Hanuraga. Gajahmada Kecil sering di ejek oleh teman temannya, karena dia memiliki kuping yg lebih besar dari kuping orang normal, sehingga dia di panggil I Gajah dari Desa Mada. kelak semua tahu bahwa nama Gajahmada inilah yang akhirnya menjadi terkenal di seluruh Nusantara sebagai Mahapatih yang maha sakti. ( di sadur dari Majalah Watukaru , Majalah bulanan Perguruan Seruling Dewata, ) berikut beberapa petikan yang diambil dari Parampara Perguruan mengenai Ki Gajahmada dan Ki Soma Kepakisan , seperti yang dituturkan oleh Ki Hanuraga atau Ksatria Suling gading , sesepuh Generasi Ke III, Perguruan Seruling Dewata .

Ki Gajahmada ini adalah pengembaraanku yang ketiga dan merupakan yang terakhir menjelajahi Nusantara. ketika aku melangkahkan kakiku dengan santai di pinggiran hutan dekat sebuah desa yang bernama desa Mada atau lengkapnya Madakaripura pada sebidang tanah datar pandangan mataku tertumbuk pada seorang anak yang sedang mengelepar bergulingan di tanah seperti sedang sekarat. aku segera melompat ringan dan setelah dekat ternyata seorang anak berusia sekitar empat belas tahunan. tubuhnya sebenarnya tegap, tapi entah kenapa mengelepar gelepar seperti sekarat menahan siksaan berat, tubuhnya memancarkan sinar merah, dan hijau berganti ganti ,berkali kali anak itu ingin berbicara kepadaku, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnua hanya tangannya saja yang menunjuk nunjuk sebuah goa di pinggir hutan. dengan sigap aku melompat ke mulut goa, didalam goa aku melihat seekor ular naga Wilis sebesar pohon pisang yang panjangnya sekitar delapan depa, mati kehabisan darah, dan ada bekas gigitan di tubuh ular naga wilis ini, didekat bangkai ular naga wilis ada cahaya merah, setelah ku dekati ternyata ” Ong Brahma ” sebuah jamur berwarna merah sebesar niru, yang sebagian besar habis tercabik cabik, ” Ong Brahma ” adalah sebuah mustika langka yang menjadi rebutan kaum persilatan karena mampu melipatgandakan tenaga panas menjadi seribu kali lipat. rupanya ular naga wilis ini adalah penjaga Ong Brahma yang langka ini.bersyukur anak ini berjodoh dan bertemu denganku , jika tidak bertemu pesilat berilmu tinggi anak ini dapat dipastikan kematiannya, sebab minum darah ular saja bisa mati membeku kedinginan apalagi makan ” Ong Brahma ” akan kepanasan darah mengering . jika makan keduanya akan tersiksa panas dan dingin secara bergantian dan akhinya mati.tenaga dalam yang berhawa panas dan dingin yang bergejolak saling mematikan , aku isap habis habisan dengan tenaga sakti isap bhumi, diselaraskan dalam dirinya, lalu disalurkan kembali ke tubuh anak ini sehingga seluruh nadi terbuka, seluruh garanthi ( simpul nadhis ) terbuka, tujuh cakra besar terbuka dan Kundalini terbangkitkan seketika, tenaga dalam masih berlebihan terpaksa dibagi ke 108 nadis di seluruh tubuh anak ini , baru dapat membebaskan anak ini dari kematian. dari kemalangan terancam kematian mengerikan , berubah menjadi keberuntungan luar biasa, impian seluruh dunia persilatan dengan terbukanya seluruh nadhis, garanthi, cakra dan bangkitnya kundalini, orang biasa membutuhkan latihan puluhan tahun untuk mencapai tingkatan seperti ini. setelah setengah hari anak ini pingsan, akhirnya sadar juga, wajahnya cemerlang berseri seri, begitu anak ini sadar langsung berlutut dihadapanku, rupanya anak ini sadar juga bahwa aku telah menyelamatkan jiwanya, setelah mengucapkan terimakasih anak ini mulai menuturkan riwayat hidupnya.anak ini bercerita namanya ” Dipa” , tidak tahu siapa orang tua kandungnya sejak kecil ia sudah menjadi tapa daksa ( anak yatim piatu ), dan harus bekerja pada tuan tanah untuk menanggung hidupnya dia ditugaskan mengembala sapi, anak yang kehilangan sapi dihukum keras dicambuk, dipukuli bahkan jika berkali kali dipotong tangan atau kakinya. anak ini bercerita bahwa dia telah kehilangan kambing 3 kali dan tentunya dia takut kembali karena akan menerima hukuman yang sangat berat bisa bisa di hukum potong tangan atau kaki, sehingga untuk menghindari hukuman tersebut dia mencari ular naga wilis yang memakan kambingnya dan melarikannya ke dalam goa, ketika dililit sama ular naga wilis , Dipa menggigit tubuh ular dan meminum darahnya, ketika ular itu mati kerena kehabisan darah, ia merasa haus dan kelelahan dan melihat jamur merwarna merah yang meneteskan air dan ia pun langsung meminumnya dan meremas remas jamur tersebut agar mendapatkan lebih banyak air karena rasa haus sehabis berkelahi dengan ular naga wilis. syukur hamba ( Dipa ) bertemu dengan tuan ( Ki Hanuraga ) , dan nyawa hamba berhasil diselamatkan , sekarang hamba rasanya kuat , segar bugar, mulai sekarang hamba berguru kepada Tuan dan ikut kemanapun Tuan pergi, daripada hamba kembali ke desa akhirnya di hukum potong tangan atau potong kaki dan menjadi cacat seumur hidup.aku tersenyum dan menerimanya sebagai siswa, namun aku hanya berjanji mengajarkannya selama lima tahun saja, Dipa sering menyebutku dengan Eyang Wungkuk, aku terpaksa menetap di hutan bersama Dipa selama lima tahun mengajarinya ilmu silat dan ilmu ketatanegaraan. aku menyimpulkan bahwa Tenaga dalam Dipa sudah sangat dahsyat melebihi pendekar tangguh , sehingga aku hanya perlu mengajarkan ilmu silat dan senjata serta tehnik bertarung . kalau memungkinkan mengajarkan ilmu ketatanegaraan, siapa tahu ia mengabdi di sebuah kerajaan di kemudian hari. mulai saat itu anak yang bernama Dipa mulai digembleng ilmu ilmu rahasia Gunung Watukaru, baerlatih siang dan malam, tahan terhadap rasa sakit dan rasa lelah, tiada menghiraukan lapar dan haus , berlatih tanpa henti , tidak menghiraukan panasnya matahari dan teriknya hujan berlatih dan terus berlatih, tiada hari tanpa berlatih……

Ki Soma Kepakisan, tepat sebulan , aku dan Dipa tinggal di pondok terpencil, tiba tiba datanglah seorang pendeta tua dengan seorang muridnya yang masih muda berusia sekitar 20 tahunan. Pendeta ini terluka parah, isi dada dan organ dalam yang lain telah hancur terguncang, pendeta ini bernama Maharsi Gunadewa dan muridnya bernama Soma Kepakisan. Maharsi Gunadewa terluka dalam yang sangat parah setelah terlibat pertarungan dengan saudara seperguruannya memperebutkan buku warisan perguruan yang mana dalam pertarungan itu ia dikalahkan oleh adik seperguruannya dan dengan sisa tenaganya ia berusaha mengajak murid kesayangannya melarikan diri , rencananya ia akan ke Gunung Watukaru di bali Dwipa, agar muridnya mendapatkan pelajaran yang sempurna. aku memperkenalkan diriku sebagai Begawan Hanuraga, pewaris Paiketan Paguron Suling Dewata di gunung Watukaru, mendengar namaku sang Maharsi tersenyum puas, sambil berbicara terpurus purus Sang Maharsi memohon agar menerima muridnya menjadi murid Gunung Watukaru, akupun menyanggupi agar Dipa ada teman berlatih . hasilnya akan jauh lebih baik ketimbang berlatih sendiri. Sang Maharsi Gunadewa tersenyum puas, sambil berkata ” perjalananku tidak sia sia “, iapun meninggal sambil tersenyum puas. mulai saat itu aku membina dua siswa di tanah Jawa, semuanya sangat berbakat hampir sama bakat dan semangatnya dengan semangatku dimasa muda dulu. aku betul betul puas dengan kemajuan kedua muridku ini, kemajuan yang pesat dalam waktu yang sangat singkat. ternyata kemajuan yang dicapai kedua muridku ini selalu seimbang, Dipa mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat karena meminum darah ular naga wilis dan jamur merah ” Ong Brahma “, sedangkan Soma juga sama kuatnya karena pernah memakan mustika perguruannya berupa telur penyu ribuan tahun dan telur rajawali putih ribuan tahun. ditempat terpencil ini tak sia sia penyepianku selama lima tahun di tanah Jawa, dapat dipastikan aku berhasil membina dua ksatria lelananging jagat, setelah dirtempa dengan ilmu kawisesan dan kedigjayaan, dibawah bimbinganku Dipa dan Soma berlatih dengan sungguh sungguh, tiada henti , ditempa teriknya matahari , dibawah guyuran hujan, berlatihh dikegelapan malam. Ditempa berbagai ilmu dahsyat Gunung Watukaru , tiga ratus enam puluh gerakan melemaskan tulang, delapan belas macam kuda kuda, delapan belas pukulan, delapan belas tendangan, delapan belas tangkisan, delapan belas ilmu pergeseran kaki, delapan belas ilmu berguling, delapan belas ilmu mengelak, delapan belas ilmu penyatuan tenaga tangan, dan delapan belas ilmu sapuan. selanjutnya aku ajarkan Lima macam ilmu silat dasar yang disebut Ilmu Silat Depok, Ilmu Silat Setembak, Ilmu Silat Kerta Wisesha, Ilmu Silat Panca Sona, Ilmu Silat Tat Twam Asi, setiap silat dasar terdiri dari 36 jurus dasar, dan hanya memerlukan 42 hari Dipa dan Soma berhasil menguasai kelima ilmu dasar tersebut . Sehingga Dipa dan Soma sudah siap menerima ilmu tertinggi dari puncak barat Gunung Watukaru yang berjumlah 72 dari Paiketan Paguron Suling Dewata, Ilmu silat Bhumi dan Langit , ilmu silat delapan penjuru angin , ilmu silat ombak samudra dan seterusnya …( di sadur dari majalah Watukaru , edisi 2 dan 3 ), seperti akhirnya kita ketahui dalam sejarah , bahwa ke dua murid Ki Hanuraga , Dipa / Gajahmada dan Soma Kepakisan, sangat terkenal dalam dunia persilatan , bahkan Dipa / Gajahmada akhirnya menjadi Mahapatih pada kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan paling besar di jamannya serta berjasa dalam mempersatukan Nusantara dengan pasukan khususnya yang terkenal dengan nama Gajah Kencana, sementara Soma Kepakisan sangat terkenal di Bali dimana keturunan beliau menjadi raja raja di Bali di bawah kekuasaan Majapahit. 


