Pura Tirtha Empul. Sekelompok warga berbusana adat Bali madya terlihat memasuki kawasan Pura Tirta Empul, saat sinar surya baru saja menyinari kawasan Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, awal April lalu. Tiba di areal paling luar, dekat pohon beringin besar, rombongan itu berhenti sejenak. Seorang wanita setengah baya terlihat sigap mengambil canangsari plus dupa yang ada dalam keben guna dihaturkan pada palinggih Padmasana. Usai sembahyang, mereka pun melanjutkan perjalanan menuju areal kawasan suci di hulu Tukad (Sungai) Pakerisan ini.
Di madya mandala, tepat pada telaga yang dihiasi banyak pancuran, mereka berhenti. “Kami akan melaksanakan panglukatan ,” papar I Wayan Arta, warga dari Jalan Mertjaya, Gang IV/7, Denpasar ini.
Dengan sehelai kain ( kamben ) membungkus sebagian tubuh, dilengkapi canangsari yang sudah dilengkapi dupa, mereka mencelupkan diri ke telaga. Diawali dengan mencakupkan kedua telapak tangan di kening, satu per satu air yang keluar dari mulut pancuran di sana—kecuali dua yang tak dijadikan sarana penyucian diri, yakni Tirta Pangentas dan Pabersihan, karena lazimnya berkaitan dengan upacara kematian—mereka manfaatkan sebagai sarana meruwat diri. Dalam tradisi Bali itu dinamakan malukat.Usai di kolam dengan 13 buah pancuran, mereka melanjutkan ritus ruwatan ke pancuran sebelah timur, pada Tirta Panglukatan. Usai mandi di pancuran dan berganti busana, rombongan keluarga ini bergegas menuju ke halaman dalam, menuju palinggih pusat Pura Tirta Empul.
Hari itu, Soma Wage, Wuku Dukut , merupakan hari suci bagi warga Hindu di Bali. Ini bertepatan dengan Purnama Kadasa— bulan Purnama pada bulan kesepuluh sesuai kalender Bali. Saat ini di Bali banyak dilaksanakan upacara keagamaan pada beberapa tempat suci, tak terkecuali dipilih oleh orang-orang buat malukat , menyucikan diri secara nisakala (gaib), memohon keheningan, agar terbebas dari berbagai penyakit dan derita yang mendera diri. Dan, Pura Tirta Empul, yang berlokasi di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, kerap jadi pilihan utama orang-orang yang berkeinginan malukat diri, merengkuh keheningan batin, mereguk keteduhan jiwa.
Air pancuran ini bersumber dari mata air Tirta Empul yang dibuatkan kolam bernama Telaga Tirta Suci. Dari telaga suci ini lantas dialirkan sehingga menjadilah masing-masing Tirta Teteg, Tirta Sudamala, Tirta Pangelukatan, Tirta Pamarisuda, Tirta Pamlaspas, Tirta Panglebur Ipian Ala, Tirta Pangentas, dan Tirta Pabersihan—semua semacam ruwatan di Jawa.
Dalam cermatan Ketut Ubung, bila ada warga malukat di pancuran ini, semua air yang meluncur dari pancuran dipergunakan, kecuali pada pancuran Tirta P angentas dan P abersihan . “Tirta P angentas itu diperuntukkan bagi orang yang meninggal, sedangkan Tirta Pabersihan dipergunakan bagi yang telah suci,” terka satu di antara warga pangemong Pura Tirta Empul ini.
Pura Tirta Empul dengan aliran air sucinya, memang kerap dijadikan satu pilihan melakukan bersih diri secara niskala. Entah karena keyakinan, sugesti, atau betul-betul Ida Batara yang berstana di tempat suci ini yang sih (sayang) kepada umat, beberapa masyarakat yang sempat menyucikan diri ke pura yang berlokasi di sebelah timur Istana Presiden Tampaksiring ini, merasakan keheningan hati, kejernihan pikiran, dan keteduhan batin.