Rabu, 16 Juni 2010

Pura Tri Guna

SELAIN sebagai "Tri Guna Pura", sejumlah hal menarik lainnya juga terdapat di Pura Agung Kentel Gumi. Salah satunya, peninggalan sejarah dan purbakala menurut purana dibangun Mpu Kuturan masa pemerintahan Raja Sri Dharmodayana Warmawadewa-Gunapridharmapatni Makutawangsawardana (Putni Mahendradatta) pada 989 M.
Untuk diketahui, Pura Agung Kentel Gumi menyimpan puluhan area kuno. Ada yang masih utuh, ada juga berupa pragmen. Salah satu fragmen itu, sebuali lingga. Bisa disebut Lingga Reka Bhuwana karena berkaitan dengan sejarah, legenda dan mitologi. Lingga itu terletak di utama mandala. Dengan ukuran sangat kecil dibanding bangunan lainnya yang lebih besar dan menjulcing seperti meru, gedong danlainnya, sulit melihat Lingga Reka Bhuwana tersebut, jika tak diteliti. Letaknya persis di tengah-tengah jeroan pura. Tinggi lingga tak lebih 2 meter. Alasnya (Yoni) sekitar 2 meter persegi.

Namun, bentuknya terlihat lebih unik dibanding Lingga-Yoni umumnya. Lingga-Yoni umumnya berupa selinder berujung bulat. Lingga melambangkan purusa. Yoni berbentuk lesung segi empat sebagai simbol pradana.

Sementara Lingga Reka Bhuwana di Pura Agung Kentel Gumi ujungnya (puncak) tidak bulat, tetapi berbentuk pipih. Badan lingga berbentuk persegi. Begitupun Yoni (alas) Sebagai simbol pradana, sekilas tampak seperti punden berundak. Tidak ada yang tahu persis, terkait bentuk Lingga Reka Bhuwana yang berbeda dibanding Lingga-Yoni pada umumnya. Berdasarkan dugaan, itu dikarenakan berkaitan dengan riwayat (tatwa) Pura Agung Kentel Gumi.
Seorang penekun spiritual, urati lontar/babad/prasasti asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma, menyebutkan lazimnya Lingga-Yoni Reka Bhuwana disebut Linggih Pancer Jagat. Karena diyakini di tempat itulah Mpu Kuturan meletakkan tanda (titik awal) ketika mengawali pembangunan Pura Agung Kentel Gumi.

Berdasarkan purana, pendirian Pura Agung Kentel Gumi erat kaitannya dengan kedatangan Mpu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Udayana dan istrinya Putri Mahendradatta. Mpu Kuturan datang ke Bali untuk dimintai nasehat sebagai purohito, menyusul adanya pertikaian antar sekte keagamaan di Bali. Untuk mengatasi itu.

Mpu Kuturan mengundang tokoh sekte dan menggelar pertemuan di sebuah tempat di Gianyar yang sekarang ini merupakan Pura Samuan Tiga. Menyusul kesepakatan leburnya paham sekte, disepakati juga pemujaan Batara Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Dan sini juga muncul konsep Kahyangan Tiga dan desa pakraman.

Sebuah lokasi, sekarang kawasan Pura Agung Kentel Gumi, dipilih Mpu Kuturan sebagai tempat yoga semadi. Berkat kesidhiannya, sosial keagamaan masyarakat Bali jadi kondusif, kokoh. Bebas dan pertikaian antar sekte. Itu yang kemudian disimbolkan dengan Linggih Pancer Jagat—berupa Lingga-Yoni khas Pura Agung Kentel Gumi.

Pura Agung Kentel Gumi juga menyimpan keunikan lain berkaitan dengan kepurbakalaan, Lusinan benda purbakala berupa area, fragmen area, pratima ada di sana. Untuk sementara disimpan di Gedong Murda Manik (palinggih sementara) sambil menunggu tuntasnya pemugaran. Selanjutnya dikembalikan pada pelinggih masing-masing, di mana benda-benda sakral itu berada sebelumnya.

Paling mencolok, bentuk area batu dengan catur muka (wajah ke empat penjuru mata angin). Ukurannya lebih besar dibanding area lain. Tingginya diperkirakan 1,2 meter. Berwarna keabu-abuan berbahan batu andesit selayaknya area kuna umumnya. Namun, tak ada yang tahu secara jelas, makna area tersebut terkait dengan keberadaan Pura Agung Kentel Gumi. Meski demikian, mengingat pura sebagai tempat suci/pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya, bukan hal yang salah area Catur Muka dimaksudkan sebagai penggambaran Dewa Brahma/Brahma Catur Muka. Dalam pemahaman Hindu, Dewa Brahma merupakan manisfestasi Tuhan Yang Maha Esa yang berwajah empat.

PURA Agung Kentel Gumi di Desa Tusan Kecamatan Banjarangkan, Klungkung adalah Pura Kahyangan Jagat sebagai media pemujaan Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Reka Bhuwana atau disebut juga Sang Hyang Pancering Jagat. Manifestasi Tuhan
dengan sebutan lokal Bali itu dipuja di Meru Tumpang Sebelas. Menurut Yajurveda XXXII.3 Tuhan itu tidak punya bentuk seperti ciptaan-Nya (Na tasya pratima asti). Para Vipra atau orang-orang suci yang ahli (Brahmana Sista) itulah yang menyebutkan dengan banyak nama —Ekam sat vipra bahuda badanti.

Demikian dinyatakan dalam Veda bahwa tujuan pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa dengan teguh adalah untuk mewujudkan kehidupan yang makmur secara adil. Hal ini dinyatakan dalam Atharvaveda VIII.2.25. Karena itu pemujaan pada Tuhan bukan untuk membuat umat semakin menderita. Karena itu Mantra Veda yang dikutip di atas menyatakan bahwa bumi ini diciptakan oleh Tuhan sebagai wadah kehidupan semua makhluk hidup. Apa yang boleh, baik dan benar dilakukan di bumi ini dinyatakan dalam mantra Atharvaveda, XII, 1.1.

Untuk melakukan perbuatan yang menjunjung kehidupan yang balk dan benar tidaklah mudah. Karena itu umat seyogianya memuja Tuhan untuk mendapatkan penguatan diri lahir bathin. Dalam hal inilah Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Reka Bhuwaria di Pura Kentel Gumi di Desa Tusan, Klungkung. Reka Bhuwana artinya suatu perencanaan matang yang seyogianya dilakukan di bhuwana atau bumi ini. Di Pura Agung Kentel Gumi ada upacara Reka Bhumi suatu upacara yadnya yang wajib dilakukan.

Tujuan upacara Reka Bhumi ini untuk mendapatkan Penyegjeg Jagat. Artinya, untuk mencapai tegaknya kehidupan dibumi ini. Ada enam hal yang wajib dibumi ini agar Ibu Pertiwi jegjeg yaitu Satya, artinya kebenaran Veda yang bersifat Sanatana Dharma yaitu kebenaran yang kekal abadi. Kebenaran yang disebut Satya itu adalah dasar untuk berperilaku untuk menuju jalan Tuhan. Berperilaku itu adalah berpikir, berkata dan berbuat menuju jalan Tuhan.

Dalam Slokantara 2 ada dinyatakan bahwa Satya itu lebih utama nilainya daripada seratus Suputra. Seorang Suputra seratus kali lebila utama nilainya daripada seratus kali upacara yadnya. Yakinlah kalau senantiasa berpegang dengan Satya hidup ini pasti mendapatkan anugerah atau karunia dan Tuhan.


Rta artinya hukum alam. Hiduplah dengan menggunakan sumber-sumber alam dengan tidak melanggar hukum alam itu sendiri. Alam ini terbentuk dan Panca Maha Bhuta yaitu tanah, air, udara, panas dan akasa. Swami Satya Narayana dalam buku "Anandadayi" menyatakan bahwa kejahatan yang paling besar di bumi ini adalah merusak unsur-unsur alam tersebut. Menggunakan sumber-sumber energi alam ini secara berlebihan akan menimbulkan kebakaran. Kalau langit atau akasa itu dikotori akan meñyebabkan manusia menderita penyakit gangguan mental, bahkan penyakit gangguan jiwa.

Semuanya ini memang sudah terbukti Sekarang banyak teijadi kebakaran hutan, panas menyembur clan dalam tanah, suhu bumi semakin meningkat dan berbagai kerusakan alam lainnya. Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, menyatakan sudah terjadi sepuluh kerusakan muka bumi ini. Hal ini disebabkan bergesernya hidup manusia modern dari needs ke wants. Artinya, hidup berdasarkan kebutuhan telah bergeser berdasarkan keinginan.

Keinginan itu tak ada batasnya. Diksa artinya penyucian atau pemberkatan. Dalam anti proses hendaknya setiap orang terus berusaha meningkatkan kesucian dininya dengan berusaha menguatkan kesadaran budhi-nya untuk mencerahkan kecerdasan pikirannya. Pikiran yang cerdas berfungsi mengendalikan indriya atau nafsunya. Nafsu yang terdidik dan terlatih itulah akan mengekspresikan perilaku suci. Kalau hal itu sudah dapat dicapai dan dibuktikan barulah dilakukan ritual diksa atau pentasbihan sebagai diksita. Melakukan diksa ini bukanlah hak suatu wangsa tertentu. Diksa itu adalah kewajiban dan hak setiap umat Hindu dengan tidak melihat asal-usul wangsa-nya.


Tapa artinya secara denotatif dalam bahasa Sansekerta adalah panas atau bersinar. Secara konotatif artinya pengendalian diri dengan cara membangkitkan kekuatan sinar Sang Hyang Atma dalam diri. Kalau sinar Atman dapat dilepaskan dan halangan kuatnya gejolak hawa nafsu maka tujuan tapa untuk mengendalikan diri itu dapat terwujud. Dengan tapa itu keinginan nafsu yang disebut Wisaya Kama itu dapat diubah menjadi Sreya Kama yaitu keinginan untuk selalu mendekatkan diri sesuai dengan tuntutan Tuhan.