“Pikiran, hati, dan jiwa saya terasa hening, teduh, setelah malukat di Tirta Empul,” papar Ni Made Suarni, warga dari Jalan Batu Intan, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Selain menjadi tempat malukat , tutur Jero Mangku Dewa Aji Samut, Pamangku Pura Tirta Empul, pura sungsungan (persembahyangan) jagat yang berjarak sekitar 35 kilometer dari Denpasar ini, juga sering dijadikan wahana memohon air suci. Saat warga Tampaksiring dan sekitar menggelar upacara keagamaan di pamerajan, pura kahyangan tiga desa, atau di pura subak, maka para pangempon pura ada saja mohon tirta pura yang terbagi dalam tiga mandala (areal) ini—halaman dalam ( jeroan ), tengah ( jaba tengah), dan halaman paling luar ( jaba sisi ).
Pada halaman jeroan terdapat berbagai peninggalan yang diyakini sebagai cikal awal pendirian Pura Tirta Empul. Di antaranya bangunan Tepasana sebagai stana Batara Indra, gedong limas sebagai tempat pangayengan Ida Batara di Gunung Agung, dan gedong catu sebagai stana Ida Batari Dewi Danuh. Kemudian ada fragmen arca berbahan batu padas dengan ketinggian 49 cm dan lebar 27 cm. Melihat ciri-ciri badannya, arca ini diperkirakan sudah dibuat abad X– XI Masehi.
Pada halaman tengah ( jaba tengah) terdapat kolam suci yang di tengahnya terdapat empat fragmen bangunan dari batu padas. Fragmen ini menyerupai pola perbingkaian—di bagian tengah berisi lubang berukuran 49 cm. Peninggalan yang kini terendam air itu, konon digunakan sebagai saluran air dari kolam menuju ke Desa Pejeng. Aliran air dari kolam suci itu dipergunakan untuk kepentingan pertanian.
Di sebelah barat kolam suci terdapat palinggih arca dengan berbagai peninggalan purbakala, seperti lingga yang berdiri tegak pada lubang yoni. Kepala Seksi (Kasi) Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, I Wayan Muliarsa menerangkan, lingga berbahan batu padas ini bertinggi 21 cm dan lebar 16 cm. Adapun yoni, bagian sisinya berukuran 50 cm.
Ada pula arca lembu (Nandini) terbuat dari batu padas dengan panjang 82 cm dan lebar 37 cm. Kemudian sebuah arca singa dari batu padas memiliki panjang 58 cm, lebar 32 cm, dan tinggi 56 cm.
Masih di areal jaba tengah, tepat di sebelah selatan kolam suci, berjejer 31 pancuran yang terbagi dalam tiga bagian. Air yang mengalir dari masing-masing pancuran itu memiliki berbagai fungsi.
Pada halaman jaba sisi terdapat wantilan dan di sebelah baratnya kolam permandian cukup luas. Hingga pertengahan dasawarsa 1980-an, kolam tersebut digunakan sebagai tempat permandian umum. Belakangan tak dimanfaatkan lagi karena pertimbangan dekat tempat suci.
Tirta Empul merupakan situs kuno, memang. Nama Tirta Empul, sesuai penjelasan Muliarsa, pertama kali ditemukan pada laporan tahunan Dinas Purbakala Bali, tahun 1924. Dalam laporan ini terdapat foto prasasti di Pura Sakenan Manukaya yang memuat nama tempat suci Tirta Empul, berangka tahun 884 Isaka atau 962 Masehi. Prasasti ini dikeluarkan Raja Candrabhayasingha Warmadewa, seorang raja zaman Bali Kuno yang merupakan keturunan dinasti Warmadewa. Alih aksara pertama prasasti ini dimuat dalam buku Oudheden van Bali , karangan Stutterheim.