Menunut Ayur Veda hal itu akan dapat dicapai dengan mengendalikan makanan, gaya hidup dan kesehatan fisik (Ahara, Wihara dan Ausada). Brahma artinya menumbuhkan diri dengan doa. Kata "brahma" dalam bahasa Sansekerta berasal dan akar kata "brh" artinya tumbuh atau mencipta. Karena itu sinar suci Tuhan dalam menciptakan disebut Dewa Brahma. Berdoa dengan melapalkan mantra-mantra Weda dengan tekun sebagai puja stawa akan dapat menguasai kesadaran budhi, kecerdasan pikiran dan kepekaan emosional dalam kesucian mantra Weda tersebut.

Candogya Upanishad menyebutkan, setiap han usahakan berdoa pagi saat raditya dina, siang saat madya dina dan sore saat sandhya dina. Yadnya artinya suatu keikhlasan untuk melakukan pengorbanan untuk tujuan yang suci. Inilah merupakan unsur yang utama dalam melangsungkan upacara keagamaan Hindu. Upacara dalam bahasa Sansekerta artinya mendekat. Karena itu, upacara yadnya itu dilakukan dengan mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara bakti.

Mendekatkan diri pada sesama manusia dengan punia atau pengabdian. Mendekatkan diri pada alam lingkungan asih. Asih, punia dan bhakti inilah landasan melakukan yadnya. Yadnya itu bentuknya bukan upacara keagamaan semata-mata. Dengan menghemat penggunaan sumbersumber alam itu juga suatu yadnya. Tidak memaksakan kehendak itu juga yadnya. Mengendalikan hawa nafsu juga yadnya.

Dengan melakukan enam langkah yang disebut Sat Pertiwi Dharyante (enam upaya menyangga ibu pertiwi inilah sebagai upaya Reka Bhuwana mewujudkan Jejeg Jagat. Inilah yang terus-menerus dimohonkan pada Tuhan lewat Pura Kentel Gumi. Di Pura Besakih juga dilangsungkan upacara Penyejeg Jagat di Pura Gelap dan Pengurip Bumi di Pura Ulun Kulkul.

PURA Agung Kentel gumi terletak di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung. Merupakan salah satu Pura kahyangan Jagat Bali, sungsungan umat Hindu sebagai stana Ida Sang Hyang Reka Bhuwana. Pura ini berfungsi sebagai tempat memohon kedegdegan jagat. Sebagaimana dipaparkan dalam lontar Raja Purana batur, Pura Agung Kentel Gumi merupakan Tri Guna Pura (Kahyangan Tiga-nya Jagat Bali). Pura Batur/Tampurhyang sebagai Pura Desa-nya (mohon kesuburan), Pura Kentel Gumi sebagai Puseh (Kedegdegan jagat) dan Pura Agung Besakih/Tohlangkir sebagai Dalem (kesucian sekala niskala).
Terkait catatan tentang Tri Guna Pura, ternyata bukan ditemukan di Pura Agung Kentel Gumi, melainkan termuat dalam Raja Purana Batur yang tersimpan di Pura Batur, Kintamani, Bangli. Berdasarkan penelusuran tokoh agama dan pengurus PHDI bahwa Tri Guna Pura ini sebelumnya nyaris tak ada yang tahu, sehingga Pura Kentel Gumi seperti ikut terlupakan.

Terungkapnya fungsi Tri Guna Pura itulah yang menjadi salah satu dorongan melakukan pemugaran Pura Kentel Gumi. Selain karena kondisi fisik bangunan, memang banyak yang sudah keropos. Pemugaran, sedapat mungkin dilakukan dengan mempertahankan "keaslian" pura — detail pelinggih, tembok, serta corak dan ragam hias ukiran diupayakan semirip mungkin dengan aslinya. Kalaupun ada tiruan, bahan dan garapan harus ditiru dari dokumentasi berupa foto-foto Pura Kentel Gumi yang masih tersimpan.
Pura Agung Kentel Gumi terdiri atas empat halaman utama. Utamaning Utama Mandala terdiri atas 23 pelinggih di antaranya Lingga Reka Bhuwana/Pancer Jagat, Meru Tumpang Solas (pelinggih Ida Sanghyang Reka Bhuwana). Di sisi utara (kompleks pelinggih Bathara Maspahit), terdiri atas enam pelinggih. Pelinggih utama Gedong stana Bathara Maspahit. Di sisi selatan, kompleks pelinggih Batara Masceti, terdapat 9 pelinggih, Gedong merupakan stana Batara Masceti.


Utàma Mandala - beda dengan utamaning utama mandala. Di sini terdapat sumanggen sebagai ciri utama. Ada juga perantenan suci, dengan ciri pelinggih Lumbung Agung/tempat penetegan. Sedangkan di Madya Mandala (tengah). Di sini terdapat empat pelinggih, salah satunya pelingguh Bale Agung, Gedong Sari stana Batari Saraswati. Nista Mandala (jaba sisi/luar). ada dua Padmasari.



Pelinggih-pelinggih itu bagian dan perluasan Pura Agung Kentel Gumi, yang diawali Mpu Kuturan masa pemenintahan Raja Bali Kuna dan dinasti Warmadewa yakni Raja Udayana Warmadewa dengan permaisuri Putri Mahendradatta. Purana mencatat, setelah Mpu Kuturan, Pura Kentel Gumi diperluas dengan pembangunan pelinggih, menyusul berkuasanya Sri Haji Cili Kresna Kepakisan (bungsu Danghyang Soma Kepakisan) yang diminta Mahapatih Gajah Mada/Majapahit menjadi adipati Bali pasca kalahnya Raja Sri Tapolung di Bedahulu.


Dalam perjalanan menuju Bali, Dalem Cili Kresna Kepakisan tiba di Tusan. Dalem tahu keutamaan tempat suci/parahyangan Kentel Gumi. Bersama pangiringnya, dipimpin Arya Kenceng dan warga, dilakukan perbaikan membangun/menambah pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Solas, Padmasana, Meru Tumpang Sia, Tumpang Pitu, Tumpang Lima, Tumpang Telu dan pelinggih lainnya. Termasuk palinggih dasar sebagai stana Ida Dewi Basundari.

Terlupakannya Tri Guna Pura Agung Kentel Gumi, luput pula ingatan orang tentang salah satu aci (upacara) pokok yang semestinya digelar di Pura Agung Kentel Gumi sesuai fungsinya sebagai Pura Puseh Jagat, yakni Upacara Panyegjeg Jagat (upacara Reka Bhumi). Tersurat dalam sastra — baik purana atau babad — upacara Panyegjeg Jagat digelar ketika Raja Dalem Waturenggong bertahtha di Gelgel sekaligus mengukuhkan Pura Kentel Gumi sebagai Tri Guna Pura. Selain Pura Besakih dan Pura Batur.

Ketika Raja Dalem Waturenggong memerintah, Pulau Bali mencapai kesejahteraan dan ketenteraman. Karena kewibawaan dan keberanian Raja yang diabaratkan Sanghyang Hari Murti bentangan empat (Catur Bhuja). Raja Dalem Waturenggong menggelar yadnya di Khayangan Jagat, Eka Dasa Rudra di Besakih, Pancawali Krama di Batur dan Panyegjeg Jagat di Kentel Gumi. Itu yang kemudian dijadikan acuan digelarnya upacara Panyegjeg Jagat di Pura Kentel Gumi. Diperkirakan, sejak 548 tahun lalu upacara Penyegjeg Jagat tidak pernah digelar. Perkiraan itu dikarenakan Dalem Waturenggong naik tahta tahun 1460

Pura Tirtha Empul

Pura Tirtha Empul. Sekelompok warga berbusana adat Bali madya terlihat memasuki kawasan Pura Tirta Empul, saat sinar surya baru saja menyinari kawasan Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, awal April lalu. Tiba di areal paling luar, dekat pohon beringin besar, rombongan itu berhenti sejenak. Seorang wanita setengah baya terlihat sigap mengambil canangsari plus dupa yang ada dalam keben guna dihaturkan pada palinggih Padmasana. Usai sembahyang, mereka pun melanjutkan perjalanan menuju areal kawasan suci di hulu Tukad (Sungai) Pakerisan ini.

Di madya mandala, tepat pada telaga yang dihiasi banyak pancuran, mereka berhenti. “Kami akan melaksanakan panglukatan ,” papar I Wayan Arta, warga dari Jalan Mertjaya, Gang IV/7, Denpasar ini.
Dengan sehelai kain ( kamben ) membungkus sebagian tubuh, dilengkapi canangsari yang sudah dilengkapi dupa, mereka mencelupkan diri ke telaga. Diawali dengan mencakupkan kedua telapak tangan di kening, satu per satu air yang keluar dari mulut pancuran di sana—kecuali dua yang tak dijadikan sarana penyucian diri, yakni Tirta Pangentas dan Pabersihan, karena lazimnya berkaitan dengan upacara kematian—mereka manfaatkan sebagai sarana meruwat diri. Dalam tradisi Bali itu dinamakan malukat.

Usai di kolam dengan 13 buah pancuran, mereka melanjutkan ritus ruwatan ke pancuran sebelah timur, pada Tirta Panglukatan. Usai mandi di pancuran dan berganti busana, rombongan keluarga ini bergegas menuju ke halaman dalam, menuju palinggih pusat Pura Tirta Empul.
Hari itu, Soma Wage, Wuku Dukut , merupakan hari suci bagi warga Hindu di Bali. Ini bertepatan dengan Purnama Kadasa— bulan Purnama pada bulan kesepuluh sesuai kalender Bali. Saat ini di Bali banyak dilaksanakan upacara keagamaan pada beberapa tempat suci, tak terkecuali dipilih oleh orang-orang buat malukat , menyucikan diri secara nisakala (gaib), memohon keheningan, agar terbebas dari berbagai penyakit dan derita yang mendera diri. Dan, Pura Tirta Empul, yang berlokasi di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, kerap jadi pilihan utama orang-orang yang berkeinginan malukat diri, merengkuh keheningan batin, mereguk keteduhan jiwa.

Air pancuran ini bersumber dari mata air Tirta Empul yang dibuatkan kolam bernama Telaga Tirta Suci. Dari telaga suci ini lantas dialirkan sehingga menjadilah masing-masing Tirta Teteg, Tirta Sudamala, Tirta Pangelukatan, Tirta Pamarisuda, Tirta Pamlaspas, Tirta Panglebur Ipian Ala, Tirta Pangentas, dan Tirta Pabersihan—semua semacam ruwatan di Jawa.
Dalam cermatan Ketut Ubung, bila ada warga malukat di pancuran ini, semua air yang meluncur dari pancuran dipergunakan, kecuali pada pancuran Tirta P angentas dan P abersihan . “Tirta P angentas itu diperuntukkan bagi orang yang meninggal, sedangkan Tirta Pabersihan dipergunakan bagi yang telah suci,” terka satu di antara warga pangemong Pura Tirta Empul ini.

Pura Tirta Empul dengan aliran air sucinya, memang kerap dijadikan satu pilihan melakukan bersih diri secara niskala. Entah karena keyakinan, sugesti, atau betul-betul Ida Batara yang berstana di tempat suci ini yang sih (sayang) kepada umat, beberapa masyarakat yang sempat menyucikan diri ke pura yang berlokasi di sebelah timur Istana Presiden Tampaksiring ini, merasakan keheningan hati, kejernihan pikiran, dan keteduhan batin.
“Pikiran, hati, dan jiwa saya terasa hening, teduh, setelah malukat di Tirta Empul,” papar Ni Made Suarni, warga dari Jalan Batu Intan, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.

Selain menjadi tempat malukat , tutur Jero Mangku Dewa Aji Samut, Pamangku Pura Tirta Empul, pura sungsungan (persembahyangan) jagat yang berjarak sekitar 35 kilometer dari Denpasar ini, juga sering dijadikan wahana memohon air suci. Saat warga Tampaksiring dan sekitar menggelar upacara keagamaan di pamerajan, pura kahyangan tiga desa, atau di pura subak, maka para pangempon pura ada saja mohon tirta pura yang terbagi dalam tiga mandala (areal) ini—halaman dalam ( jeroan ), tengah ( jaba tengah), dan halaman paling luar ( jaba sisi ).

Pada halaman jeroan terdapat berbagai peninggalan yang diyakini sebagai cikal awal pendirian Pura Tirta Empul. Di antaranya bangunan Tepasana sebagai stana Batara Indra, gedong limas sebagai tempat pangayengan Ida Batara di Gunung Agung, dan gedong catu sebagai stana Ida Batari Dewi Danuh. Kemudian ada fragmen arca berbahan batu padas dengan ketinggian 49 cm dan lebar 27 cm. Melihat ciri-ciri badannya, arca ini diperkirakan sudah dibuat abad X– XI Masehi.

Pada halaman tengah ( jaba tengah) terdapat kolam suci yang di tengahnya terdapat empat fragmen bangunan dari batu padas. Fragmen ini menyerupai pola perbingkaian—di bagian tengah berisi lubang berukuran 49 cm. Peninggalan yang kini terendam air itu, konon digunakan sebagai saluran air dari kolam menuju ke Desa Pejeng. Aliran air dari kolam suci itu dipergunakan untuk kepentingan pertanian.
Di sebelah barat kolam suci terdapat palinggih arca dengan berbagai peninggalan purbakala, seperti lingga yang berdiri tegak pada lubang yoni. Kepala Seksi (Kasi) Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, I Wayan Muliarsa menerangkan, lingga berbahan batu padas ini bertinggi 21 cm dan lebar 16 cm. Adapun yoni, bagian sisinya berukuran 50 cm.
Ada pula arca lembu (Nandini) terbuat dari batu padas dengan panjang 82 cm dan lebar 37 cm. Kemudian sebuah arca singa dari batu padas memiliki panjang 58 cm, lebar 32 cm, dan tinggi 56 cm.

Masih di areal jaba tengah, tepat di sebelah selatan kolam suci, berjejer 31 pancuran yang terbagi dalam tiga bagian. Air yang mengalir dari masing-masing pancuran itu memiliki berbagai fungsi.
Pada halaman jaba sisi terdapat wantilan dan di sebelah baratnya kolam permandian cukup luas. Hingga pertengahan dasawarsa 1980-an, kolam tersebut digunakan sebagai tempat permandian umum. Belakangan tak dimanfaatkan lagi karena pertimbangan dekat tempat suci.

Tirta Empul merupakan situs kuno, memang. Nama Tirta Empul, sesuai penjelasan Muliarsa, pertama kali ditemukan pada laporan tahunan Dinas Purbakala Bali, tahun 1924. Dalam laporan ini terdapat foto prasasti di Pura Sakenan Manukaya yang memuat nama tempat suci Tirta Empul, berangka tahun 884 Isaka atau 962 Masehi. Prasasti ini dikeluarkan Raja Candrabhayasingha Warmadewa, seorang raja zaman Bali Kuno yang merupakan keturunan dinasti Warmadewa. Alih aksara pertama prasasti ini dimuat dalam buku Oudheden van Bali , karangan Stutterheim.
Peneliti prasasti Bali asal negeri Belanda, Dr R Goris mengklasifikasikan, prasasti Manukaya sebagai tipe “ punah (muwah) ing saka ”, yakni prasasti berbahasa Bali Kuno dari tahun 951–983 Masehi (Isaka 873-905).
Dalam prasasti Manukaya disebutkan, sang Raja Candrabhayasingha Warmadewa pada bulan keempat paro terang hari ketigabelas tahun Isaka 884 telah memperbaiki permandian suci di Air Empul yang batunya telah rusak akibat aliran air.

Air suci dalam bahasa Bali dikenal dengan sebutan tirta , karena itu Air Empul yang dimaksud dalam prasasti itulah kini dikenal dengan nama Tirta Empul. Itu berarti Tirta Empul paling tidak sudah ada sejak abad ke-10, kurang lebih 1100 tahun silam!

Sumber air Tirta Empul inilah kemudian mengalir menjadi Tukad Pakerisan di sisi timur dan Tukad Patanu di sisi barat. Air yang mengalir dari Tirta Empul ini dinilai suci, karenanya sampai kini masyarakat Bali di sekitarnya menjadikan air Tirta Empul ini sebagai air suci yang digunakan dalam upacara-upacara tertentu..
Selain itu, air juga menyimbolkan kesuburan, atau simbol kehidupan itu sendiri. Air itu mengalir terus seperti kehidupan yang terus berlanjut, dan kehidupan pun berjalan terus seperti aliran air. Tiada kehidupan di Bumi tanpa topangan air, karena itu air menjadi hal yang sangat penting dijaga kelangsungan, kelestarian, dan kemurniannya.

Kesadaran terhadap betapa penting makna dan fungsi air bagi kehidupan segenap makhluk itulah kiranya menjadikan masyarakat Bali agraris sangat memuliakan air. Sumber-sumber mata air dikeramatkan agar tidak dirusak ulah-ulah yang tidak sepatutnya.

Upacara pemuliaan sumber-sumber air pun digelar dalam kurun-kurun waktu tertentu secara terus-menerus, termasuk di Pura Tirta Empul. Tempat suci yang di- empon warga Desa Pakraman Manukaya Let yang terbagi menjadi lima banjar adat ini, saban waktu digelar upacara keagamaan yang tujuannya memuliakan sumber-sumber air. Piodalan besar ( ageng ) dilaksanakan setahun sekali, pada Purnama Kapat (sekitar Oktober), selama sembilan hari.

Di Pura Tirta Empul, sekalipun pangempon berasal dari lima banjar, penanggung jawab upacara dilakukan secara bersama-sama. Hanya, waktu ngaturang ayah dibagi bergiliran. Jika diperlukan sesaji ( banten ) mendesak dalam jumlah besar, dan harus disediakan sesegera mungkin, barulah warga ngayah (bekerja tanpa upah) bersama-sama. Dengan begitu kerja tak dirasakan menjadi beban, sebaliknya justru menjadi satu bentuk nyata rasa bakti kepada sang Pencipta. 

Air Kehidupan Batara Indra
Kehadiran Pura Tirta Empul, di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, tidak terpisahkan dengan mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Bali, perihal seorang Raja dari Bedahulu bernama Mayadanawa.

Buku Hasil Inventarisasi Pura/Tempat Suci Bersejarah yang disusun dalam rangka penjaluran ulang pariswisata Bali, susunan Tim Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Tradisional dan Baru, tahun 1980-1981, menunjukkan memang ada rotal Usana Bali menyebutkan nama Raja Mayadanawa.

Konon, Raja Mayadanawa ini sangat sakti. Namun sering bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Warga tak diizinkan melakukan upacara keagamaan guna memohon keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa. Ia melarang rakyat Bali menghaturkan persembahan apa pun kepada para dewata, sebaliknya meminta rakyat agar memuja dirinya sebagai dewata.

Perilaku Raja Mayadanawa diketahui para dewa di kahyangan. Para dewa akhirnya berunding buat menyerang penguasa di Kerajaan Bedahulu tersebut. Pertempuran pun tiada terhindarkan. Pasukan para dewa dipimpin Batara Indra, sedangkan pasukan Bedahulu dipimpin langsung Raja Mayadanawa.

Pertempuran berjalan sengit, saling serang antarkedua pasukan tiada terhindarkan. Toh, pasukan Mayadanawa berhasil dikalahkan oleh para dewa. Namun, sang raja beserta beberapa pangiring (abdi) setianya melarikan diri ke arah pegunungan. Dalam pelariannya, Mayadanawa selalu berganti rupa guna mengelabui pasukan Batara Indra—belakangan wilayah atau desa yang menjadi tempat persembunyian Mayadanawa itu diabadikan sebagai nama desa.

Desa Manukaya, misalkan, dihubung-hubungkan dengan saat Mayadanawa berubah wujud menjadi ayam. Tempat Mayadanawa bersembunyi di daun janur kini dinamakan Desa Belusung—berasal dari kata busung yang berarti janur. Di kawasan Mayadanawa berupaya menghilangkan jejak dengan memiringkan tapak kakinya lantas dinamakan Tampaksiring.

Pengejaran terus berlangsung. Upaya Batara Indra besama pasukannya membunuh Raja Mayadanawa tiada pernah surut. Saban kali Mayadanawa terdesak dia pun menciptakan yeh cetik (air racun). Pasukan Batara Indra yang kehausan, tak tahu air dimaksud mengandung cetik, akhirnya meminumnya. Cilaka, tiap kali meminum yeh cetik pasukan itu pun tewas.

Guna mengalahkan yeh cetik ciptaan Mayadanawa, Batara Indra lantas menciptakan benteng membendung yeh cetik . Berikutnya, dari dalam tanah menyembullah air bening, dinamakan Tirta EEmpul. Konon, Tirta Empul atau air yang menyembul dari dalam tanah inilah yang dapat menghidupkan kembali bala tentara pasukan Batara Indra yang telah tewas oleh yeh cetik Mayadanawa. Di akhir kisah disebutkan, Mayadanawa pun dikalahkan Batara Indra.

Mitos yang tertuang dalam teks Usana Bali itu tentu sulit dibuktikan kebenarannya. Para penekun spiritual di Bali mengira-ngira, nama Mayadanawa itu merujuk pada konsep filsafat maya ( maya-tattwa ) dalam Siwaisme: bahwa segala penampakan material di dunia ini bukanlah kenyataan sejati, melainkan cuma maya belaka. Nama Bedahulu sebagai kerajaan pun diduga kuat sebagai simbolik beda sikap dan pemikiran raja Bali Kuno atas dominasi Majapahit yang ingin menguasai Bali yang berdaulat.

Sejarah memang lantas mencatat jelas: Raja Bali Kuno terakhir yang berpusat di kawasan Pejeng, Gianyar, bernama Sri Astasura Ratna Bumi Banten, itu akhirnya dikalahkan pasukan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada, abad ke-14. Sejak itu peradaban Bali, terutama Bali tengah dan selatan, pun mendapat pengaruh kuat peradaban Majapahit.

Namun, satu hal tetap terus mengalir sejak zaman Bali Kuno hingga kini: bening jernih air Tirta Empul tetap digunakan membasuh raga, jiwa, dan batin supaya menjadi bersih, suci, dan hening.

Pura Besakih - Karangasem

Di Pura Besakih alam semesta divisualisasikan dalam berbagai dimensi. Misalnya di Panataran Agung di Mandala Kedua hulunya Salu Panjang atau sering juga disebut Bale Agung ada palinggih Ider Bhuwana. Salu Panjang itu bertiang 24 di kanan Balai Pawedaan yang sering disebut Balai Gajah. Bangunan yang disebut palinggih Ider Bhuwana itu melambangkan bahwa alam ini adalah satu dan bulat adanya. Karena itu disebut Anda Bhuwana yang artinya alam yang bentuknya bulat seperti telur. Kata anda dalam bahasa Sanskerta berarti telur dan bhuwana berarti alam seperti planet-planet isi ruang angkasa ini.

Di samping alam dilukiskan satu dan bundar oleh palinggih Ider Bhuwana, alam juga dilukiskan sebagai alam bawah dan alam atas. Alam bawah di Pura Besakih divisualisasikan sebagai ”Soring Ambal-Ambal”. Sedangkan alam atas divisualisasikan “Luhuring Ambal-Ambal”. Komplek Pura Besakih ada yang digolongkan pura di Soring Ambal-Ambal dan ada Pura yang tergolong di Luhuring Ambal-Ambal.

Pura yang tergolong di Soring Ambal Ambal antara lain Pura Pesimpangan, Pura Manik Mas, Pura Bangun Sakti, Pura Merajan Selonding, Pura Gua Raja, Pura Rambut Sedana, Pura Basukian, Pura Dalem Puri, Pura Jenggala, Pura Banua dan Pura Merajan Kanginan. Pura yang tergolong di Luhuring Ambal Ambal adalah Pura Penataran Agung Besakih, Pura Batu Madeg, Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kulkul, Pura Peninjauan, Pura Tirtha, Pura Pengubengan, dan Pura Pasar Agung di Desa Sebudi. Kompleks : Pura Besakih ini sering disebut kompleks 18 pura. Hal ini disebabkan Pura Goa Raja dan Pura Rambut Sedana dianggap satu kompleks.

Pura Soring Ambal-Ambal lambang keberadaan alam bawah yang disebut Sapta Patala yang berarti tujuh lapisan alam bawah. Sedangkan Pura-Luhuring Ambal-Ambal lambang keberadaan alam atas dan pemujaan Tuhan Yang Mahakuasa. Alam atas itu disebut Sapta Loka yang divisualisasikan di tujuh lapis atau Mandala Pura Penataran Agung Besakih. Pusat palinggih di Pura Soring Ambal-Ambal adalah di Pura Merajan Selonding di
Pelinggih Gedong. Di Pelinggih Gedong di Merajan Selonding itulah disimpan segala pratima atau arca pemujaan semua pura yang tergolong Pura Soring Ambal-Ambal. Palinggih Gedong di Merajan Selonding inilah sebagai simbol sentralnya alam bawah. Sedangkan semua pratima, prasasti, dan sarana lainnya dan semua pura yang tergolong Luhuring Ambal-Ambal disimpan di palinggih Kehen yang ada di petak atau Mandala Ketiga Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih Kehen ini berbentuk meru dengan atapnya tumpang tiga. Palinggih Kehen inilah simbol pusat alam atas atau Luhuring Ambal-Ambal.

Mengapa perlu ada dua kelompok pura di kompleks Pura Besakih? Hal ini menandakan bahwa ajaran Hindu tidak hanya menanamkan ajaran untuk percaya dan takwa pada keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan. Tetapi lebih dari itu kepercayaan dan ketakwaan umat Hindu pada Tuhan harus didayagunakan untuk memahami keberadaan alam dan semua ciptaan-Nya untuk memajukan hidup dan kehidupan ini. Tuhan dipuja sebagai jiwa dan sumber alam bawah dan alam atas. Pemujaan itu untuk menghindari adanya keyakinan bahwa Tuhan hanya ber-stana di pura bahkan ada yang menduga Tuhan hanya ada di langit. Hal ini mungkin menyebabkan banyak orang yang berbuat seenaknya di bumi ini karena Tuhan hanya ada di langit; hanya kadang-kadang datang ke bumi.

Saat memuja memang disimbolkan Tuhan berstana di pura untuk memudahkan pelatihan untuk berkonsentrasi. Tetapi dalam filosofinya Tuhan itu ada di mana-mana. Dengan adanya keyakinan bahwa Tuhan ada di alam bawah dan alam atas itu umat manusia dapat juga memahami bahwa unsur-unsur alam itu dapat berfungsi karena ada Tuhan di alam tersebut. Magma yang merupakan sumber api di perut bumi itu sebagai unsur alam yang menyebabkan adanya kesuburan di bumi. Demikian juga Tuhan ada juga di tanah sehingga tanah menjadi sumber bahan makanan yang tidak habis-habisnya tentunya kalau hak asasi alam dari tanah itu tidak diganggu manusia. Karena itu memuja Tuhan sebagai dewa tanah untuk menanamkan pemahaman akan perlunya tanah dijaga agar tidak diganggu fungsinya dalam menciptakan bahan makanan. Karena itu Tuhan dipuja sebagai dewa tanah yang disebut Dewa Ananta Bhoga. Kata ananta bhoga berarti makanan yang tiada habis-habisnya. Tanah yang tidak diganggu kesuburannya oleh manusia akan mendatangkan bahan makanan yang tidak habis-habisnya.

Ada juga pura untuk memuja Tuhan sebagai dewa air ini untuk menanamkan pemahaman umat agar tidak merusak eksistensi air sebagai salah satu sumber kehidupan umat manusa. Syukurlah Tuhan menciptakan air. Tidak ada kehidupan tanpa air. Tuhan sebagai dewa air dipuja sebagai Sang Hyang Basuki. Basuki berarti rahayu atau selamat. Tanpa air tidak ada keselamatan.

Demikian juga, pura di Luhuring Ambal-Ambal ada yang disebut Pura Ulang Alu dan Pura Ratu Subandar. Hal ini untuk mengarahkan pada mereka yang melakukan usaha perdagangan dalam negeri dan luar negeri agar berdagang sesuai dengan norma-norma berdagang yang benar, baik dan bermoral; tidak menipu pe langgan, tidak memalsu barang baik kualitasnya maupun timbangannya.

Ada juga palinggih Widyadhara dan Widyadharii yang berarti Tuhan sebagai dewa ilmu pengetahuan. Demikianlah seterusnya bahwa adanya kelompok Pura Soring Ambal-Ambal dan Luhuring Ambal-Ambal sebagai simbol untuk menanamkan pemahaman bahwa Tuhan itu ada di mana-mana termasuk ada di langit maupun di bumi. Dengan demikian pemujaan Tuhan agar dapat didayagunakan untuk membangun moral luhur untuk menjaga kesucian bumi dan langit agar tidak terpolusi akibat perilaku negatif manusia.

PURA Besakih kini memang menjadi pusat perhatian serangkaian akan diselenggarakannya upacara Panca Bali Krama. Terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, pura ini berada di kaki Gunung Agung — di lereng barat daya pada ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut.
Gunung Agung yang tingginya sekitar 3142 meter, gunung tertinggi di Bali, merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari keberadaan Pura Besakih. Berdasarkan catatan, Gunung Agung sudah pernah meletns beberapa kali — pada tahun 1089, 1143, 1189 dan 1963.


Perihal berdirinya Pura Besakih, berdasarkan catatan-catatan yang terdapat dalam prasasti logam maupun lontar-lontar, disebutkan pada mulanya merupakan bangunan pelinggih kecil yang kemudian diperbesar dan diperluas secara bertahap dalam tempo yang cukup lama. Dari sumber-sumber catatan itu diketahui bahwa pada permulaan abad ke-11 yaitu tahun 1007, Pura Besakih sudah ada.


Ketika itu masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042) dan Empu Kuturan menjadi senapati di Bali, yang berkedudukan di Silayukti, Padangbai, Kabupaten Karangasem. Empu Kuturan memperbesar dan memperluas Pura Besakih dengan membangun sejumlah pelinggih. Beberapa meru dibangun meniru bangunan di Jawa seperti yang ada sekarang.


Sumber lainnya menyebutkan, Maha Rsi Markandeya pindah bersama rombongan sebanyak sekitar 8.000 orang dan Gunung Raung di Jawa Timur ke Bali untuk menetap dan membuka tanah-tanah pertanian serta mendirikan Pura Besakih untuk tempat memo- hon keselamatan dan kesejahteraan dengan menanam panca datu.
Kemudian, pada masa benikutnya, zaman pemerintahan Shri Wira Kesari Warmadewa
sampai masa pemerintahan Dalem Waturenggong, Pura Besakih tetap mendapatkan pemeliharaan yang baik. Hampir semua pelinggih-nya diperbaiki, arealnya diperluas, bahkan oleh Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh ditambah dengan pelinggih beruang tiga yang sekarang terdapat di Pura Penataran Agung Besakih pada sekitar abad ke-16, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali.
Disebutkan, kata besakih berasal dari kata basuki yang berarti “selamat”. Kata ini berkembang menjadi basukir dan basukih, lalu menjadi besakih. Nama ini terdapat dalam dua prasasti yang disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan Selonding dan satu lagi di Pura Gaduh Sakti di Desa Selat.


Fungsi umum Pura Besakih adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan. Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap purnama sasih kedasa (sekitar Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan pada 1979.


Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan Raja Sri Jayakesunu memerintahkan memasang penjor pada Hari Raya Galungan sebagai lambang Gunung Agung. Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, seperti terdapat dalam lontar Raja Purana Besakth tentang upacara, nama pelinggih, tanah pelaba, susunan pengurus, hingga tingkatan upacara, diatur dengan baik.


Struktur Pura
Sampai saat ini, Pura Besakih tetap merupakan pura terbesar di Bali, merupakan pusat tempat ibadah bagi umat Hindu di Indonesia. Kelompok Pura Besakih terdiri atas 18 kompleks pura yang terletak di wilayah Desa Besakih dan satu terletak di Desa Sebudhi, Kecamatan Selat, Karangasem. Selain dari pura yang disebutkan berikut, masih banyak lagi Pura Pedharman yang menjadi penyiwaan warga-warga yang sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengan Pura Agung Besakih itu sendiri. Berikut rincian pura-pura tersebut:


1. Pura Persimpangan
— Terletak di Desa Kedungdung, di tengah-tengah ladang sekitar 1,5 km, di Sebelah selatan Pura Penataran Agung. Di Pura ini terdapat 4 buah bangunan dan pelinggih. Fungsinya sebagai tempat pesimpangan sementara bhatara Besakih ketika diadakan upacara melasti (mencari toya ning) ke Toya Sah, ke Tegal Suci atau ke Batu Kiotok yang dilakukan tiap-tiap tahun.


2. Pura Dalem Puri
- Terletak di sebelah utara tikungan jalan terkahir, sebelum sampai di Desa Besakth sekitar 1 km di sebelah barat daya Pura Penataran Agung Besakih. Di pura ini terdapat 10 bangunan, termasuk pelin,ggih berbentuk gedong beratap ijuk. Fungsinya Sebagai linggih bhatari Uma dan Dewi Durga. Di Pura ini juga terdapat pelinggih Sang Hyang Prajapati sebagai penguasa roh manusia. Di Sebelah utara terdapat tanah lapang yang disebut Tegal Penangsar.

3. Pura Manik Mas — Terletak di pinggiran sebelah kin jalan menuju ke Pura Penataran Agung, jarakiiya sekitar 750 meter di sebelah selatan Penataran Agung. Di Pura ini terdapat 6 bangunan dan pelinggih, termasuk pelinggih pokoknya berbentuk gedung simpan, hertiang empat menghadap ke barat. Fungsinya sebagai linggih Ida Ratu Mas Melilit.


4. Pura Bangun Sakti — Terletak di sebelah kanan jalan menuju ke Penataran Agung dan di sebelah utara Pura Manik Mas. Di Pura ini terdapat ernpat bangunan dan peiinggih. Pelinggih pokoknya adalah Gedong Simpan sebagai linggih Sang Hyang Ananthaboga.


5. Pura Ulun Kulkul — Terletak sekitar 350 meter sebelah kiri jalan menuju Pura Penataran Agung. Di Pura ini terdapat tujuh bangunan danpelinggih. Pelinggih yang terpentingnya adalah Gedong Sari beratap ijuk sebagai iinggih Dewa Mahadewa. Pura ini adalah salah satu linggih Dewa Catur Loka Phala, yaitu manifestasi Sang Hyang Widhi yang menguasai arah barat. Warna perhiasaan atau busana di pura ini, pada waktu upacara, serba kuning.


6. Pura Merajan Selonding — Tenletak di Sebelah kiri Pura Penataran Agung, dengan lima bangunan danpelin,ggih. Di pura itu tersimpan prasasti dan sejumlah pratima, serta gamelan slonding. Menurut catatan sejarah, pura ini merupakan bekas bagian dan istana raja Sri Wira Dalem Kesari. Kini, pura ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka.


7. Pura Goa- Terletak di sebelah kanan jalan berhadapan dengan Pura Merajan Slonding. Di kompleks ini terdapat goa yang besar, tetapi bagian-bagiannya sudah banyak yang runtuh. Menurut kepercayaan rakyat, goa itu tembus ke Goa Lawah, di sebelah timur Kusamba, Sebagai goa untuk Sang Hyang Basuki. Di pura ini terdapat empat pelinggih.


8. Pura Banuwa— Terletak di sebelah kanan jalan di hadapan Pura Besakih, sekitar 50 meter dan Pura Penataran Agung. Dalam pura im terdapat empat bangunan dan pelinggih pemujaan pokoknya ditujukan kepada Dewi Sri. Setiap sasih kepitu atau sekitar Januari, di siii diadakan upacara Ngusaba Ngeed dan Ngusaba Buluh yang bertujuan mohon kemakmuran di sawah dan di ladang.


9. Pura Merajan Kanginan— Teretak di sebelah timur Pura Banuwa. Di pura ini terdapat tujuh bangunan dan pelinggih, di antaranya ada pelinggih untuk Empu Baradah.


10. Pura Hyang Aluh — Terletak di sebelah barat Pura Penataran Agung, herjarak sekitar 200 meter. Di dalamnya terdapat tujuh banguanan dan pelinggih. Pelinggih pokok pada pura ini berbentukgedong untuk linggih Ida Ratu Ayu.

11. Pura Basukihan — Letaknya di sebelah kanan tangga naik menuju Pura PenataranAgung. Di sun tendapat 10 bangunan dan pelinggih. Pelin,ggih pokoknya berbentuk meru dengan atapnya bertmgkat 9 sebagai linggih Sang Hyang Naga Basuki.

12. Pura Penataran Agung Besakih — Tenletak di tengah-tengah kelompok pura yang termasuk lingkungan Pura Besakih. Kompleks pura ini termasuk terbesar di Pura Besakth. Terdiri dan 7 tmgkat halaman denganjumlah bangunan dan pelinggih seluruhnya sebanyak 53 buah. Di sini terdapat meru yang besar-besar beratap tujuh tingkat 11, 9, 7, 5, dan 3. Pelinggih yang merupakan pemujaan pokoknya adalah Padma Tiga sebagai linggih Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya Sebagai Tn Purusa yaitu Ciwa, Sadha Ciwa dan Panama Ciwa yang sekaligus merupakan “poros” dan pura-pura yang lainnya.


13. Pura Batu Madeg — Terletak sekitar 150 meter di sebelah kanan (utara) Pura Penataran Agung. Pura ini adalah kompleks pura yang besar, dengan 29 bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya berbentuk meru besar beratap ijuk beratap 11. Bangunan ini merupakan linggih Dewa Wisnu sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi, yang menguasai arah Sebelah utara. Warna busana di pura ini adalah serba hitam.


14. Pura Kiduling Kreteg — Terletak sekitar 300 meter di sebelah kiri (Selatan) Pura Penataran Agung, di atas suatu bukit. Di dalamnya ada 21 bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah meru besar beratap tingkat 11 sebagai linggih Dewa Brahma yaitu manifestasi dan Sang Hyang Widhi sebagai penguasa arah selatan. Kompleks pura ini merupakan kompleks yang besar, hampir sama besarnya dengan kompleks Pura Batu Madeg. Warna busana di pura ini merah.


15. Pura Gelap — Terletak sekitar 600 meter pada sebuah bukit sebelah timur Pura Penataran Agung. Di dalamnya terdapat enam bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah meru beratap 3 sebagai linggih Dewa Iswara — manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai penguasa anah sobelah timur. Warna busana di pura ini adalah serba putth.


16. Pura Peninjauan — Terletak sekitar 1 km di sebelah kanan Pura Penataran Agung, di dalamnya terdapat 12 bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknyaberbentuk meruberatap tingkat 11, tem pat Empu Kuturan memohon restu kepada SangHyang Wicthi dalam rangka suatu upacara di Gunung Agung.


17. Pura Pengubengan — Letaknya 1,5km disebelah utara Pura PenataranAgung, di dalamnya ada enam bangunan dan pelinggih. Fungsinya sebagai tempat ngayat atau nubeng—suatu upacara permakiuman kepada Sang Hyang Widhi bahwa di Pura Penataran Agung akan dilangsungkan upacara. Pelinggih pokoknya berupa meru beratap tingkat 11.


18. PuraTirta — Letaknya sekitar 300 meter di Sebelah timur laut Pura Pengubengan. Di pura ini terdapat dua bangunan dan pelinggih, serta air suci (tirta). Jika ada upacara di kompleks Pura besakih, maka di pura inilah umat memohon tirta atau air suci.

19. Pura Pasar Agung — Letaknya di lereng Gunung Agung, melalui Desa Selat ke Desa Sebudi, lalu mendaki sekitar empat jam mendaki ke arah utara. Pelinggih-nya sernua hancur waktu Gunung Agung meletus pada 1963, dan menjelang karya Eka Dasa Rudra di Besakih telah mulai diperbaiki secara bertahap sarnpai sekarang.

Pura Bukit Gamang, Sumber Mata Air

PURA BUKIT GAMANG



Varsikamscaturo nasanyatha
Indro’bhipravarsati
tathabhivarsetsmam rastra
kamair Indrvratam caran

(Manawa Dharmasastra, IX, 304)


Maksudnya: Laksana Dewa Indra menurunkan hujan yang berlimpah selama empat bulan setiap tahun, demikianlah raja menempati kedudukan bagaikan Dewa Indra dengan menghujankan kemakmuran bagi rakyatnya.
KEBERADAAN Pura Gumang di Bukit Juru, Desa Bugbug, Karangasem, ada hubungannya dengan adanya mata air yang mengaliri sawah ladang di sekitar Desa Bugbug. Keterangan tertulis yang bernilai sejarah tentang Pura Gumang di Bukit Juru ini memang sampai saat ini masih belum diketemukan. Keterangan tentang pura tersebut hanya didapat dari keterangan orang tua-tua seperti pemangku yang menjadi jan banggul di Pura Gumang dan juga dari tokoh-tokoh masyarakat yang menaruh perhatian tentang agama dan adat Hindu.

Cerita itu didapatkan Secara turun-temurun. Menurut cerita rakyat yang dicatat oleh Tim Penelitian Sejarah Pura IHD (kini Unhi), dulu ada seorang dari Jawa bernama I Dewa Gede datang ke Bali. Saat I Dewa Gede datang ke Bali, masyarakat Bali tidak begitu hirau. Setelah beberapa lama I Dewa Gede berputar-putar di Bali, akhirnya ia menemukan tempat yang sangat menenangkan hatinya. Tempat itu adalah Bukit Juru yang juga bernama Bukit Gumang.

Di tempat itu, I Dewa Gede melakukan olah tapa sambil bertani bersama-sama masyarakat petani setempat. Di daerah Bukit Juru, pertanian mengandalkan air tadah hujan. Upaya menghijaukan Bukit Juru tidak pernah berhenti dilakukan oleh I Dewa Gede.

Di samping itu, dalam melakukan oleh tapa, ia senantiasa memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar muncul mata air dan sungai untuk kesuburan pertanian masyarakat di sekitarnya. Dalam upaya melakukan penghijauan dengan air tadah hujan dan melakukan tapa barata itu, akhirnya suatu saat muncuJiah mata air di Pura Gumang di Bukit Juru sekarang ini.

Atas keberhasilan usaha I Dewa Gede bersama masyarakat petani secara sekala dan niskala ini, I Dewa Gede lantas dicintai oleh rakyat. Hal itu berhasil tentunya karena waranugraha Hyang Widhi Wasa. Oleh karena adanya waranugraha itulah akhiniya Pura Gumang didirikan di mata air tersebut. Kata Gumang konon berasal dari paiguman yang artinya musyawarah. Atas keberhasilan I Dewa Gede menghijaukan Bukit Juru itu dengan upaya sekala dan niskala itu pula, akhirnya rakyat mengadakan rapat (igum) untuk mengadakan upacara di Pura Gumang dan memberikan hadiah sapi kepada I Dewa Gede. Saat itu I Dewa Gede diberikan tambahan nama menjadi I Dewa Gede Gumang. Konon sapi-sapi persembahan rakyat itu pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang habis ditembaki oleh orang-orang Belanda dan Jepang yang suka berburu di Bukit Juru itu. Ada juga versi lain tentang keberadaan Pura Gumang ini. Menurut Jero Mangku Nengah Silur, zaman dulu para dewa turun dan Gunung Mahameru di India ke Jawa dan Bali. Di Bali, para dewa ke Pulaki, Silayukti, CandiDasa.

Di Candi Dasa, para dewa menemukan air. Air itu atas kehendak para dewa terus menjadi telaga dengan tamannya. Para dewa ingin bermeditasi dengan dapat melihat Gunung Agung dengan Pura Besakih-nya secara lurus. Ternyata, dan Candi Dasa para dewa tidak dapat melihat Gunung Agung dengan jelas dan lurus.

Para dewa lalu pindah ke Gunung Gundul, ke Bukit Pejenengan. Ternyata sama juga, Gunung Agung tidak bisa dilihat secara baik. Dan dua tempat itu, mereka akhirnya berpindah ke Bukit Juru yang berbadan tiga. Dan Bukit Juru inilah para dewa barn melihat Gunung Agung dengan lurus. Di Bukit Juru inilah para dewa melakukan musyawarah (mapaiguman) melakukan yoga dan tapa serta mendirikan pura untuk memuja Hyang Widhi di Pura Besakih.

Lewat musyawarah itulah Bukit Juru disebut Bukit Gumang. Yang bermusyawarah itu adalah para déwa untuk melimpahkan karunianya pada umat yang berusaha memajukan hidupnya, seperti mengembangkan tradisi kehidupan yang agranis. Di Tampaksining juga ada Pura Gumang yang dilatarbelakangi oleh pertemuan Dewa Indra dengan para dewa untuk menata kehidupan di Bali setelah dapat mengalahkan Mayadenawa. Demikian mitologi tentang Mayadenawa. Di tempat - Dewa Indra bermusyawarah atau mapaiguman itulah dibangun Pura Catur Paigu- man yang selanjutnya disebut Pura Gumang di Tampaksiring.

Di Pura Gumang di Bukit Juru terdapat beberapa petinggih utama dan pelengkap. Ada peling.gih Gedong sebagai stana Ida Bhatara Gede Gumang yang juga disebut Ida Bhatara Gede Manik Mas Kecatur. Di kiri kanan Gedong, agak mundur sedikit, terdapat tiga pelinggih Taksu yang mengapit Gedong - dua dikiri dan satu di kanan. Tiga Taksu tersebut sebagai pelinggih Ida Bhatara Gede Gumang.

Ada pula pelinggih Meru tumpang tiga sebagai stana Ida Bhatari Uma, saktinya Dewa Siwa. Mengapa Ida Bhatara Gede Gumang disebut juga Ida Bhatara Gede Manik Mas Kecatur, hal mi mungkin sebagai bukti bahwa I Dewa Gede itu pemuja Bhatara Siwa dengan saktinya Sang Catur Dewi. Dewa Siwa memiliki empat sakti yaitu Dewi Uma, Dewi Perwati, Dewi Gangga, dan Dewi Gauri. Empat sakti Siwa inilah yang disebut Sang Catur Dewi. 

Dalam kaitannya memuja Tuhan untuk memohon turunnya mata air dan sungai yang mengalir di daerah Bughug, Jasi, Bebandem, Datah dan Ngis, ada kaitannya dengan cerita turunnya sungai Gangga dan Sorga Loka dalam cerita Purana di India.

Pendirian pelinggih untuk I Dewa Gede mi tentunya dibuat setelah I Dewa Gede Gumang sudah berbadan niskala dalam statusnya yang sudah menjadi Dewa Pitara. Umumnya, roh suci atau Dewa Pitara seorang tokoh dibuatkan pelinggih bukan oleh din tokoh tersebut, namun dibuat oleh keturunannya atau masyarakat generasi setelah tokoh tersebut sudah berbadan niskala sebagai Dewa Pitara atau Siddha Dewata.

Pura Batu Bolong, Lombok - NTB

Pura Batu Bolong, Lombok - NTB. Disudut tikungan jalan menurun menuju Senggigi, Lombok, di situlah Pura Batu Bolong berada. Sebuah pura yang berdiri di atas batu karang yang bolong (berlubang) serta tetap kokoh, tegar dan agung di bibir pantai Senggigi ini, menyhnpan aura religius yang kuat dengan keindahan pantainya. Buih-buih ombak yang ramah seolah senantiasa meranku1 dengan damai areal pura dan pantainya.
Awal memasuki kawasan pura yang piodalan-nya jatuh pada Purnamaning Kasa ini, umat Hindu atau pamedek yang hendak tangkil (melakukan persembahyangan) bisa masuk melalul Candi Bentar bertekstur pasir. Di kiri-kanan gerbang utama ini ada pintu kecil (betelan) berterali besi sebagai side entrance atau pintu sampingnya.

Di sebelah kiri areal (dekat jalan raya), terdapat bukit yang di atasnya berdiri Pura Pucaksari Melanting dengan beberapa pelinggih dan bangunan pelengkap, seperti Palinggih Pasimpangan Gunung Agung, Pasimpangan Gunung Rinjani, Pasimpangan Ayu Mas Melanting dan Bale Pawedan. Di sekeliling, selain pantai nan elok, juga beragam pepohonan tumbuh di areal dekat pura. Seperti pohon beringin (di Jaba Sisi), bujut, celagi (asem), waru (di tepi pantai), pule, dan lain-lain.

Memasuki areal pura, orang akan menuruni tangga terlebih dulu, sebelum melewati beberapa pelinggih yang berdiri di sekitar jalan setapak menuju puncak Pura Batu Bolong. Saat pertama, di sisi kiri jalan yang dilalui, ada dua pelinggih (dalam satu penyengker). Yang lebih dekat dengan pintu masuknya, berdiri (menghadap ke selatan), palinggih Bagus Balian. Di sisi kiri dari pelinggih itu (menghadap ke barat) ada pelinggih Pengayengan Ratu Gde Mas Mecaling.

Pada sisi kirinya, berjejer Bale Pewaregan dan Bale Pakemit. Melewatinya, di sebelah kanan jalan setapak terdapat Bale Pawedan dan Bale Pengodal. Menyusul di belakang Pelinggih Pangelukatan (dasar palinggih-nya bersentuhan dengan air laut). Seberang kanannya ada Palinggih Pelawangan.

Setelah melewati bangunan-bangunan suci inilah, orang bisa menyaksikan lebih dekat onggokan batu karang besar, berlubang menjulang vertikal. Ibarat menganga, lidah dan suara debur ombak terlihat menembus dan berkecipak dilubang batu karang itu. Maka, suasana alam yang indah berpadu dengan hamparan aura religi yang teduh memendarkan kekaguman. Serta keindahan yang khusuk merasuki benak setiap orang.

Di sebelah batu berlubang/bolong itulah tersedia undag-undag. Naik menuju hulu atau bagian atas batu karang. Tempat di mana terdapat Padmasana, pelinggih Batara Ayu Mas Lingsir Batu Bolong, palinggih Batara Bagus Lingsir Batu Bolong. Juga pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh dan (di atas tebing yang paling ujung-menjorok ke laut) pesimpangan Petirthan. Beberapa jenis patung yang ada di kompleks pura ini antara lain patung Subali, Sugriwa, Rama, Laksmana, dan patung naga.

Berpindah-pindah
Menurut beberapa sumber, perjalanan Dang Hyang Dwijendra hingga ke Pulau Lombok merupakan lanjutan dari perjalanan beliau dari Jawa dan Bali. Beliau kerap berpindah-pindah tempat. Di awali dari daerah Daha, kemudian ke Pasuruan, Blambangan, terus ke kawasan Pulau Bali bagian Barat-Jembrana (sekitar tahun Çaka 1411).

Pun, selain mengelilingi pantai selatan Pulau Bali, beliau melanjutkan peralanan spiritual ke kawasan Bali Utara. Seperti Pura Pulaki hingga ke Pura Ponjok Batu, sebelum melanjutkan perjalanannya ke Pulau Lombok. Di tempat yang terakhir itulah Dang Hyang Dwijendra disebutkan sempat menolong beberapa orang bendega atau nelayan perahu yang karam dekat Ponjok Batu. Para bendega asal Lombok yang diselamatkan beliau itu konon turut mengantarkan Dang Hyang Dwijendra ke Lombok.

Bapak Mangku Made Sada, salah satu pemangku yang sehari-hari siap melayani umat tangkil ke pura itu, mengungkapkan. Katanya, keberadaan pura itu memiliki nilai sejarah dan spiritual sebagai bagian dari perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra, usai menyusuri pantai-pantai di Bali. Dikatakannya, sebelum beliau - yang disebut pula sebagai Ida Peranda Sakti Wawu Rauh — sampai di Batu Belong, pertama kali memasuki kawasan Tanjung Bukur dan Pura Kapusan - Lombok Barat. Selanjutnya, setelah tiba di Batu Bolong, perjalanan beliau dilanjutkan ke Lingsar dan Suranadi.

Pura Batu Bolong yang berhadapan dengan Selat Lombok dan Gunung Agung di Bali ini memiliki atmosfir spiritual yang mampu memberikan kedamaian dan ketenangan bagi para pemedek yang ngaturang bakti ke pura ini.

Ikhwal yang paling menonjol peran beliau dalam penerapan konsep pembangunan pura di Bali maupun di Lombok adalah tentang perlunya dibangun sebuah pelingggih dalam bentuk Padmasana. Sebagai sthana Ida Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Pencipta). Dikatakan berbeda peuntukannya dengan tempat pemujaan lain, yang umumnya berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur dan para dewa.
 
Vibrasi Kesucian
Karya arsitektur Pura Batu Bolong-Lombok ini boleh dikata muncul akibat kebutuhan manusia (umat Hindu) akan ruang peribadatan yang dapat mewadahi seluruh aktivitas spiritual-religiusnya. Dengan demikian, peran kreasi manusia di tempat ini dan kondisi alam sekitar pantai Senggigi akan senantiasa mewarnai dan membantu menambah vibrasi kesucian pura itu sendiri.

Pura ini juga diyakini oleh masyarakat umat Hindu setempat dapat memancarkan spirit atau getaran rohani yang damai, teduh dan khusuk. ”Mengalami” ruang dan massa arsitektur pura ini mengantarkan orang lebih mamahami “jarak”, “waktu” dan “spirit”. Kegiatan “mengalami” yang dimaksud saat berada didalam pura ini adalah di mana orang bersentuhan langsung dengan realitas. Orang dapat merasakan ruang, permukaan massa dan benda-benda alam pantai serta “spirit” tempat dengan segenap indera yang dimiliki.

Bagaimana pun, Pura Batu Bolong yang terletak di Lombok ini memiliki makna tradisi yang berkaitan dengan kehidupan budaya masyarakat Hindu di Lombok yang “diwariskan” oleh budaya Bali. Selain secara historis-geografis punya kedekatan, masyarakat umat Hindu setempat tetap masih kuat melekatkan makna tradisi didalamnya. Secara prinsip punya kemiripan dengan makna tradisi yang ada Bali. Hal ini terlihat dari jenis-jenis pelinggih yang dibangun di pura itu.

Dengan tetap berpijak pada desa-kala-patra dan aspek ekologisnya, tentu ada bagian bagian yang mengalami penyesuaian atau transformasi. Bentuk pintu gerbang yang tidak terlalu besar dan tinggi, panggunaan bahan yang diperoleh dari lingkungan atau alam setempat, bentuk pepalihan yang dikembangkan serta penempatan dari jenis patung yang ada, boleh dikata menunjukkan hal itu

Pura Gunung Kawi

Pura Gunung Kawi. Hanya beberapa kilometer dari kawasan wisata Istana Negara Tampak Siring dan Pura Tirta Empul, kita akan melanjutkan jalan-jalan sekaligus photo-photo di objek wisata penuh nilai historis dan spiritual, Pura Gunung Kawi.

Dari artikulasi dapat diuraikan menjadi 2 (dua), yaitu gunung yang berarti tempat yang tinggi, bukit atau tebing dan Kawi berarti kekawin atau sesuatu yang dibuat . Jadi pura Gunung Kawi adalah pura yang dibangun di tebing di sebelah barat sebuah pegunungan dimana pegunungan itu sekarang dikenal dengan nama desa Sebatu. Sebatu berasal dari urat kata Sauh berati terpeleset dan Batu berarti batu atau bebatuan. Konon pada jaman pemerintahan raja Mayadenawa yang sangat bengis dan tidak percaya adanya Tuhan, daerah ini merupakan lintasan pelarian Raja Mayadenawa dengan para pengikutnya menuju desa Taro, setelah terdesak dalam peperangan melawan para dewata yang mengejarnya, begitu pula ketakutan para penduduk asli kepada pengikut raja Mayadenawa, sehingga semuanya lari tunggang langgang dan terpeleset diantara bebatuan pegunungan (Sauh di batu). Sadar akan penduduk asli yang tidak berdosa dalam bahaya, maka dewa Wisnu memberikan sumber kehidupan bagi penduduk yang tidak berdosa dalam wujud air suci. Sebagai ucapan rasa syukur penduduk, maka ditempat ini dibangun pura tempat pemujaan dewa Wisnu yang dikenal dengan nama Pura Gunung Kawi yang dilengkapi dengan pancuran-pancuran beraneka ragam fungsi seperti untuk air suci, mandi dan lain-lain.

Pura Gunung Payung - Kuta

Pura Gunung Payung Pada zaman dahulu perjalanan suci seorang pandita ke tengah-tengah umat untuk melakukan swadharma-nya sebagai orang suci. Salah satu swadharrna pandita adalah melakukan perjalanan untuk menyebarkan pendidikan kerohanian kepada umat. Dalam Sarasamuscaya 40 dinyatakan: panadahari upadesa. Artinya menyebarkan pendidikan kerohanian. Karena hakikat hidup adalah rohani sebagai pengendali kehidupan jasmani. Seperti dinyatakan dalam Katha Upanishad bahwa badan jasmani jul diumpamakan sebagai badannya kereta, indria diumpamakan bagaikan kuda kereta.

Pikiran bagaikan tali kekang kereta, kesadaran Budhi bagaikan kusir kereta. Sedangkan Atman diumpamakan bagaikan pemilik kereta. Tm artinya yang menentukan ke mana gerak kereta diarahkan adalah atas kehendak pemilik kereta. Selanjutnya kusir kereta dengan tali kekangnya yang mengarahkan Indria dan badan kereta. Pikiran Budhi dan Atman adalah unsur-unsur rohani dan pada manusia. Unsur-unsur roham inilah yang wajib dikuatkan eksistensinya dengan berguru pada pandita. Karena itu pandita disebut Adi Guru Loka. Artinya guru yang utama atau guru yang terkemuka.

Sebagai Adi Guru Loka pandita itu tidaklah mereka yang hanya diupacarai sebagai pandita dan berbusana pandita melalui proses diksa. Mereka yang dinyatakan sebagai pandita hendaknya mereka yang sudah memiliki ciri-ciri seperti yang dinyatakan dalam Kekawin Nitisastra 1.6 yang seperti kutipan di atas. Umat yang terpanggil untuk menjadi pandita seyogianya melalui proses pendidikan dan latihan keagamaan Hindu yang ketat.

Pendidikan dan latihan itu dapat dilakukan dalam bentuk pendidikan dan latihan yang bersifat tradisional maupun dalam bentuk pendidikan modern. Setelah adanya berbagai kemajuan di mana telah dapat diwujudkan sifat dan sikap hidup seperti apa yang dinyatakan dalam Nitisastra 1.6 tersebut barulah upacara diksa dan busana pandita dikenakan.

Dengan demikian empat fungsi pandita seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 40 akan lebih mudah dilakukan. Empat fungsi panthta tersebut adalah Sang Satyawadi artinya beliau yang senantiasa berbicara berdasarkan kebenaran Veda. Sang Apta artinya beliau yang dapat dipercaya oleh umat. Sang Patirthan artinya beliau yang dijadikan tempat mohon penyucian din oleh umat dan sang Panadahan Upadesa.

Nampaknya Danghyang Dwijendra Sebagai pandita telah mengamalkan petunjuk-petunjuk sastra agama Hindu tersebut sehingga beliau disebutkan Pedanda Sakti Wawu Rauh. Kata Sakti menurut Wrehaspati Tattwa 14 adalah memiliki banyak ilmu dan banyak kerja berdasarkan ilmu tersebut. Tidaklah seperti pemahamanku di mana sakti itu dipahami mereka yang memiliki magic power yang berkonotasi negatif. Ilmu yang dimiliki itu adalah ilmu yang disebut Para Widya dan Apara Widya. Para Widya itu adalah ilmu tentang kerohanian. Sedangkan Apara Widya adalah ilmu tentang keberadaan dan pengelola dunia jul dengan baik dan benar. Dna ilmu itulah yang dibutuhkan oleh kehidupan umat manusia di dunia ini.

Demikianlah per)alanan suci Danghyang Dwijendra di Bali mendatangi umat dan memberikan kesejukan pada umat. Saat beliau datang di daerah Kuta Selatan untuk niengakhiri keberadaan beiau di dunia sekala menuju dunia niskala beliau sempat datang ke Desa Kutuh di Kuta Selatan di suatu bukit dekat pantai selatan Bali. Di tempat itu beliau menjadi sang Patirthan artinya beliau memberi prayascita atau penyucian pada umat yang datang memohon penyucian diri pada sang Pandita. Di samping itu beliau juga melakukan pena4ahan Upadesa, artinya memberi pendidikan kerokhanian kepada umat.

Karena kesaktian beliau itu tangkai payung yang beliau tancapkan di tanah perbukitan yang kering itu dapat menimbulkan sumur dengan air yang tiada pernah kering sampai saat ini. Di tempat inilah umat mendirikan pura yang kini disebut Pura Gunung Payung. Itu artinya di pura un atas kedatangan Danghyang Dwijendra terdapat vibrasi kesucian yang wajib dipelihara oleh generasi selanjutnya. Danghyang Dwijendra thyakini mencapai dunia niskala dengan moksha di Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu yang tidak jauh dan Pura Gunung Payung. Pura Luhur Uluwatu adalah satu dan Pura Kahyangan Jagat sebagai pemujaan Tuhan dalam manivestasinya sebagai Dewa Rudra. Pura Luhur Uluwatu didirikan atas anjuran Mpu Kuturan pada abad ke-II Masehi. Pendirian Pura Luhur Uluwatu dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa dengan landasan konsepsi Sad Winayaka.

Pura Luhur Uluwatu mi memiliki banyak pura prasanak atau pura jajar kemiri. Tm artinya di areal perbukitan Kuta Selatan ini sejak zaman dahulu sudah terpatri vibrasi kesucian yang dipelihara dengan adanya banyak Pura Prasanak dari Pura Luhur Uluwatu. Di antaranya adalah Pura Gunung Payung jul. Karena itu sebagai generasi penerus seyogianya dalam menata kawasan di areal Pura Luhur Uluwatu termasuk di areal Pura Gunung Payung seyogianya memperhatikan nilai-nilai spiritual yang sudah terbukti memberikan vibrasi kesucian pada areal tersebut bersinergi dengan areal suci lainnya di seluruh Bali

Untuk memelihara vibrasi kesucian dikawasan bukit Kuta Selatan ini semua pihak hendaknya bertimbang cermat dan seimbang dengan konsep Tri Semaya. Konsep Tri Semaya itu adalah Atita, Nagata dan Wartamana. Apapun yang dilakukan saat ini (Wartamana) hendaknya terlebih dahulu menelaah dengan cermat di masa lalu (Atita) dan dengan berpikir panjang apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang.

Dengan demikian kita tidak meninggalkan begitu saja nilai-nilai luhur di masa lalu yang susah payah dikerjakan oleh para pendahulu kita. Demikian juga hendaknya kita berusaha melihat ke depan agar jangan sampai kita meninggalkan persoalan-persoalan yang membuat generasi mendatang penuh beban derita karena kesalahan kita saat ini.

Dengan konsep Atita, Nagata dan Wartamana inilah kita akan bisa hidup Sejahtera dengan berkelanjutan dan generasi ke generasi selanjutnya sepanjang masa.