Peneliti prasasti Bali asal negeri Belanda, Dr R Goris mengklasifikasikan, prasasti Manukaya sebagai tipe “ punah (muwah) ing saka ”, yakni prasasti berbahasa Bali Kuno dari tahun 951–983 Masehi (Isaka 873-905).
Dalam prasasti Manukaya disebutkan, sang Raja Candrabhayasingha Warmadewa pada bulan keempat paro terang hari ketigabelas tahun Isaka 884 telah memperbaiki permandian suci di Air Empul yang batunya telah rusak akibat aliran air.
Dalam prasasti Manukaya disebutkan, sang Raja Candrabhayasingha Warmadewa pada bulan keempat paro terang hari ketigabelas tahun Isaka 884 telah memperbaiki permandian suci di Air Empul yang batunya telah rusak akibat aliran air.
Air suci dalam bahasa Bali dikenal dengan sebutan tirta , karena itu Air Empul yang dimaksud dalam prasasti itulah kini dikenal dengan nama Tirta Empul. Itu berarti Tirta Empul paling tidak sudah ada sejak abad ke-10, kurang lebih 1100 tahun silam!
Sumber air Tirta Empul inilah kemudian mengalir menjadi Tukad Pakerisan di sisi timur dan Tukad Patanu di sisi barat. Air yang mengalir dari Tirta Empul ini dinilai suci, karenanya sampai kini masyarakat Bali di sekitarnya menjadikan air Tirta Empul ini sebagai air suci yang digunakan dalam upacara-upacara tertentu..
Selain itu, air juga menyimbolkan kesuburan, atau simbol kehidupan itu sendiri. Air itu mengalir terus seperti kehidupan yang terus berlanjut, dan kehidupan pun berjalan terus seperti aliran air. Tiada kehidupan di Bumi tanpa topangan air, karena itu air menjadi hal yang sangat penting dijaga kelangsungan, kelestarian, dan kemurniannya.
Kesadaran terhadap betapa penting makna dan fungsi air bagi kehidupan segenap makhluk itulah kiranya menjadikan masyarakat Bali agraris sangat memuliakan air. Sumber-sumber mata air dikeramatkan agar tidak dirusak ulah-ulah yang tidak sepatutnya.
Upacara pemuliaan sumber-sumber air pun digelar dalam kurun-kurun waktu tertentu secara terus-menerus, termasuk di Pura Tirta Empul. Tempat suci yang di- empon warga Desa Pakraman Manukaya Let yang terbagi menjadi lima banjar adat ini, saban waktu digelar upacara keagamaan yang tujuannya memuliakan sumber-sumber air. Piodalan besar ( ageng ) dilaksanakan setahun sekali, pada Purnama Kapat (sekitar Oktober), selama sembilan hari.
Di Pura Tirta Empul, sekalipun pangempon berasal dari lima banjar, penanggung jawab upacara dilakukan secara bersama-sama. Hanya, waktu ngaturang ayah dibagi bergiliran. Jika diperlukan sesaji ( banten ) mendesak dalam jumlah besar, dan harus disediakan sesegera mungkin, barulah warga ngayah (bekerja tanpa upah) bersama-sama. Dengan begitu kerja tak dirasakan menjadi beban, sebaliknya justru menjadi satu bentuk nyata rasa bakti kepada sang Pencipta.
Air Kehidupan Batara Indra
Kehadiran Pura Tirta Empul, di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, tidak terpisahkan dengan mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Bali, perihal seorang Raja dari Bedahulu bernama Mayadanawa.
Kehadiran Pura Tirta Empul, di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, tidak terpisahkan dengan mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Bali, perihal seorang Raja dari Bedahulu bernama Mayadanawa.
Buku Hasil Inventarisasi Pura/Tempat Suci Bersejarah yang disusun dalam rangka penjaluran ulang pariswisata Bali, susunan Tim Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Tradisional dan Baru, tahun 1980-1981, menunjukkan memang ada rotal Usana Bali menyebutkan nama Raja Mayadanawa.
Konon, Raja Mayadanawa ini sangat sakti. Namun sering bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Warga tak diizinkan melakukan upacara keagamaan guna memohon keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa. Ia melarang rakyat Bali menghaturkan persembahan apa pun kepada para dewata, sebaliknya meminta rakyat agar memuja dirinya sebagai dewata.
Perilaku Raja Mayadanawa diketahui para dewa di kahyangan. Para dewa akhirnya berunding buat menyerang penguasa di Kerajaan Bedahulu tersebut. Pertempuran pun tiada terhindarkan. Pasukan para dewa dipimpin Batara Indra, sedangkan pasukan Bedahulu dipimpin langsung Raja Mayadanawa.
Pertempuran berjalan sengit, saling serang antarkedua pasukan tiada terhindarkan. Toh, pasukan Mayadanawa berhasil dikalahkan oleh para dewa. Namun, sang raja beserta beberapa pangiring (abdi) setianya melarikan diri ke arah pegunungan. Dalam pelariannya, Mayadanawa selalu berganti rupa guna mengelabui pasukan Batara Indra—belakangan wilayah atau desa yang menjadi tempat persembunyian Mayadanawa itu diabadikan sebagai nama desa.
Desa Manukaya, misalkan, dihubung-hubungkan dengan saat Mayadanawa berubah wujud menjadi ayam. Tempat Mayadanawa bersembunyi di daun janur kini dinamakan Desa Belusung—berasal dari kata busung yang berarti janur. Di kawasan Mayadanawa berupaya menghilangkan jejak dengan memiringkan tapak kakinya lantas dinamakan Tampaksiring.
Pengejaran terus berlangsung. Upaya Batara Indra besama pasukannya membunuh Raja Mayadanawa tiada pernah surut. Saban kali Mayadanawa terdesak dia pun menciptakan yeh cetik (air racun). Pasukan Batara Indra yang kehausan, tak tahu air dimaksud mengandung cetik, akhirnya meminumnya. Cilaka, tiap kali meminum yeh cetik pasukan itu pun tewas.
Guna mengalahkan yeh cetik ciptaan Mayadanawa, Batara Indra lantas menciptakan benteng membendung yeh cetik . Berikutnya, dari dalam tanah menyembullah air bening, dinamakan Tirta EEmpul. Konon, Tirta Empul atau air yang menyembul dari dalam tanah inilah yang dapat menghidupkan kembali bala tentara pasukan Batara Indra yang telah tewas oleh yeh cetik Mayadanawa. Di akhir kisah disebutkan, Mayadanawa pun dikalahkan Batara Indra.
Mitos yang tertuang dalam teks Usana Bali itu tentu sulit dibuktikan kebenarannya. Para penekun spiritual di Bali mengira-ngira, nama Mayadanawa itu merujuk pada konsep filsafat maya ( maya-tattwa ) dalam Siwaisme: bahwa segala penampakan material di dunia ini bukanlah kenyataan sejati, melainkan cuma maya belaka. Nama Bedahulu sebagai kerajaan pun diduga kuat sebagai simbolik beda sikap dan pemikiran raja Bali Kuno atas dominasi Majapahit yang ingin menguasai Bali yang berdaulat.
Sejarah memang lantas mencatat jelas: Raja Bali Kuno terakhir yang berpusat di kawasan Pejeng, Gianyar, bernama Sri Astasura Ratna Bumi Banten, itu akhirnya dikalahkan pasukan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada, abad ke-14. Sejak itu peradaban Bali, terutama Bali tengah dan selatan, pun mendapat pengaruh kuat peradaban Majapahit.
Namun, satu hal tetap terus mengalir sejak zaman Bali Kuno hingga kini: bening jernih air Tirta Empul tetap digunakan membasuh raga, jiwa, dan batin supaya menjadi bersih, suci, dan hening.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar