tag:blogger.com,1999:blog-16793432018038082352024-03-13T05:53:13.683-07:00WARISAN LELUHURBLOG INI DIBUAT UNTUK MENGUMPULKAN DATA DAN INFORMASI TENTANG WARISAN LELUHUR MENYANGKUT PURA, CANDI, TEMPLE, KARYA & SEJARAH KEHIDUPAN LELUHUR MASYARAKAT HINDU BAIK YANG ADA DI BALI, DI TANAH JAWA DI WILAYAH INDONESIA MAUPUN DI SELURUH DUNIA.Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.comBlogger23125tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-19848907502811281382010-06-22T06:19:00.000-07:002010-06-22T06:22:16.340-07:00Asal Usul Mahapatih Gajah Mada (Serat Babad Gajah Maddha)<a href="http://2.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC2WbpGFaI/AAAAAAAAAB0/WJDzSIahImI/s1600/gajahmada1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="http://2.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC2WbpGFaI/AAAAAAAAAB0/WJDzSIahImI/s400/gajahmada1.jpg" width="329" /></a><br />
<div style="text-align: justify;">Gajah Mada (1299-1364) Mahapatih majapahit yang sangat terkenal dengan sumpah palapanya merupakan satu-satunya orang kuat pada jamannya di nusantara. Salah satu keruntuhan kerajaan Majapahitdikatakan karena tidak memiliki orang kuat yang lain yang cakap untuk menggantikan gajah Mada. Panglima Perang yang ditunjuk menjadi Mahapatih kerajaan Majapahit menggantikan Arya Tadah pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div></div><div style="text-align: justify;"><span id="more-950"></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Sebagai mahapatih dia berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta (1331) dan kemudian berikrar untuk mempersatukan Nusantara dengan sumpahnya yang dikenal sebagai Sumpah Palapa.<br />
Serat Pararaton memuat Sumpah Palapa yang diucapkan dihadapan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><i> “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram, tanjungpura, ring haru, pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik, samana isun amukti palapa”</i><br />
artinya :<br />
<i>“Apabila sudah kalah Nusantara, saya akan beristirahat, apabila Gurun telah dikalahkan, begitupula Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, pada waktu itu saya akan menikmati istirahat”</i><br />
Sepeninggalan Gajah Mada Namanya terus di kenang bukan saja di tanah air akan tetapi sampai di kawasan asia tenggara (yang dulu di sebut Nusantara) bahkan nama Gajah Mada di pakai sebagai nama salah satu Universitas Terkemuka di Indonesia dan juga di pakai sebagai Nama Hotel Berbintang 5.<br />
Sayang sekali asal-usul Mahapatih Gajah Mada yang sangat masyur ini belum jelas diketahui Orang,baik meyangkut Nama orang Tuanya maupun tempat serta tahun kelahirannya.<br />
Muhammad yamin didalam bukunya yang berjudul Gajah Mada, Balai Pustaka,cet ke-6,1960,hal 13 Mengungkapkan tokoh ini sebagai :<br />
<i>“Diantara sungai brantas yang mengalir dengan derasnya menuju kearah selatan dataran Malang dan dikaki pegunungan Kawi-Arjuna yang indah permai,maka disanalah nampaknya seorang-orang indonesia berdarah rakyat dilahirkanpada permulaan abad ke-14.<br />
Ahli sejarah tidak dapat menyusur hari lahirnya dengan pasti: ibu bapak dan keluarganya tidak dapat perhatian kenang-kenangan riwayat: Begitu juga nama desa tempat dia dilahirkan dilupakan saja oleh penulis keropak jaman dahulu asal usul gajah mada semua dilupakandengan lalim oleh sejarah”</i><br />
Jadi jelaslah menurut Muhammad Yamin,asal-usul Gajah Mada masih sangat gelap, walaupun ada dugaan bahwa gajah mada dilahirkan di aliran sungai Brantas yang mengalir keselatan diantara kaki gunung Kawi-Arjuna,diperkirakan sekitar tahun 1300 M.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Keinginan untuk mengetahui asal-usul Patih Gajah Mada sebagai Negarawan besar pada Jaman Kerajaan Majapahit, telah lama menarik perhatian ahli sejarah,salah satunya bpk I Gusti Ngurah Ray Mirshaketika mengadakan Klasifikasi Dokumen Lama yang berbentuk Lontar-lontar pada “perpustakaan Lontar Fakultas Sastra, Universitas Udayana” (sekitar tahun 1974. Salah satu lontar yang menarik perhatian diantaranya adalah lontar yang berjudul “Babad Gajah Maddha”. Lontar tersebut memakai kode: Krop.7, Nomer 156, Terdiri dari 17 Lembar lontar berukuran 50×3,5 cm, ditulisi timbal balik, setiap halaman terdiri atas 4 baris, memakai huruf dan bahasa Bali-Tengahan.<br />
Lontar tersebut adalah merupakan Salinan sedangkan yang asli belum dapat dijumpai.<br />
Secara garis besar lontar babad Gajah Maddha tersebut berisikam<br />
1. Asal Usul Gajah Mada<br />
2. Gri Kresna Kapakisan dalam hubungannya dengan raja-raja Majapahit<br />
3. Emphu keturunan pada waktu memerintah dibali<br />
Yang menjadi perhatian dari sekian lontar tersebut dan dapat dijadikan penelitian lebih lanjut adalah bagian yanfg menjelaskan tentang Asal-Usul/Kelahiran sang Maha Patih Gajah Mada.</div><div style="text-align: justify;"></div><h2 style="text-align: justify;"><span style="text-decoration: underline;"><b>Ringkasan Isi Teks Lontar Babad Gajah Maddha</b></span></h2><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Tersebutlah Brahmana Suami-Istri di wilatikta, yang bernama Curadharmawysa dan Nariratih, keduanya disucikan (Diabhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat. Setelah disucikan lalu kedua suami istri tersebut diberi nama Mpu Curadharmayogi dan istrinya bernama Patni Nuriratih. Kedua pendet tersebut melakukan Bharata (disiplin) Kependetaan yaitu :Sewala-brahmacari” artinya setelah menjadi pendeta suami istri tersebut tidak boleh berhubungan sex layaknya suami istri lagi.<br />
Selanjutnya Mpu Curadharmayogi mengambil tempat tinggal (asrama) di Gili Madri terletak di sebelah selatan Lemah Surat, Sedangkan Patni Nariratih bertempat tinggal di rumah asalnya di wilatikta, tetapi senantiasa pulang ke asrama suaminya di gili madri untuk membawa santapan,dan makanan berhubungan jarak kedua tempat tinggal mereka tidak begitu jauh.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Pada suatu hari Patni Nariratih mengantarkan santapan untuk suaminya ke asrama di gili madri, tetapi sayang pada saat hendak menyantap makanan tersebut air minum yang disediakan tersenggol dan tumpah (semua air yang telah dibawa tumpah),sehingga Mpu Curadharmayogi mencari air minum lebih dahulu yang letaknya agak jauh dari tempat itu arah ke barat. Dalam keadaan Patni Nariratih seorang diri diceritakan timbulah keinginan dari Sang Hyang Brahma untuk bersenggama dengan Patni Nariratih . Sebagai tipu muslihat segerah Sang Hyang Brahma berganti rupa (berubah wujud,(“masiluman”)) berwujud seperti Mpu Curadharmayogi sehingga patni Nariratih mengira itu adalah suaminya.<br />
Segera Mpu Curadharmayogi palsu (Mayarupa) merayu Patni Nariratih untuk melakukan senggama, Tetapi keinginan tersebut ditolak oleh Patni Nariratih,oleh karena sebagai pendeta sewala-brahmacari sudah jelas tidak boleh lagi mengadakan hubungan sex,oleh karena itu Mpu Curadharmayogi palsu tersebut memperkosa Patni Nariratih.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Setelah kejadian tersebut maka hilanglah Mpu Curadharmayogi palsu,dan datanglah Mpu Curadharmayogi yang asli (Jati). Patni Nariratih menceritakan peristiwa yang baru saja menimpa dirinya kepada suaminya dan akhirnya mereka berdua menyadari,bahwa akan terdjadi suatu peristiwa yang akan menimpa meraka kelak.kemudian ternyata dari kejadian yang menimpa Patni Nariratih akhirnya mengandung.<br />
Menyadari hal yang demikian tersebut mereka berdua lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan asrama itu,mengembara ke hutan-hutan ,jauh dari asramanya tidak menentu tujuannya,hingga kandungan patni Nariratih bertambah besar. Pada waktu mau melahirkan mereka sudah berada didekat gunung Semeru dan dari sana mereka menuju kearah Barat Daya, lalu sampailah disebuah desa yang bernama desa Maddha. Pada waktu itu hari sudah menjelang malam dan Patni Nariratih sudah hendak melahirkan,lalu suaminya mengajak ke sebuah “Balai Agung” yang etrletak pada kahyangan didesa Maddha tersebut.<br />
Bayi yang telah dilahirkan di bale agung itu, segera ditinggalkan oleh mereka berdua menuju ke sebuah gunung. Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa didesa Maddha,lalu oleh seorang patih terkemuka di wilatikta di bawa ke wilatikta dan diberi nama “Maddha”</div><div style="text-align: justify;"></div><h2 style="text-align: justify;"><span style="text-decoration: underline;"><b>INTERPRETASI/TAFSIRAN dari Isi</b></span></h2><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">1. Pada halaman 2a Lontar Babad Gajah Maddha (sealanjutnya di singkat dengan B.G.M) dikatakan bahwa oran tua Gajah Mada berasal dari Wilatikta yang disebut juga Majalangu (B.G.M hal.1b)</div><div style="text-align: justify;"><br />
Disebelah selatan “Lemah Surat” terletak “Giri Madri” yang dikatakan berada dekat dengan Wilatikta (B.M.G Hal.6a)pada B.M.G hal.6b dikatakan hampir setiap hari Patni Nariratih pulang pergi dari wilatikta,megantar makanan suaminya di asramanya di gili Madri yang terletak disebelah selatan wilatikta. Hal ini berarti Gili Madri terletak disebelah selatan Lemah Surat dan juga disebelahselatan Wilatikta. Jarak antara Gili Madri dengan Wilatikta dikatakan dekat.Tetapijarak antara Lemah Surat dengan Wilatikta begitu pula arah dimana letak Lemah Surat dari Wilatikta tidak disebutkan dalam B.G.M<br />
2. Pada B.G.M hal. 12a yang menyebutkan tentang kelahiran Gajah Mada, ada kalimat yang berbunyi “On Cri Caka warsa jiwa mrtta yogi swaha” kalimat ini adalah Candrasangkala yang bermaksud kemungkinan sebagi berikut:</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">On Cri Cakawarsa = Selamatlah Tahun Saka<br />
Jiwa = 1 (satu)<br />
mrtta = 2 (Dua)<br />
Yogi = 2 (Dua)<br />
Swaha = 1 (satu)<br />
jadi artinya : Selamat Tahun Saka 1221 atau tahun (1299 Masehi)seandainya itu benar maka gajah mada dilahirkan pada tahun 1299 Masehi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
3. Mengenai nama Maddha B.G.M hal.10b – 11a disebutkan sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;"><br />
Karena malu terhadap gurunya yakni : Mpu Ragarunting, begitu juga terhdap orang banyak, maka setelah kandungan Patni Nariratih membesar, lalu disjak ia oleh suaminya meninggalkan asrama pergi mengembara kedalam hutan dan gunung yang sunyi. Akhirnya pada malam hari,waktu bayi hendak lahir,mereka berdua menuju kesebuah desa yang bernama Maddha terletak di dekat kaki gunung semeru. didesa itulah sang Bayi dilahirkan disebuah “Bale-Agung” yang ada di Kahyangan (Temple) desa tersebut. Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa desa Maddha,kemudian dibawa ke Wilatikta oleh seorang patihdan kemudian diberi nama Maddha jadi jika demikian halnya nama Maddha berasal dari nama desa.<br />
Nama Gajah oleh B.G.M sama sekali tidak disebutkan.kemungkinan besar nama gajah adalah nama kemungkinan nama tambahan atau nama julukan atau bisa juga nama Jabatan (Abhiseka) bagi sebutan orang Kuat (?)<br />
dengan demikian Gajah Mada berarti Orang kuat yang berasal dari Maddha.</div><div style="text-align: justify;"><br />
4. Mengenai nama orang Tua Gajah Mada, ayahnya bernama Curadharmawyasa dan ibunya bernama Nariratih (B.G.M. hal 2a) Setelah mereka disucikan (Abhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat,nama mereka berubah menjadi Curadharmayogi dan Patni Nariratih (B.G.M hal 3b) meraka berdua adalah brahmana (B.G.M hal. 2a)</div><div style="text-align: justify;"><br />
Adapun didalam B.G.M hal. 9b, yang menyebutkan bahwa Patni Nariratih bersenggama dengan Dewa Brahma yang berganti rupa seperti suaminya sehingga Gajah Mada seolah-olah dilahirkan atas hasil senggama antara Patni Nariratih dengan Dewa Brahma, dapat kita tafsirkan sebagai berikut:<br />
Pengungkapan Mitos demikian itu sudah tentu sukar diterima oleh akal mengingat motif yang demikian itu sudah banyak terdapat p[ada penulisan-penulisan babad, maka perlulah dicari Latar belakang dari hal-hal yang dimythoskan itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Perkiraan yang dapat kami tangkap adalah:<br />
a. Mpu Curadharmayogi dan istrinya Patni Nariratih adalah melakukan brata “Sewala Brahmacari” yang berarti sejak mereka menjadi pendeta mereka tidak diperbolehkan untuk berhubungan sex atau senggama oleh karena itu mereka berpisah tempat Sang suami ber asrama di Gili Madri sedangkan Sabng istri bertempat tinggal di Wilatikta tetapi kedua suami istri ini masih saling bertemu karena sang istri acapkali membawakan makanan untuk sang suami.</div><div style="text-align: justify;"><br />
b. Pada suatu ketika yaitu pada hari Coma, Umanis, Tolu, Cacil ka daca (senin, Legi, Tolu ,bulan april) Patni Nariratih membawakan suaminya santapan. Pada waktu hendak makan,air minum tiba-tiba tumpah.Dengan tidak sadar keluarlah kata-kata dari Patni Nariratih : “ih ah palit dewane plet”yang maksudnya kemaluan suaminya kelihatan (B.G.M ha. 7a). Dalam B.G.M hal.7b dikatakan bahwa kata-kata tersebut didengar oleh Dewa Brahma. disinilah menurut Interpretasi kami bahwa yang mendengar hal tersebut tidak lain adalah suaminya sendiri, sehingga timbuh hasrat birahi ingin bersenggama dengan suaminya,Akhirnya senggama tersebut terjadi antara Patni Nariratih dengan suaminya sendiri<br />
Mengapa demikian, karena menurut interpretasi kami, Brahma adalah sebagai dewa pencipta/penumbuh (konsep trimurti) dan ini sering digunakan sebagai mythologi sebagai sumber kelahiran seseorang yang ke-namaan atau termasyur.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Jadi logislah disin untuk menyembunyikan perbuatan Mpu Curadharmayogi maka dipakailah Dewa Brahma sebagai gantinya. Mengapa dikatakan senggama itu terjadi dengan Dewa Brahma, Kiranya ini untuk menyembunyikan perbuatan Mpu Curadharmayogi sebagai seorang”Sewala-brahmacari” itulah sebabnya setelah Patni Nariratih hamil mereka segera pergi dari asrama unuk menyembunyikan diri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
c. Mengenai Lahirnya Sang bayi pada balai agung di sebuah kahyangan di desa maddha. ini kira-kiranya memang diusahakan oleh Mpu Curadharmayogi dan Patni Nariratih menurut penafsiran kami:<br />
Balai Agung adalah merupakan sebuah balai yang patut ada di dalam sebuah “Kahyangan Desa”(Pura desa) yang berfungsi sebagai tempat membersihkan diri dari noda-noda spritual.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Hal yang demikian ini dapat dibandingkan dengan keadaan di Bali sampai sekarang, Bahwa Bale-Agung terletak didalam Pura Desa yaitu salah satu Kahyangan Tiga yang ada pada tiap-tiap desa. Pura Desa ini adalah Sthana Dewa Brahma dalam fungsi sebagi pencipta. Jadi logislah orang tua Gajah Mada mengusahakan Balai Agung sebagai tempat untuk melahirkan bayi dengan maksud :<br />
- Proses kelahiran berjalan lancar bayi terhindar dari noda-noda spritual<br />
- Supaya bayi tersebut dianggap dilahirkan dari sumber pebcipta<br />
-Supaya ada orang yang memungut dan memeliharanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ki Patih Gajah Mada, Mahapatih kerajaan Majapahit yang terkenal dan sangat dikagumi , ternyata adalah murid dari KI Hanuraga, sesepuh Generasi III, Paiketan Paguron Suling Dewata . </div><div></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Menurut Parampara Perguruan Seruling Dewata, khususnya saat menceritakan kisah ketua angkatan ke III , Ki Hanuraga ( atau Ksatria Suling Gading ), tersirat kisah hidup Gajahmada . Gajahmada, lahir di desa Mada, Mada Karipura, beliau ditemukan sekarat oleh seorang Maha Yogi Ki Hanuraga, di Jawa Ki Hanuraga di kenal dengan nama Begawan Hanuraga sedangkan di Bali beliau dikenal dengan nama dengan sebutan Mahayogi Hanuraga ( Sesepuh Generasi III Perguruan Seruling Dewata )beliau menguasai 72 kitab pusaka yang mempelajari 72 ilmu silat dan diwarisi oleh sesepuh sesepuh sebelumnya seperti Ki Mudra dan Ki Madra sesepuh Generasi II, serta Ki Budhi Dharma sesepuh generasi I yang di diksa pada abad ke 5 – caka tahun ke 63 – bulan ke 11- hari ke 26 ( caka warsa 463 ). mengenai Gajahmada , diceritakan, bahwa Gajahmada kecil bernama I Dipa, dia memanggil Ki Hanuraga dengan sebutan Eyang Wungkuk, dan belajar ilmu kanuragan selama 5 tahun sambil mempelajari ilmu ketata Negaraan , I Dipa ( Gajah Mada Kecil ) adalah seorang yg tdk memiliki siapa-siapa ( sebatang kara ), sebagai pengembala kambing. Perkenalan Mahayogi Hanuraga dgn I Dipa ( Gajahmada ),terjadi saat Ki Hanuraga melakukan pengembaraan ke tiga kalinya mengelilingi Nusantara ( kala itu di sebut Nusa Ning Nusa ) , sebelum Mahayogi sakti ini kembali ke Pertapaan Candra Parwata di Gunung Batukaru di Bali ketika usia beliau sudah sepuh ( tua ), sesuai tradisi Perguruan sebagai seorang Mahayogi harus kembali ke pertapaan. Mahayogi Hanuraga menemukan Gajahmada, dipinggiran hutan dalam keadaan pingsan, antara hidup dan mati, karena kasihan Maha Yogi Ki Hanuraga mengobati dan menyembuhkan luka dalam Gajahmada. dari Ki Hanuraga-lah I Gajahmada, belajar ilmu silat dan kanuragan , serta mengajari ilmu Tata Negara dan tercatat sebagai siswa Paiketan Paguron Suling Dewata di bawah bimbingan langsung sesepuh Generasi III , Ki Hanuraga. Gajahmada Kecil sering di ejek oleh teman temannya, karena dia memiliki kuping yg lebih besar dari kuping orang normal, sehingga dia di panggil I Gajah dari Desa Mada. kelak semua tahu bahwa nama Gajahmada inilah yang akhirnya menjadi terkenal di seluruh Nusantara sebagai Mahapatih yang maha sakti. ( di sadur dari Majalah Watukaru , Majalah bulanan Perguruan Seruling Dewata, ) berikut beberapa petikan yang diambil dari Parampara Perguruan mengenai Ki Gajahmada dan Ki Soma Kepakisan , seperti yang dituturkan oleh Ki Hanuraga atau Ksatria Suling gading , sesepuh Generasi Ke III, Perguruan Seruling Dewata .</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Ki Gajahmada ini adalah pengembaraanku yang ketiga dan merupakan yang terakhir menjelajahi Nusantara. ketika aku melangkahkan kakiku dengan santai di pinggiran hutan dekat sebuah desa yang bernama desa Mada atau lengkapnya Madakaripura pada sebidang tanah datar pandangan mataku tertumbuk pada seorang anak yang sedang mengelepar bergulingan di tanah seperti sedang sekarat. aku segera melompat ringan dan setelah dekat ternyata seorang anak berusia sekitar empat belas tahunan. tubuhnya sebenarnya tegap, tapi entah kenapa mengelepar gelepar seperti sekarat menahan siksaan berat, tubuhnya memancarkan sinar merah, dan hijau berganti ganti ,berkali kali anak itu ingin berbicara kepadaku, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnua hanya tangannya saja yang menunjuk nunjuk sebuah goa di pinggir hutan. dengan sigap aku melompat ke mulut goa, didalam goa aku melihat seekor ular naga Wilis sebesar pohon pisang yang panjangnya sekitar delapan depa, mati kehabisan darah, dan ada bekas gigitan di tubuh ular naga wilis ini, didekat bangkai ular naga wilis ada cahaya merah, setelah ku dekati ternyata ” Ong Brahma ” sebuah jamur berwarna merah sebesar niru, yang sebagian besar habis tercabik cabik, ” Ong Brahma ” adalah sebuah mustika langka yang menjadi rebutan kaum persilatan karena mampu melipatgandakan tenaga panas menjadi seribu kali lipat. rupanya ular naga wilis ini adalah penjaga Ong Brahma yang langka ini.bersyukur anak ini berjodoh dan bertemu denganku , jika tidak bertemu pesilat berilmu tinggi anak ini dapat dipastikan kematiannya, sebab minum darah ular saja bisa mati membeku kedinginan apalagi makan ” Ong Brahma ” akan kepanasan darah mengering . jika makan keduanya akan tersiksa panas dan dingin secara bergantian dan akhinya mati.tenaga dalam yang berhawa panas dan dingin yang bergejolak saling mematikan , aku isap habis habisan dengan tenaga sakti isap bhumi, diselaraskan dalam dirinya, lalu disalurkan kembali ke tubuh anak ini sehingga seluruh nadi terbuka, seluruh garanthi ( simpul nadhis ) terbuka, tujuh cakra besar terbuka dan Kundalini terbangkitkan seketika, tenaga dalam masih berlebihan terpaksa dibagi ke 108 nadis di seluruh tubuh anak ini , baru dapat membebaskan anak ini dari kematian. dari kemalangan terancam kematian mengerikan , berubah menjadi keberuntungan luar biasa, impian seluruh dunia persilatan dengan terbukanya seluruh nadhis, garanthi, cakra dan bangkitnya kundalini, orang biasa membutuhkan latihan puluhan tahun untuk mencapai tingkatan seperti ini. setelah setengah hari anak ini pingsan, akhirnya sadar juga, wajahnya cemerlang berseri seri, begitu anak ini sadar langsung berlutut dihadapanku, rupanya anak ini sadar juga bahwa aku telah menyelamatkan jiwanya, setelah mengucapkan terimakasih anak ini mulai menuturkan riwayat hidupnya.anak ini bercerita namanya ” Dipa” , tidak tahu siapa orang tua kandungnya sejak kecil ia sudah menjadi tapa daksa ( anak yatim piatu ), dan harus bekerja pada tuan tanah untuk menanggung hidupnya dia ditugaskan mengembala sapi, anak yang kehilangan sapi dihukum keras dicambuk, dipukuli bahkan jika berkali kali dipotong tangan atau kakinya. anak ini bercerita bahwa dia telah kehilangan kambing 3 kali dan tentunya dia takut kembali karena akan menerima hukuman yang sangat berat bisa bisa di hukum potong tangan atau kaki, sehingga untuk menghindari hukuman tersebut dia mencari ular naga wilis yang memakan kambingnya dan melarikannya ke dalam goa, ketika dililit sama ular naga wilis , Dipa menggigit tubuh ular dan meminum darahnya, ketika ular itu mati kerena kehabisan darah, ia merasa haus dan kelelahan dan melihat jamur merwarna merah yang meneteskan air dan ia pun langsung meminumnya dan meremas remas jamur tersebut agar mendapatkan lebih banyak air karena rasa haus sehabis berkelahi dengan ular naga wilis. syukur hamba ( Dipa ) bertemu dengan tuan ( Ki Hanuraga ) , dan nyawa hamba berhasil diselamatkan , sekarang hamba rasanya kuat , segar bugar, mulai sekarang hamba berguru kepada Tuan dan ikut kemanapun Tuan pergi, daripada hamba kembali ke desa akhirnya di hukum potong tangan atau potong kaki dan menjadi cacat seumur hidup.aku tersenyum dan menerimanya sebagai siswa, namun aku hanya berjanji mengajarkannya selama lima tahun saja, Dipa sering menyebutku dengan Eyang Wungkuk, aku terpaksa menetap di hutan bersama Dipa selama lima tahun mengajarinya ilmu silat dan ilmu ketatanegaraan. aku menyimpulkan bahwa Tenaga dalam Dipa sudah sangat dahsyat melebihi pendekar tangguh , sehingga aku hanya perlu mengajarkan ilmu silat dan senjata serta tehnik bertarung . kalau memungkinkan mengajarkan ilmu ketatanegaraan, siapa tahu ia mengabdi di sebuah kerajaan di kemudian hari. mulai saat itu anak yang bernama Dipa mulai digembleng ilmu ilmu rahasia Gunung Watukaru, baerlatih siang dan malam, tahan terhadap rasa sakit dan rasa lelah, tiada menghiraukan lapar dan haus , berlatih tanpa henti , tidak menghiraukan panasnya matahari dan teriknya hujan berlatih dan terus berlatih, tiada hari tanpa berlatih……</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ki Soma Kepakisan, tepat sebulan , aku dan Dipa tinggal di pondok terpencil, tiba tiba datanglah seorang pendeta tua dengan seorang muridnya yang masih muda berusia sekitar 20 tahunan. Pendeta ini terluka parah, isi dada dan organ dalam yang lain telah hancur terguncang, pendeta ini bernama Maharsi Gunadewa dan muridnya bernama Soma Kepakisan. Maharsi Gunadewa terluka dalam yang sangat parah setelah terlibat pertarungan dengan saudara seperguruannya memperebutkan buku warisan perguruan yang mana dalam pertarungan itu ia dikalahkan oleh adik seperguruannya dan dengan sisa tenaganya ia berusaha mengajak murid kesayangannya melarikan diri , rencananya ia akan ke Gunung Watukaru di bali Dwipa, agar muridnya mendapatkan pelajaran yang sempurna. aku memperkenalkan diriku sebagai Begawan Hanuraga, pewaris Paiketan Paguron Suling Dewata di gunung Watukaru, mendengar namaku sang Maharsi tersenyum puas, sambil berbicara terpurus purus Sang Maharsi memohon agar menerima muridnya menjadi murid Gunung Watukaru, akupun menyanggupi agar Dipa ada teman berlatih . hasilnya akan jauh lebih baik ketimbang berlatih sendiri. Sang Maharsi Gunadewa tersenyum puas, sambil berkata ” perjalananku tidak sia sia “, iapun meninggal sambil tersenyum puas. mulai saat itu aku membina dua siswa di tanah Jawa, semuanya sangat berbakat hampir sama bakat dan semangatnya dengan semangatku dimasa muda dulu. aku betul betul puas dengan kemajuan kedua muridku ini, kemajuan yang pesat dalam waktu yang sangat singkat. ternyata kemajuan yang dicapai kedua muridku ini selalu seimbang, Dipa mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat karena meminum darah ular naga wilis dan jamur merah ” Ong Brahma “, sedangkan Soma juga sama kuatnya karena pernah memakan mustika perguruannya berupa telur penyu ribuan tahun dan telur rajawali putih ribuan tahun. ditempat terpencil ini tak sia sia penyepianku selama lima tahun di tanah Jawa, dapat dipastikan aku berhasil membina dua ksatria lelananging jagat, setelah dirtempa dengan ilmu kawisesan dan kedigjayaan, dibawah bimbinganku Dipa dan Soma berlatih dengan sungguh sungguh, tiada henti , ditempa teriknya matahari , dibawah guyuran hujan, berlatihh dikegelapan malam. Ditempa berbagai ilmu dahsyat Gunung Watukaru , tiga ratus enam puluh gerakan melemaskan tulang, delapan belas macam kuda kuda, delapan belas pukulan, delapan belas tendangan, delapan belas tangkisan, delapan belas ilmu pergeseran kaki, delapan belas ilmu berguling, delapan belas ilmu mengelak, delapan belas ilmu penyatuan tenaga tangan, dan delapan belas ilmu sapuan. selanjutnya aku ajarkan Lima macam ilmu silat dasar yang disebut Ilmu Silat Depok, Ilmu Silat Setembak, Ilmu Silat Kerta Wisesha, Ilmu Silat Panca Sona, Ilmu Silat Tat Twam Asi, setiap silat dasar terdiri dari 36 jurus dasar, dan hanya memerlukan 42 hari Dipa dan Soma berhasil menguasai kelima ilmu dasar tersebut . Sehingga Dipa dan Soma sudah siap menerima ilmu tertinggi dari puncak barat Gunung Watukaru yang berjumlah 72 dari Paiketan Paguron Suling Dewata, Ilmu silat Bhumi dan Langit , ilmu silat delapan penjuru angin , ilmu silat ombak samudra dan seterusnya …( di sadur dari majalah Watukaru , edisi 2 dan 3 ), seperti akhirnya kita ketahui dalam sejarah , bahwa ke dua murid Ki Hanuraga , Dipa / Gajahmada dan Soma Kepakisan, sangat terkenal dalam dunia persilatan , bahkan Dipa / Gajahmada akhirnya menjadi Mahapatih pada kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan paling besar di jamannya serta berjasa dalam mempersatukan Nusantara dengan pasukan khususnya yang terkenal dengan nama Gajah Kencana, sementara Soma Kepakisan sangat terkenal di Bali dimana keturunan beliau menjadi raja raja di Bali di bawah kekuasaan Majapahit. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-54397414886322153982010-06-16T22:53:00.001-07:002010-06-22T06:26:35.026-07:00Pura Tri Guna<div style="text-align: justify;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC55OxEDZI/AAAAAAAAAB8/YIFMu1vFuko/s1600/Pura+Kentel+Gumi.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="225" src="http://3.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC55OxEDZI/AAAAAAAAAB8/YIFMu1vFuko/s400/Pura+Kentel+Gumi.jpg" width="400" /></a>SELAIN sebagai <b><span style="color: red;">"Tri Guna Pura",</span></b> sejumlah hal menarik lainnya juga terdapat di Pura Agung Kentel Gumi. Salah satunya, peninggalan sejarah dan purbakala menurut purana dibangun Mpu Kuturan masa pemerintahan Raja Sri Dharmodayana Warmawadewa-Gunapridharmapatni Makutawangsawardana (Putni Mahendradatta) pada 989 M.</div><div></div><div style="text-align: justify;">Untuk diketahui, Pura Agung Kentel Gumi menyimpan puluhan area kuno. Ada yang masih utuh, ada juga berupa pragmen. Salah satu fragmen itu, sebuali lingga. Bisa disebut Lingga Reka Bhuwana karena berkaitan dengan sejarah, legenda dan mitologi. Lingga itu terletak di utama mandala. Dengan ukuran sangat kecil dibanding bangunan lainnya yang lebih besar dan menjulcing seperti meru, gedong danlainnya, sulit melihat Lingga Reka Bhuwana tersebut, jika tak diteliti. Letaknya persis di tengah-tengah jeroan pura. Tinggi lingga tak lebih 2 meter. Alasnya (Yoni) sekitar 2 meter persegi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Namun, bentuknya terlihat lebih unik dibanding <i>Lingga-Yoni</i> umumnya. <i>Lingga-Yoni</i> umumnya berupa selinder berujung bulat. Lingga melambangkan <i>purusa</i>. Yoni berbentuk lesung segi empat sebagai simbol <i>pradana</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Sementara <i>Lingga Reka Bhuwana</i> di Pura Agung Kentel Gumi ujungnya (puncak) tidak bulat, tetapi berbentuk pipih. Badan <i>lingga</i> berbentuk persegi. Begitupun <i>Yoni</i> (alas) Sebagai simbol <i>pradana</i>, sekilas tampak seperti punden berundak. Tidak ada yang tahu persis, terkait bentuk <i>Lingga Reka Bhuwana</i> yang berbeda dibanding <i>Lingga-Yoni</i> pada umumnya. Berdasarkan dugaan, itu dikarenakan berkaitan dengan riwayat (tatwa) Pura Agung Kentel Gumi. </div><div style="text-align: justify;">Seorang penekun spiritual, <i>urati</i> lontar/babad/prasasti asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma, menyebutkan lazimnya <i>Lingga-Yoni Reka Bhuwana</i> disebut <i>Linggih Pancer Jagat</i>. Karena diyakini di tempat itulah Mpu Kuturan meletakkan tanda (titik awal) ketika mengawali pembangunan Pura Agung Kentel Gumi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan purana, pendirian Pura Agung Kentel Gumi erat kaitannya dengan kedatangan Mpu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Udayana dan istrinya Putri Mahendradatta. Mpu Kuturan datang ke Bali untuk dimintai nasehat sebagai <i>purohito</i>, menyusul adanya pertikaian antar sekte keagamaan di Bali. Untuk mengatasi itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mpu Kuturan mengundang tokoh sekte dan menggelar pertemuan di sebuah tempat di Gianyar yang sekarang ini merupakan Pura Samuan Tiga. Menyusul kesepakatan leburnya paham sekte, disepakati juga pemujaan Batara Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Dan sini juga muncul konsep Kahyangan Tiga dan desa pakraman.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Sebuah lokasi, sekarang kawasan Pura Agung Kentel Gumi, dipilih Mpu Kuturan sebagai tempat yoga semadi. Berkat kesidhiannya, sosial keagamaan masyarakat Bali jadi kondusif, kokoh. Bebas dan pertikaian antar sekte. Itu yang kemudian disimbolkan dengan <i>Linggih Pancer Jagat</i>—berupa <i>Lingga-Yoni</i> khas Pura Agung Kentel Gumi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Pura Agung Kentel Gumi juga menyimpan keunikan lain berkaitan dengan kepurbakalaan, Lusinan benda purbakala berupa area, fragmen area, pratima ada di sana. Untuk sementara disimpan di Gedong Murda Manik (palinggih sementara) sambil menunggu tuntasnya pemugaran. Selanjutnya dikembalikan pada pelinggih masing-masing, di mana benda-benda sakral itu berada sebelumnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Paling mencolok, bentuk area batu dengan catur muka (wajah ke empat penjuru mata angin). Ukurannya lebih besar dibanding area lain. Tingginya diperkirakan 1,2 meter. Berwarna keabu-abuan berbahan batu andesit selayaknya area kuna umumnya. Namun, tak ada yang tahu secara jelas, makna area tersebut terkait dengan keberadaan Pura Agung Kentel Gumi. Meski demikian, mengingat pura sebagai tempat suci/pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya, bukan hal yang salah area Catur Muka dimaksudkan sebagai penggambaran Dewa Brahma/Brahma Catur Muka. Dalam pemahaman Hindu, Dewa Brahma merupakan manisfestasi Tuhan Yang Maha Esa yang berwajah empat.<br />
<br />
<div align="justify">PURA Agung Kentel Gumi di Desa Tusan Kecamatan Banjarangkan, Klungkung adalah Pura Kahyangan Jagat sebagai media pemujaan Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Reka Bhuwana atau disebut juga Sang Hyang Pancering Jagat. Manifestasi Tuhan <br />
dengan sebutan lokal Bali itu dipuja di Meru Tumpang Sebelas. Menurut Yajurveda XXXII.3 Tuhan itu tidak punya bentuk seperti ciptaan-Nya (<i>Na tasya pratima asti</i>). Para <i>Vipra</i> atau orang-orang suci yang ahli (<i>Brahmana Sista</i>) itulah yang menyebutkan dengan banyak nama —<i>Ekam sat vipra bahuda badanti</i>.</div><div align="justify"><br />
Demikian dinyatakan dalam Veda bahwa tujuan pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa dengan teguh adalah untuk mewujudkan kehidupan yang makmur secara adil. Hal ini dinyatakan dalam Atharvaveda VIII.2.25. Karena itu pemujaan pada Tuhan bukan untuk membuat umat semakin menderita. Karena itu Mantra Veda yang dikutip di atas menyatakan bahwa bumi ini diciptakan oleh Tuhan sebagai wadah kehidupan semua makhluk hidup. Apa yang boleh, baik dan benar dilakukan di bumi ini dinyatakan dalam mantra Atharvaveda, XII, 1.1.</div><div align="justify"><br />
Untuk melakukan perbuatan yang menjunjung kehidupan yang balk dan benar tidaklah mudah. Karena itu umat seyogianya memuja Tuhan untuk mendapatkan penguatan diri lahir bathin. Dalam hal inilah Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Reka Bhuwaria di Pura Kentel Gumi di Desa Tusan, Klungkung. <i>Reka Bhuwana</i> artinya suatu perencanaan matang yang seyogianya dilakukan di bhuwana atau bumi ini. Di Pura Agung Kentel Gumi ada upacara Reka Bhumi suatu upacara yadnya yang wajib dilakukan.</div><div align="justify"><br />
</div><div align="justify">Tujuan upacara Reka Bhumi ini untuk mendapatkan <i>Penyegjeg Jagat</i>. Artinya, untuk mencapai tegaknya kehidupan dibumi ini. Ada enam hal yang wajib dibumi ini agar Ibu Pertiwi <i>jegjeg</i> yaitu <i>Satya,</i> artinya kebenaran Veda yang bersifat <i>Sanatana Dharma</i> yaitu kebenaran yang kekal abadi. Kebenaran yang disebut <i>Satya</i> itu adalah dasar untuk berperilaku untuk menuju jalan Tuhan. Berperilaku itu adalah berpikir, berkata dan berbuat menuju jalan Tuhan.</div><div align="justify"><br />
</div><div align="justify">Dalam Slokantara 2 ada dinyatakan bahwa <i>Satya</i> itu lebih utama nilainya daripada seratus <i>Suputra</i>. Seorang Suputra seratus kali lebila utama nilainya daripada seratus kali upacara yadnya. Yakinlah kalau senantiasa berpegang dengan <i>Satya</i> hidup ini pasti mendapatkan anugerah atau karunia dan Tuhan.</div><div align="justify"><br />
</div><i></i><br />
<div align="justify"><i>Rta artinya hukum alam. Hiduplah dengan menggunakan sumber-sumber alam dengan tidak melanggar hukum alam itu sendiri. Alam ini terbentuk dan Panca Maha <i>Bhuta</i> yaitu tanah, air, udara, panas dan <i>akasa.</i> Swami Satya Narayana dalam buku "Anandadayi" menyatakan bahwa kejahatan yang paling besar di bumi ini adalah merusak unsur-unsur alam tersebut. Menggunakan sumber-sumber energi alam ini secara berlebihan akan menimbulkan kebakaran. Kalau langit atau <i>akasa</i> itu dikotori akan meñyebabkan manusia menderita penyakit gangguan mental, bahkan penyakit gangguan jiwa.</i></div><div align="justify"><br />
</div><div align="justify">Semuanya ini memang sudah terbukti Sekarang banyak teijadi kebakaran hutan, panas menyembur clan dalam tanah, suhu bumi semakin meningkat dan berbagai kerusakan alam lainnya. Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, menyatakan sudah terjadi sepuluh kerusakan muka bumi ini. Hal ini disebabkan bergesernya hidup manusia modern dari <i>needs</i> ke <i>wants</i>. Artinya, hidup berdasarkan kebutuhan telah bergeser berdasarkan keinginan.</div><div align="justify"><br />
</div><div align="justify">Keinginan itu tak ada batasnya. Diksa artinya penyucian atau pemberkatan. Dalam anti proses hendaknya setiap orang terus berusaha meningkatkan kesucian dininya dengan berusaha menguatkan kesadaran budhi-nya untuk mencerahkan kecerdasan pikirannya. Pikiran yang cerdas berfungsi mengendalikan indriya atau nafsunya. Nafsu yang terdidik dan terlatih itulah akan mengekspresikan perilaku suci. Kalau hal itu sudah dapat dicapai dan dibuktikan barulah dilakukan ritual <i>diksa</i> atau pentasbihan sebagai <i>diksita</i>. Melakukan <i>diksa</i> ini bukanlah hak suatu <i>wangsa</i> tertentu. <i>Diksa</i> itu adalah kewajiban dan hak setiap umat Hindu dengan tidak melihat asal-usul <i>wangsa</i>-nya.</div><div align="justify"><br />
</div><i></i><br />
<div align="justify"><i>Tapa artinya secara denotatif dalam bahasa Sansekerta adalah panas atau bersinar. Secara konotatif artinya pengendalian diri dengan cara membangkitkan kekuatan sinar Sang Hyang <i>Atma</i> dalam diri. Kalau sinar <i>Atman</i> dapat dilepaskan dan halangan kuatnya gejolak hawa nafsu maka tujuan tapa untuk mengendalikan diri itu dapat terwujud. Dengan tapa itu keinginan nafsu yang disebut Wisaya Kama itu dapat diubah menjadi Sreya Kama yaitu keinginan untuk selalu mendekatkan diri sesuai dengan tuntutan Tuhan.</i></div><br />
<div align="justify"><br />
</div><div align="justify">Menunut Ayur Veda hal itu akan dapat dicapai dengan mengendalikan makanan, gaya hidup dan kesehatan fisik (Ahara, Wihara dan Ausada). Brahma artinya menumbuhkan diri dengan doa. Kata <i>"brahma"</i> dalam bahasa Sansekerta berasal dan akar kata <i>"brh"</i> artinya tumbuh atau mencipta. Karena itu sinar suci Tuhan dalam menciptakan disebut Dewa Brahma. Berdoa dengan melapalkan mantra-mantra Weda dengan tekun sebagai puja stawa akan dapat menguasai kesadaran budhi, kecerdasan pikiran dan kepekaan emosional dalam kesucian mantra Weda tersebut.</div><div align="justify"><br />
Candogya Upanishad menyebutkan, setiap han usahakan berdoa pagi saat <i>raditya dina</i>, siang saat <i>madya dina</i> dan sore saat <i>sandhya dina</i>. Yadnya artinya suatu keikhlasan untuk melakukan pengorbanan untuk tujuan yang suci. Inilah merupakan unsur yang utama dalam melangsungkan upacara keagamaan Hindu. Upacara dalam bahasa Sansekerta artinya mendekat. Karena itu, upacara yadnya itu dilakukan dengan mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara bakti.</div><div align="justify"><br />
Mendekatkan diri pada sesama manusia dengan punia atau pengabdian. Mendekatkan diri pada alam lingkungan asih. Asih, punia dan bhakti inilah landasan melakukan yadnya. Yadnya itu bentuknya bukan upacara keagamaan semata-mata. Dengan menghemat penggunaan sumbersumber alam itu juga suatu yadnya. Tidak memaksakan kehendak itu juga yadnya. Mengendalikan hawa nafsu juga <i>yadnya.</i></div><div align="justify"><br />
</div>Dengan melakukan enam langkah yang disebut <i>Sat Pertiwi Dharyante</i> (enam upaya menyangga ibu pertiwi inilah sebagai upaya <i>Reka Bhuwana </i>mewujudkan <i>Jejeg Jagat</i>. Inilah yang terus-menerus dimohonkan pada Tuhan lewat Pura Kentel Gumi. Di Pura Besakih juga dilangsungkan upacara <i>Penyejeg Jagat</i> di Pura Gelap dan Pengurip Bumi di Pura Ulun Kulkul.<br />
<br />
<div align="justify"><span style="font-family: Arial;">PURA Agung Kentel gumi terletak di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung. Merupakan salah satu Pura kahyangan Jagat Bali, sungsungan umat Hindu sebagai stana Ida Sang Hyang Reka Bhuwana. Pura ini berfungsi sebagai tempat memohon <i>kedegdegan jagat.</i> Sebagaimana dipaparkan dalam lontar Raja Purana batur, Pura Agung Kentel Gumi merupakan <i>Tri Guna Pura</i> (Kahyangan Tiga-nya Jagat Bali). Pura Batur/Tampurhyang sebagai Pura Desa-nya (mohon kesuburan), Pura Kentel Gumi sebagai Puseh (<i>Kedegdegan jagat</i>) dan Pura Agung Besakih/Tohlangkir sebagai Dalem (kesucian <i>sekala niskala</i>).</span></div><div align="justify">Terkait catatan tentang Tri Guna Pura, ternyata bukan ditemukan di Pura Agung Kentel Gumi, melainkan termuat dalam Raja Purana Batur yang tersimpan di Pura Batur, Kintamani, Bangli. Berdasarkan penelusuran tokoh agama dan pengurus PHDI bahwa Tri Guna Pura ini sebelumnya nyaris tak ada yang tahu, sehingga Pura Kentel Gumi seperti ikut terlupakan.</div><div align="justify"><br />
Terungkapnya fungsi Tri Guna Pura itulah yang menjadi salah satu dorongan melakukan pemugaran Pura Kentel Gumi. Selain karena kondisi fisik bangunan, memang banyak yang sudah keropos. Pemugaran, sedapat mungkin dilakukan dengan mempertahankan "keaslian" pura — detail pelinggih, tembok, serta corak dan ragam hias ukiran diupayakan semirip mungkin dengan aslinya. Kalaupun ada tiruan, bahan dan garapan harus ditiru dari dokumentasi berupa foto-foto Pura Kentel Gumi yang masih tersimpan. </div><div align="justify">Pura Agung Kentel Gumi terdiri atas empat halaman utama. <i>Utamaning Utama Mandala</i> terdiri atas 23 pelinggih di antaranya <i>Lingga Reka Bhuwana/Pancer Jagat</i>, <i>Meru Tumpang Solas</i> (pelinggih Ida Sanghyang Reka Bhuwana). Di sisi utara (kompleks pelinggih Bathara Maspahit), terdiri atas enam pelinggih. Pelinggih utama Gedong stana Bathara Maspahit. Di sisi selatan, kompleks pelinggih Batara Masceti, terdapat 9 pelinggih, Gedong merupakan stana Batara Masceti.</div><div align="justify"><br />
</div><i></i><br />
<div align="justify"><i>Utàma Mandala - beda dengan <i>utamaning utama mandala</i>. Di sini terdapat <i>sumanggen</i> sebagai ciri utama. Ada juga <i>perantenan</i> suci, dengan ciri pelinggih Lumbung Agung/tempat <i>penetegan.</i> Sedangkan di <i>Madya Mandala</i> (tengah). Di sini terdapat empat pelinggih, salah satunya pelingguh Bale Agung, Gedong Sari stana Batari Saraswati. <i>Nista Mandala</i> (jaba sisi/luar). ada dua Padmasari.</i></div><i></i><br />
<div align="justify"><br />
</div><i></i><br />
<div align="justify"><i>Pelinggih-pelinggih itu bagian dan perluasan Pura Agung Kentel Gumi, yang diawali Mpu Kuturan masa pemenintahan Raja Bali Kuna dan dinasti Warmadewa yakni Raja Udayana Warmadewa dengan permaisuri Putri Mahendradatta. Purana mencatat, setelah Mpu Kuturan, Pura Kentel Gumi diperluas dengan pembangunan pelinggih, menyusul berkuasanya Sri Haji Cili Kresna Kepakisan (bungsu Danghyang Soma Kepakisan) yang diminta Mahapatih Gajah Mada/Majapahit menjadi adipati Bali pasca kalahnya Raja Sri Tapolung di Bedahulu.</i></div><i></i><br />
<div align="justify"><br />
Dalam perjalanan menuju Bali, Dalem Cili Kresna Kepakisan tiba di Tusan. Dalem tahu keutamaan tempat suci/<i>parahyangan</i> Kentel Gumi. Bersama pangiringnya, dipimpin Arya Kenceng dan warga, dilakukan perbaikan membangun/menambah pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Solas, Padmasana, Meru Tumpang Sia, Tumpang Pitu, Tumpang Lima, Tumpang Telu dan pelinggih lainnya. Termasuk palinggih dasar sebagai stana Ida Dewi Basundari.</div><div align="justify"><br />
</div><div align="justify">Terlupakannya Tri Guna Pura Agung Kentel Gumi, luput pula ingatan orang tentang salah satu aci (upacara) pokok yang semestinya digelar di Pura Agung Kentel Gumi sesuai fungsinya sebagai Pura Puseh Jagat, yakni Upacara Panyegjeg Jagat (upacara Reka Bhumi). Tersurat dalam sastra — baik purana atau babad — upacara Panyegjeg Jagat digelar ketika Raja Dalem Waturenggong bertahtha di Gelgel sekaligus mengukuhkan Pura Kentel Gumi sebagai Tri Guna Pura. Selain Pura Besakih dan Pura Batur.</div><div align="justify"><br />
</div>Ketika Raja Dalem Waturenggong memerintah, Pulau Bali mencapai kesejahteraan dan ketenteraman. Karena kewibawaan dan keberanian Raja yang diabaratkan Sanghyang Hari Murti bentangan empat (<i>Catur Bhuja</i>). Raja Dalem Waturenggong menggelar yadnya di Khayangan Jagat, <i>Eka Dasa Rudra</i> di Besakih, <i>Pancawali Krama</i> di Batur dan <i>Panyegjeg Jagat</i> di Kentel Gumi. Itu yang kemudian dijadikan acuan digelarnya upacara <i>Panyegjeg Jagat</i> di Pura Kentel Gumi. Diperkirakan, sejak 548 tahun lalu upacara <i>Penyegjeg Jagat</i> tidak pernah digelar. Perkiraan itu dikarenakan Dalem Waturenggong naik tahta tahun 1460</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-75839052312196252422010-06-16T22:49:00.000-07:002010-06-22T06:40:45.132-07:00Pura Tirtha Empul<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC7W4PZROI/AAAAAAAAACM/7F1xs_VjRw8/s1600/Pura+Tirta+Empul.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="http://3.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC7W4PZROI/AAAAAAAAACM/7F1xs_VjRw8/s400/Pura+Tirta+Empul.jpg" width="300" /></a></div><b style="color: red;">Pura Tirtha Empul.</b> Sekelompok warga berbusana adat Bali madya terlihat memasuki kawasan Pura Tirta Empul, saat sinar surya baru saja menyinari kawasan Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, awal April lalu. Tiba di areal paling luar, dekat pohon beringin besar, rombongan itu berhenti sejenak. Seorang wanita setengah baya terlihat sigap mengambil canangsari plus dupa yang ada dalam keben guna dihaturkan pada palinggih Padmasana. Usai sembahyang, mereka pun melanjutkan perjalanan menuju areal kawasan suci di hulu Tukad (Sungai) Pakerisan ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
<div style="text-align: left;">Di madya mandala, tepat pada telaga yang dihiasi banyak pancuran, mereka berhenti. “Kami akan melaksanakan panglukatan ,” papar I Wayan Arta, warga dari Jalan Mertjaya, Gang IV/7, Denpasar ini.</div>Dengan sehelai kain ( kamben ) membungkus sebagian tubuh, dilengkapi canangsari yang sudah dilengkapi dupa, mereka mencelupkan diri ke telaga. Diawali dengan mencakupkan kedua telapak tangan di kening, satu per satu air yang keluar dari mulut pancuran di sana—kecuali dua yang tak dijadikan sarana penyucian diri, yakni Tirta Pangentas dan Pabersihan, karena lazimnya berkaitan dengan upacara kematian—mereka manfaatkan sebagai sarana meruwat diri. Dalam tradisi Bali itu dinamakan malukat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Usai di kolam dengan 13 buah pancuran, mereka melanjutkan ritus ruwatan ke pancuran sebelah timur, pada Tirta Panglukatan. Usai mandi di pancuran dan berganti busana, rombongan keluarga ini bergegas menuju ke halaman dalam, menuju palinggih pusat Pura Tirta Empul.<br />
Hari itu, Soma Wage, Wuku Dukut , merupakan hari suci bagi warga Hindu di Bali. Ini bertepatan dengan Purnama Kadasa— bulan Purnama pada bulan kesepuluh sesuai kalender Bali. Saat ini di Bali banyak dilaksanakan upacara keagamaan pada beberapa tempat suci, tak terkecuali dipilih oleh orang-orang buat malukat , menyucikan diri secara nisakala (gaib), memohon keheningan, agar terbebas dari berbagai penyakit dan derita yang mendera diri. Dan, Pura Tirta Empul, yang berlokasi di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, kerap jadi pilihan utama orang-orang yang berkeinginan malukat diri, merengkuh keheningan batin, mereguk keteduhan jiwa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
<a href="http://3.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC8iw0dxQI/AAAAAAAAACU/xyNfWZ6JmS4/s1600/Bagian+Pura+TP4.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://3.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC8iw0dxQI/AAAAAAAAACU/xyNfWZ6JmS4/s200/Bagian+Pura+TP4.jpg" width="200" /></a>Air pancuran ini bersumber dari mata air Tirta Empul yang dibuatkan kolam bernama Telaga Tirta Suci. Dari telaga suci ini lantas dialirkan sehingga menjadilah masing-masing Tirta Teteg, Tirta Sudamala, Tirta Pangelukatan, Tirta Pamarisuda, Tirta Pamlaspas, Tirta Panglebur Ipian Ala, Tirta Pangentas, dan Tirta Pabersihan—semua semacam ruwatan di Jawa.<br />
<div style="text-align: left;">Dalam cermatan Ketut Ubung, bila ada warga malukat di pancuran ini, semua air yang meluncur dari pancuran dipergunakan, kecuali pada pancuran Tirta P angentas dan P abersihan . “Tirta P angentas itu diperuntukkan bagi orang yang meninggal, sedangkan Tirta Pabersihan dipergunakan bagi yang telah suci,” terka satu di antara warga pangemong Pura Tirta Empul ini.</div></div><div style="text-align: justify;"><br />
Pura Tirta Empul dengan aliran air sucinya, memang kerap dijadikan satu pilihan melakukan bersih diri secara niskala. Entah karena keyakinan, sugesti, atau betul-betul Ida Batara yang berstana di tempat suci ini yang sih (sayang) kepada umat, beberapa masyarakat yang sempat menyucikan diri ke pura yang berlokasi di sebelah timur Istana Presiden Tampaksiring ini, merasakan keheningan hati, kejernihan pikiran, dan keteduhan batin.<br />
“Pikiran, hati, dan jiwa saya terasa hening, teduh, setelah malukat di Tirta Empul,” papar Ni Made Suarni, warga dari Jalan Batu Intan, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Selain menjadi tempat malukat , tutur Jero Mangku Dewa Aji Samut, Pamangku Pura Tirta Empul, pura sungsungan (persembahyangan) jagat yang berjarak sekitar 35 kilometer dari Denpasar ini, juga sering dijadikan wahana memohon air suci. Saat warga Tampaksiring dan sekitar menggelar upacara keagamaan di pamerajan, pura kahyangan tiga desa, atau di pura subak, maka para pangempon pura ada saja mohon tirta pura yang terbagi dalam tiga mandala (areal) ini—halaman dalam ( jeroan ), tengah ( jaba tengah), dan halaman paling luar ( jaba sisi ).</div><div style="text-align: justify;"><br />
Pada halaman jeroan terdapat berbagai peninggalan yang diyakini sebagai cikal awal pendirian Pura Tirta Empul. Di antaranya bangunan Tepasana sebagai stana Batara Indra, gedong limas sebagai tempat pangayengan Ida Batara di Gunung Agung, dan gedong catu sebagai stana Ida Batari Dewi Danuh. Kemudian ada fragmen arca berbahan batu padas dengan ketinggian 49 cm dan lebar 27 cm. Melihat ciri-ciri badannya, arca ini diperkirakan sudah dibuat abad X– XI Masehi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
<a href="http://4.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC8s5iK2II/AAAAAAAAACc/sWtDZwddj7M/s1600/Bagian+Pura+TP3.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="149" src="http://4.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC8s5iK2II/AAAAAAAAACc/sWtDZwddj7M/s200/Bagian+Pura+TP3.jpeg" width="200" /></a>Pada halaman tengah ( jaba tengah) terdapat kolam suci yang di tengahnya terdapat empat fragmen bangunan dari batu padas. Fragmen ini menyerupai pola perbingkaian—di bagian tengah berisi lubang berukuran 49 cm. Peninggalan yang kini terendam air itu, konon digunakan sebagai saluran air dari kolam menuju ke Desa Pejeng. Aliran air dari kolam suci itu dipergunakan untuk kepentingan pertanian.<br />
Di sebelah barat kolam suci terdapat palinggih arca dengan berbagai peninggalan purbakala, seperti lingga yang berdiri tegak pada lubang yoni. Kepala Seksi (Kasi) Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, I Wayan Muliarsa menerangkan, lingga berbahan batu padas ini bertinggi 21 cm dan lebar 16 cm. Adapun yoni, bagian sisinya berukuran 50 cm.<br />
Ada pula arca lembu (Nandini) terbuat dari batu padas dengan panjang 82 cm dan lebar 37 cm. Kemudian sebuah arca singa dari batu padas memiliki panjang 58 cm, lebar 32 cm, dan tinggi 56 cm.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Masih di areal jaba tengah, tepat di sebelah selatan kolam suci, berjejer 31 pancuran yang terbagi dalam tiga bagian. Air yang mengalir dari masing-masing pancuran itu memiliki berbagai fungsi.<br />
Pada halaman jaba sisi terdapat wantilan dan di sebelah baratnya kolam permandian cukup luas. Hingga pertengahan dasawarsa 1980-an, kolam tersebut digunakan sebagai tempat permandian umum. Belakangan tak dimanfaatkan lagi karena pertimbangan dekat tempat suci.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Tirta Empul merupakan situs kuno, memang. Nama Tirta Empul, sesuai penjelasan Muliarsa, pertama kali ditemukan pada laporan tahunan Dinas Purbakala Bali, tahun 1924. Dalam laporan ini terdapat foto prasasti di Pura Sakenan Manukaya yang memuat nama tempat suci Tirta Empul, berangka tahun 884 Isaka atau 962 Masehi. Prasasti ini dikeluarkan Raja Candrabhayasingha Warmadewa, seorang raja zaman Bali Kuno yang merupakan keturunan dinasti Warmadewa. Alih aksara pertama prasasti ini dimuat dalam buku Oudheden van Bali , karangan Stutterheim.</div><div style="text-align: justify;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC83KmtvNI/AAAAAAAAACk/tRsSCL6NaLo/s1600/Bagian+Pura+TP2.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="195" src="http://4.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC83KmtvNI/AAAAAAAAACk/tRsSCL6NaLo/s320/Bagian+Pura+TP2.jpeg" width="320" /></a>Peneliti prasasti Bali asal negeri Belanda, Dr R Goris mengklasifikasikan, prasasti Manukaya sebagai tipe “ punah (muwah) ing saka ”, yakni prasasti berbahasa Bali Kuno dari tahun 951–983 Masehi (Isaka 873-905).<br />
Dalam prasasti Manukaya disebutkan, sang Raja Candrabhayasingha Warmadewa pada bulan keempat paro terang hari ketigabelas tahun Isaka 884 telah memperbaiki permandian suci di Air Empul yang batunya telah rusak akibat aliran air.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Air suci dalam bahasa Bali dikenal dengan sebutan tirta , karena itu Air Empul yang dimaksud dalam prasasti itulah kini dikenal dengan nama Tirta Empul. Itu berarti Tirta Empul paling tidak sudah ada sejak abad ke-10, kurang lebih 1100 tahun silam!</div><div style="text-align: justify;"><br />
Sumber air Tirta Empul inilah kemudian mengalir menjadi Tukad Pakerisan di sisi timur dan Tukad Patanu di sisi barat. Air yang mengalir dari Tirta Empul ini dinilai suci, karenanya sampai kini masyarakat Bali di sekitarnya menjadikan air Tirta Empul ini sebagai air suci yang digunakan dalam upacara-upacara tertentu..<br />
Selain itu, air juga menyimbolkan kesuburan, atau simbol kehidupan itu sendiri. Air itu mengalir terus seperti kehidupan yang terus berlanjut, dan kehidupan pun berjalan terus seperti aliran air. Tiada kehidupan di Bumi tanpa topangan air, karena itu air menjadi hal yang sangat penting dijaga kelangsungan, kelestarian, dan kemurniannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Kesadaran terhadap betapa penting makna dan fungsi air bagi kehidupan segenap makhluk itulah kiranya menjadikan masyarakat Bali agraris sangat memuliakan air. Sumber-sumber mata air dikeramatkan agar tidak dirusak ulah-ulah yang tidak sepatutnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC9GgajZ8I/AAAAAAAAACs/sjs0ThZ0IGc/s1600/Bagian+Pura+TP1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://4.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC9GgajZ8I/AAAAAAAAACs/sjs0ThZ0IGc/s320/Bagian+Pura+TP1.jpg" width="212" /></a></div>Upacara pemuliaan sumber-sumber air pun digelar dalam kurun-kurun waktu tertentu secara terus-menerus, termasuk di Pura Tirta Empul. Tempat suci yang di- empon warga Desa Pakraman Manukaya Let yang terbagi menjadi lima banjar adat ini, saban waktu digelar upacara keagamaan yang tujuannya memuliakan sumber-sumber air. Piodalan besar ( ageng ) dilaksanakan setahun sekali, pada Purnama Kapat (sekitar Oktober), selama sembilan hari.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Di Pura Tirta Empul, sekalipun pangempon berasal dari lima banjar, penanggung jawab upacara dilakukan secara bersama-sama. Hanya, waktu ngaturang ayah dibagi bergiliran. Jika diperlukan sesaji ( banten ) mendesak dalam jumlah besar, dan harus disediakan sesegera mungkin, barulah warga ngayah (bekerja tanpa upah) bersama-sama. Dengan begitu kerja tak dirasakan menjadi beban, sebaliknya justru menjadi satu bentuk nyata rasa bakti kepada sang Pencipta. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b style="color: red;">Air Kehidupan Batara Indra</b><br />
Kehadiran Pura Tirta Empul, di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, tidak terpisahkan dengan mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Bali, perihal seorang Raja dari Bedahulu bernama Mayadanawa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Buku Hasil Inventarisasi Pura/Tempat Suci Bersejarah yang disusun dalam rangka penjaluran ulang pariswisata Bali, susunan Tim Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Tradisional dan Baru, tahun 1980-1981, menunjukkan memang ada rotal Usana Bali menyebutkan nama Raja Mayadanawa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Konon, Raja Mayadanawa ini sangat sakti. Namun sering bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Warga tak diizinkan melakukan upacara keagamaan guna memohon keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa. Ia melarang rakyat Bali menghaturkan persembahan apa pun kepada para dewata, sebaliknya meminta rakyat agar memuja dirinya sebagai dewata.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Perilaku Raja Mayadanawa diketahui para dewa di kahyangan. Para dewa akhirnya berunding buat menyerang penguasa di Kerajaan Bedahulu tersebut. Pertempuran pun tiada terhindarkan. Pasukan para dewa dipimpin Batara Indra, sedangkan pasukan Bedahulu dipimpin langsung Raja Mayadanawa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Pertempuran berjalan sengit, saling serang antarkedua pasukan tiada terhindarkan. Toh, pasukan Mayadanawa berhasil dikalahkan oleh para dewa. Namun, sang raja beserta beberapa pangiring (abdi) setianya melarikan diri ke arah pegunungan. Dalam pelariannya, Mayadanawa selalu berganti rupa guna mengelabui pasukan Batara Indra—belakangan wilayah atau desa yang menjadi tempat persembunyian Mayadanawa itu diabadikan sebagai nama desa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Desa Manukaya, misalkan, dihubung-hubungkan dengan saat Mayadanawa berubah wujud menjadi ayam. Tempat Mayadanawa bersembunyi di daun janur kini dinamakan Desa Belusung—berasal dari kata busung yang berarti janur. Di kawasan Mayadanawa berupaya menghilangkan jejak dengan memiringkan tapak kakinya lantas dinamakan Tampaksiring.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Pengejaran terus berlangsung. Upaya Batara Indra besama pasukannya membunuh Raja Mayadanawa tiada pernah surut. Saban kali Mayadanawa terdesak dia pun menciptakan yeh cetik (air racun). Pasukan Batara Indra yang kehausan, tak tahu air dimaksud mengandung cetik, akhirnya meminumnya. Cilaka, tiap kali meminum yeh cetik pasukan itu pun tewas.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Guna mengalahkan yeh cetik ciptaan Mayadanawa, Batara Indra lantas menciptakan benteng membendung yeh cetik . Berikutnya, dari dalam tanah menyembullah air bening, dinamakan Tirta EEmpul. Konon, Tirta Empul atau air yang menyembul dari dalam tanah inilah yang dapat menghidupkan kembali bala tentara pasukan Batara Indra yang telah tewas oleh yeh cetik Mayadanawa. Di akhir kisah disebutkan, Mayadanawa pun dikalahkan Batara Indra.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Mitos yang tertuang dalam teks Usana Bali itu tentu sulit dibuktikan kebenarannya. Para penekun spiritual di Bali mengira-ngira, nama Mayadanawa itu merujuk pada konsep filsafat maya ( maya-tattwa ) dalam Siwaisme: bahwa segala penampakan material di dunia ini bukanlah kenyataan sejati, melainkan cuma maya belaka. Nama Bedahulu sebagai kerajaan pun diduga kuat sebagai simbolik beda sikap dan pemikiran raja Bali Kuno atas dominasi Majapahit yang ingin menguasai Bali yang berdaulat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Sejarah memang lantas mencatat jelas: Raja Bali Kuno terakhir yang berpusat di kawasan Pejeng, Gianyar, bernama Sri Astasura Ratna Bumi Banten, itu akhirnya dikalahkan pasukan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada, abad ke-14. Sejak itu peradaban Bali, terutama Bali tengah dan selatan, pun mendapat pengaruh kuat peradaban Majapahit.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Namun, satu hal tetap terus mengalir sejak zaman Bali Kuno hingga kini: bening jernih air Tirta Empul tetap digunakan membasuh raga, jiwa, dan batin supaya menjadi bersih, suci, dan hening. </div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-67491063258107518482010-06-16T22:31:00.000-07:002010-06-22T06:30:04.013-07:00Pura Besakih - Karangasem<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC6uUPpqDI/AAAAAAAAACE/qcNqxflQQS8/s1600/Pura+Besakih.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="http://1.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCC6uUPpqDI/AAAAAAAAACE/qcNqxflQQS8/s400/Pura+Besakih.jpeg" width="281" /></a></div>Di <b style="color: red;">Pura Besakih </b>alam semesta divisualisasikan dalam berbagai dimensi. Misalnya di Panataran Agung di Mandala Kedua hulunya Salu Panjang atau sering juga disebut Bale Agung ada palinggih Ider Bhuwana. Salu Panjang itu bertiang 24 di kanan Balai Pawedaan yang sering disebut Balai Gajah. Bangunan yang disebut palinggih Ider Bhuwana itu melambangkan bahwa alam ini adalah satu dan bulat adanya. Karena itu disebut Anda Bhuwana yang artinya alam yang bentuknya bulat seperti telur. Kata anda dalam bahasa Sanskerta berarti telur dan bhuwana berarti alam seperti planet-planet isi ruang angkasa ini.<br />
<br />
Di samping alam dilukiskan satu dan bundar oleh palinggih Ider Bhuwana, alam juga dilukiskan sebagai alam bawah dan alam atas. Alam bawah di Pura Besakih divisualisasikan sebagai ”Soring Ambal-Ambal”. Sedangkan alam atas divisualisasikan “Luhuring Ambal-Ambal”. Komplek Pura Besakih ada yang digolongkan pura di Soring Ambal-Ambal dan ada Pura yang tergolong di Luhuring Ambal-Ambal.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pura yang tergolong di Soring Ambal Ambal antara lain Pura Pesimpangan, Pura Manik Mas, Pura Bangun Sakti, Pura Merajan Selonding, Pura Gua Raja, Pura Rambut Sedana, Pura Basukian, Pura Dalem Puri, Pura Jenggala, Pura Banua dan Pura Merajan Kanginan. Pura yang tergolong di Luhuring Ambal Ambal adalah Pura Penataran Agung Besakih, Pura Batu Madeg, Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kulkul, Pura Peninjauan, Pura Tirtha, Pura Pengubengan, dan Pura Pasar Agung di Desa Sebudi. Kompleks : Pura Besakih ini sering disebut kompleks 18 pura. Hal ini disebabkan Pura Goa Raja dan Pura Rambut Sedana dianggap satu kompleks.<br />
<br />
Pura Soring Ambal-Ambal lambang keberadaan alam bawah yang disebut Sapta Patala yang berarti tujuh lapisan alam bawah. Sedangkan Pura-Luhuring Ambal-Ambal lambang keberadaan alam atas dan pemujaan Tuhan Yang Mahakuasa. Alam atas itu disebut Sapta Loka yang divisualisasikan di tujuh lapis atau Mandala Pura Penataran Agung Besakih. Pusat palinggih di Pura Soring Ambal-Ambal adalah di Pura Merajan Selonding di <br />
Pelinggih Gedong. Di Pelinggih Gedong di Merajan Selonding itulah disimpan segala pratima atau arca pemujaan semua pura yang tergolong Pura Soring Ambal-Ambal. Palinggih Gedong di Merajan Selonding inilah sebagai simbol sentralnya alam bawah. Sedangkan semua pratima, prasasti, dan sarana lainnya dan semua pura yang tergolong Luhuring Ambal-Ambal disimpan di palinggih Kehen yang ada di petak atau Mandala Ketiga Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih Kehen ini berbentuk meru dengan atapnya tumpang tiga. Palinggih Kehen inilah simbol pusat alam atas atau Luhuring Ambal-Ambal.<br />
<br />
Mengapa perlu ada dua kelompok pura di kompleks Pura Besakih? Hal ini menandakan bahwa ajaran Hindu tidak hanya menanamkan ajaran untuk percaya dan takwa pada keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan. Tetapi lebih dari itu kepercayaan dan ketakwaan umat Hindu pada Tuhan harus didayagunakan untuk memahami keberadaan alam dan semua ciptaan-Nya untuk memajukan hidup dan kehidupan ini. Tuhan dipuja sebagai jiwa dan sumber alam bawah dan alam atas. Pemujaan itu untuk menghindari adanya keyakinan bahwa Tuhan hanya ber-stana di pura bahkan ada yang menduga Tuhan hanya ada di langit. Hal ini mungkin menyebabkan banyak orang yang berbuat seenaknya di bumi ini karena Tuhan hanya ada di langit; hanya kadang-kadang datang ke bumi.<br />
<br />
Saat memuja memang disimbolkan Tuhan berstana di pura untuk memudahkan pelatihan untuk berkonsentrasi. Tetapi dalam filosofinya Tuhan itu ada di mana-mana. Dengan adanya keyakinan bahwa Tuhan ada di alam bawah dan alam atas itu umat manusia dapat juga memahami bahwa unsur-unsur alam itu dapat berfungsi karena ada Tuhan di alam tersebut. Magma yang merupakan sumber api di perut bumi itu sebagai unsur alam yang menyebabkan adanya kesuburan di bumi. Demikian juga Tuhan ada juga di tanah sehingga tanah menjadi sumber bahan makanan yang tidak habis-habisnya tentunya kalau hak asasi alam dari tanah itu tidak diganggu manusia. Karena itu memuja Tuhan sebagai dewa tanah untuk menanamkan pemahaman akan perlunya tanah dijaga agar tidak diganggu fungsinya dalam menciptakan bahan makanan. Karena itu Tuhan dipuja sebagai dewa tanah yang disebut Dewa Ananta Bhoga. Kata ananta bhoga berarti makanan yang tiada habis-habisnya. Tanah yang tidak diganggu kesuburannya oleh manusia akan mendatangkan bahan makanan yang tidak habis-habisnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Ada juga pura untuk memuja Tuhan sebagai dewa air ini untuk menanamkan pemahaman umat agar tidak merusak eksistensi air sebagai salah satu sumber kehidupan umat manusa. Syukurlah Tuhan menciptakan air. Tidak ada kehidupan tanpa air. Tuhan sebagai dewa air dipuja sebagai Sang Hyang Basuki. Basuki berarti rahayu atau selamat. Tanpa air tidak ada keselamatan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Demikian juga, pura di Luhuring Ambal-Ambal ada yang disebut Pura Ulang Alu dan Pura Ratu Subandar. Hal ini untuk mengarahkan pada mereka yang melakukan usaha perdagangan dalam negeri dan luar negeri agar berdagang sesuai dengan norma-norma berdagang yang benar, baik dan bermoral; tidak menipu pe langgan, tidak memalsu barang baik kualitasnya maupun timbangannya.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Ada juga palinggih Widyadhara dan Widyadharii yang berarti Tuhan sebagai dewa ilmu pengetahuan. Demikianlah seterusnya bahwa adanya kelompok Pura Soring Ambal-Ambal dan Luhuring Ambal-Ambal sebagai simbol untuk menanamkan pemahaman bahwa Tuhan itu ada di mana-mana termasuk ada di langit maupun di bumi. Dengan demikian pemujaan Tuhan agar dapat didayagunakan untuk membangun moral luhur untuk menjaga kesucian bumi dan langit agar tidak terpolusi akibat perilaku negatif manusia.<br />
<br />
PURA Besakih kini memang menjadi pusat perhatian serangkaian akan diselenggarakannya upacara Panca Bali Krama. Terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, pura ini berada di kaki Gunung Agung — di lereng barat daya pada ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut. <br />
Gunung Agung yang tingginya sekitar 3142 meter, gunung tertinggi di Bali, merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari keberadaan Pura Besakih. Berdasarkan catatan, Gunung Agung sudah pernah meletns beberapa kali — pada tahun 1089, 1143, 1189 dan 1963.<br />
<br />
<br />
Perihal berdirinya Pura Besakih, berdasarkan catatan-catatan yang terdapat dalam prasasti logam maupun lontar-lontar, disebutkan pada mulanya merupakan bangunan pelinggih kecil yang kemudian diperbesar dan diperluas secara bertahap dalam tempo yang cukup lama. Dari sumber-sumber catatan itu diketahui bahwa pada permulaan abad ke-11 yaitu tahun 1007, Pura Besakih sudah ada.<br />
<br />
<br />
Ketika itu masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042) dan Empu Kuturan menjadi senapati di Bali, yang berkedudukan di Silayukti, Padangbai, Kabupaten Karangasem. Empu Kuturan memperbesar dan memperluas Pura Besakih dengan membangun sejumlah pelinggih. Beberapa meru dibangun meniru bangunan di Jawa seperti yang ada sekarang.<br />
<br />
<br />
Sumber lainnya menyebutkan, Maha Rsi Markandeya pindah bersama rombongan sebanyak sekitar 8.000 orang dan Gunung Raung di Jawa Timur ke Bali untuk menetap dan membuka tanah-tanah pertanian serta mendirikan Pura Besakih untuk tempat memo- hon keselamatan dan kesejahteraan dengan menanam panca datu. <br />
Kemudian, pada masa benikutnya, zaman pemerintahan Shri Wira Kesari Warmadewa<br />
sampai masa pemerintahan Dalem Waturenggong, Pura Besakih tetap mendapatkan pemeliharaan yang baik. Hampir semua pelinggih-nya diperbaiki, arealnya diperluas, bahkan oleh Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh ditambah dengan pelinggih beruang tiga yang sekarang terdapat di Pura Penataran Agung Besakih pada sekitar abad ke-16, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali. <br />
Disebutkan, kata besakih berasal dari kata basuki yang berarti “selamat”. Kata ini berkembang menjadi basukir dan basukih, lalu menjadi besakih. Nama ini terdapat dalam dua prasasti yang disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan Selonding dan satu lagi di Pura Gaduh Sakti di Desa Selat.<br />
<br />
<br />
Fungsi umum Pura Besakih adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan. Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap purnama sasih kedasa (sekitar Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan pada 1979.<br />
<br />
<br />
Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan Raja Sri Jayakesunu memerintahkan memasang penjor pada Hari Raya Galungan sebagai lambang Gunung Agung. Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, seperti terdapat dalam lontar Raja Purana Besakth tentang upacara, nama pelinggih, tanah pelaba, susunan pengurus, hingga tingkatan upacara, diatur dengan baik.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">Struktur Pura</b><span style="color: red;"> </span><br />
Sampai saat ini, Pura Besakih tetap merupakan pura terbesar di Bali, merupakan pusat tempat ibadah bagi umat Hindu di Indonesia. Kelompok Pura Besakih terdiri atas 18 kompleks pura yang terletak di wilayah Desa Besakih dan satu terletak di Desa Sebudhi, Kecamatan Selat, Karangasem. Selain dari pura yang disebutkan berikut, masih banyak lagi Pura Pedharman yang menjadi penyiwaan warga-warga yang sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengan Pura Agung Besakih itu sendiri. Berikut rincian pura-pura tersebut:<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;"><b>1. Pura Persimpangan</b> </b><br />
— Terletak di Desa Kedungdung, di tengah-tengah ladang sekitar 1,5 km, di Sebelah selatan Pura Penataran Agung. Di Pura ini terdapat 4 buah bangunan dan pelinggih. Fungsinya sebagai tempat pesimpangan sementara bhatara Besakih ketika diadakan upacara melasti (mencari toya ning) ke Toya Sah, ke Tegal Suci atau ke Batu Kiotok yang dilakukan tiap-tiap tahun.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">2. Pura Dalem Puri</b><span style="color: red;"> </span><br />
- Terletak di sebelah utara tikungan jalan terkahir, sebelum sampai di Desa Besakth sekitar 1 km di sebelah barat daya Pura Penataran Agung Besakih. Di pura ini terdapat 10 bangunan, termasuk pelin,ggih berbentuk gedong beratap ijuk. Fungsinya Sebagai linggih bhatari Uma dan Dewi Durga. Di Pura ini juga terdapat pelinggih Sang Hyang Prajapati sebagai penguasa roh manusia. Di Sebelah utara terdapat tanah lapang yang disebut Tegal Penangsar.<br />
<div style="color: red;"><br />
</div><div style="color: red;"></div><b style="color: red;">3. Pura Manik Mas</b> — Terletak di pinggiran sebelah kin jalan menuju ke Pura Penataran Agung, jarakiiya sekitar 750 meter di sebelah selatan Penataran Agung. Di Pura ini terdapat 6 bangunan dan pelinggih, termasuk pelinggih pokoknya berbentuk gedung simpan, hertiang empat menghadap ke barat. Fungsinya sebagai linggih Ida Ratu Mas Melilit.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">4. Pura Bangun Sakti</b> — Terletak di sebelah kanan jalan menuju ke Penataran Agung dan di sebelah utara Pura Manik Mas. Di Pura ini terdapat ernpat bangunan dan peiinggih. Pelinggih pokoknya adalah Gedong Simpan sebagai linggih Sang Hyang Ananthaboga.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">5. Pura Ulun Kulkul</b> — Terletak sekitar 350 meter sebelah kiri jalan menuju Pura Penataran Agung. Di Pura ini terdapat tujuh bangunan danpelinggih. Pelinggih yang terpentingnya adalah Gedong Sari beratap ijuk sebagai iinggih Dewa Mahadewa. Pura ini adalah salah satu linggih Dewa Catur Loka Phala, yaitu manifestasi Sang Hyang Widhi yang menguasai arah barat. Warna perhiasaan atau busana di pura ini, pada waktu upacara, serba kuning.<br />
<br />
<br />
<b><span style="color: red;">6. Pura Merajan Selonding</span> </b>— Tenletak di Sebelah kiri Pura Penataran Agung, dengan lima bangunan danpelin,ggih. Di pura itu tersimpan prasasti dan sejumlah pratima, serta gamelan slonding. Menurut catatan sejarah, pura ini merupakan bekas bagian dan istana raja Sri Wira Dalem Kesari. Kini, pura ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">7. Pura Goa</b>- Terletak di sebelah kanan jalan berhadapan dengan Pura Merajan Slonding. Di kompleks ini terdapat goa yang besar, tetapi bagian-bagiannya sudah banyak yang runtuh. Menurut kepercayaan rakyat, goa itu tembus ke Goa Lawah, di sebelah timur Kusamba, Sebagai goa untuk Sang Hyang Basuki. Di pura ini terdapat empat pelinggih.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">8. Pura Banuwa</b>— Terletak di sebelah kanan jalan di hadapan Pura Besakih, sekitar 50 meter dan Pura Penataran Agung. Dalam pura im terdapat empat bangunan dan pelinggih pemujaan pokoknya ditujukan kepada Dewi Sri. Setiap sasih kepitu atau sekitar Januari, di siii diadakan upacara Ngusaba Ngeed dan Ngusaba Buluh yang bertujuan mohon kemakmuran di sawah dan di ladang.<br />
<br />
<br />
<b><span style="color: red;">9. Pura Merajan Kanginan</span></b>— Teretak di sebelah timur Pura Banuwa. Di pura ini terdapat tujuh bangunan dan pelinggih, di antaranya ada pelinggih untuk Empu Baradah.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">10. Pura Hyang Aluh</b> — Terletak di sebelah barat Pura Penataran Agung, herjarak sekitar 200 meter. Di dalamnya terdapat tujuh banguanan dan pelinggih. Pelinggih pokok pada pura ini berbentukgedong untuk linggih Ida Ratu Ayu. <br />
<br />
<b style="color: red;">11. Pura Basukihan</b> — Letaknya di sebelah kanan tangga naik menuju Pura PenataranAgung. Di sun tendapat 10 bangunan dan pelinggih. Pelin,ggih pokoknya berbentuk meru dengan atapnya bertmgkat 9 sebagai linggih Sang Hyang Naga Basuki.<br />
<div style="color: red;"><br />
</div><div style="color: red;"></div><b style="color: red;">12. Pura Penataran Agung Besakih</b> — Tenletak di tengah-tengah kelompok pura yang termasuk lingkungan Pura Besakih. Kompleks pura ini termasuk terbesar di Pura Besakth. Terdiri dan 7 tmgkat halaman denganjumlah bangunan dan pelinggih seluruhnya sebanyak 53 buah. Di sini terdapat meru yang besar-besar beratap tujuh tingkat 11, 9, 7, 5, dan 3. Pelinggih yang merupakan pemujaan pokoknya adalah Padma Tiga sebagai linggih Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya Sebagai Tn Purusa yaitu Ciwa, Sadha Ciwa dan Panama Ciwa yang sekaligus merupakan “poros” dan pura-pura yang lainnya.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">13. Pura Batu Madeg</b> — Terletak sekitar 150 meter di sebelah kanan (utara) Pura Penataran Agung. Pura ini adalah kompleks pura yang besar, dengan 29 bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya berbentuk meru besar beratap ijuk beratap 11. Bangunan ini merupakan linggih Dewa Wisnu sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi, yang menguasai arah Sebelah utara. Warna busana di pura ini adalah serba hitam.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">14. Pura Kiduling Kreteg</b> — Terletak sekitar 300 meter di sebelah kiri (Selatan) Pura Penataran Agung, di atas suatu bukit. Di dalamnya ada 21 bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah meru besar beratap tingkat 11 sebagai linggih Dewa Brahma yaitu manifestasi dan Sang Hyang Widhi sebagai penguasa arah selatan. Kompleks pura ini merupakan kompleks yang besar, hampir sama besarnya dengan kompleks Pura Batu Madeg. Warna busana di pura ini merah.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">15. Pura Gelap</b><span style="color: red;"> </span>— Terletak sekitar 600 meter pada sebuah bukit sebelah timur Pura Penataran Agung. Di dalamnya terdapat enam bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah meru beratap 3 sebagai linggih Dewa Iswara — manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai penguasa anah sobelah timur. Warna busana di pura ini adalah serba putth.<br />
<br />
<br />
<b><span style="color: red;">16. Pura Peninjauan</span> </b>— Terletak sekitar 1 km di sebelah kanan Pura Penataran Agung, di dalamnya terdapat 12 bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknyaberbentuk meruberatap tingkat 11, tem pat Empu Kuturan memohon restu kepada SangHyang Wicthi dalam rangka suatu upacara di Gunung Agung.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">17. Pura Pengubengan</b><span style="color: red;"> </span>— Letaknya 1,5km disebelah utara Pura PenataranAgung, di dalamnya ada enam bangunan dan pelinggih. Fungsinya sebagai tempat ngayat atau nubeng—suatu upacara permakiuman kepada Sang Hyang Widhi bahwa di Pura Penataran Agung akan dilangsungkan upacara. Pelinggih pokoknya berupa meru beratap tingkat 11.<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">18. PuraTirta</b><span style="color: red;"> </span>— Letaknya sekitar 300 meter di Sebelah timur laut Pura Pengubengan. Di pura ini terdapat dua bangunan dan pelinggih, serta air suci (tirta). Jika ada upacara di kompleks Pura besakih, maka di pura inilah umat memohon tirta atau air suci. <br />
<br />
<b style="color: red;">19. Pura Pasar Agung</b> — Letaknya di lereng Gunung Agung, melalui Desa Selat ke Desa Sebudi, lalu mendaki sekitar empat jam mendaki ke arah utara. Pelinggih-nya sernua hancur waktu Gunung Agung meletus pada 1963, dan menjelang karya Eka Dasa Rudra di Besakih telah mulai diperbaiki secara bertahap sarnpai sekarang. </div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-74333925814942173032010-06-16T22:26:00.000-07:002010-06-22T06:58:08.910-07:00Pura Bukit Gamang, Sumber Mata Air<div style="background-color: white; color: red;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCDBWGHPJ2I/AAAAAAAAAC0/_DShmw-U5sQ/s1600/Pura+Bukit+Gamang.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="220" src="http://2.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCDBWGHPJ2I/AAAAAAAAAC0/_DShmw-U5sQ/s320/Pura+Bukit+Gamang.jpg" width="320" /></a></div><b><span style="background-color: #f3f3f3; color: red;">PURA BUKIT GAMANG</span></b></div><b><br />
</b><br />
<br />
<i>Varsikamscaturo nasanyatha <br />
Indro’bhipravarsati <br />
tathabhivarsetsmam rastra <br />
kamair Indrvratam caran </i><br />
(<b>Manawa Dharmasastra, IX, 304</b>)<br />
<br />
<br />
<b>Maksudnya</b>: Laksana Dewa Indra menurunkan hujan yang berlimpah selama empat bulan setiap tahun, demikianlah raja menempati kedudukan bagaikan Dewa Indra dengan menghujankan kemakmuran bagi rakyatnya.<br />
<div style="text-align: justify;">KEBERADAAN Pura Gumang di Bukit Juru, Desa Bugbug, Karangasem, ada hubungannya dengan adanya mata air yang mengaliri sawah ladang di sekitar Desa Bugbug. Keterangan tertulis yang bernilai sejarah tentang Pura Gumang di Bukit Juru ini memang sampai saat ini masih belum diketemukan. Keterangan tentang pura tersebut hanya didapat dari keterangan orang tua-tua seperti pemangku yang menjadi jan banggul di Pura Gumang dan juga dari tokoh-tokoh masyarakat yang menaruh perhatian tentang agama dan adat Hindu.<br />
<br />
Cerita itu didapatkan Secara turun-temurun. Menurut cerita rakyat yang dicatat oleh Tim Penelitian Sejarah Pura IHD (kini Unhi), dulu ada seorang dari Jawa bernama I Dewa Gede datang ke Bali. Saat I Dewa Gede datang ke Bali, masyarakat Bali tidak begitu hirau. Setelah beberapa lama I Dewa Gede berputar-putar di Bali, akhirnya ia menemukan tempat yang sangat menenangkan hatinya. Tempat itu adalah Bukit Juru yang juga bernama Bukit Gumang.<br />
<br />
Di tempat itu, I Dewa Gede melakukan olah tapa sambil bertani bersama-sama masyarakat petani setempat. Di daerah Bukit Juru, pertanian mengandalkan air tadah hujan. Upaya menghijaukan Bukit Juru tidak pernah berhenti dilakukan oleh I Dewa Gede.<br />
<br />
Di samping itu, dalam melakukan oleh tapa, ia senantiasa memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar muncul mata air dan sungai untuk kesuburan pertanian masyarakat di sekitarnya. Dalam upaya melakukan penghijauan dengan air tadah hujan dan melakukan tapa barata itu, akhirnya suatu saat muncuJiah mata air di Pura Gumang di Bukit Juru sekarang ini.<br />
<br />
Atas keberhasilan usaha I Dewa Gede bersama masyarakat petani secara sekala dan niskala ini, I Dewa Gede lantas dicintai oleh rakyat. Hal itu berhasil tentunya karena waranugraha Hyang Widhi Wasa. Oleh karena adanya waranugraha itulah akhiniya Pura Gumang didirikan di mata air tersebut. Kata Gumang konon berasal dari paiguman yang artinya musyawarah. Atas keberhasilan I Dewa Gede menghijaukan Bukit Juru itu dengan upaya sekala dan niskala itu pula, akhirnya rakyat mengadakan rapat (igum) untuk mengadakan upacara di Pura Gumang dan memberikan hadiah sapi kepada I Dewa Gede. Saat itu I Dewa Gede diberikan tambahan nama menjadi I Dewa Gede Gumang. Konon sapi-sapi persembahan rakyat itu pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang habis ditembaki oleh orang-orang Belanda dan Jepang yang suka berburu di Bukit Juru itu. Ada juga versi lain tentang keberadaan Pura Gumang ini. Menurut Jero Mangku Nengah Silur, zaman dulu para dewa turun dan Gunung Mahameru di India ke Jawa dan Bali. Di Bali, para dewa ke Pulaki, Silayukti, CandiDasa.<br />
<br />
Di Candi Dasa, para dewa menemukan air. Air itu atas kehendak para dewa terus menjadi telaga dengan tamannya. Para dewa ingin bermeditasi dengan dapat melihat Gunung Agung dengan Pura Besakih-nya secara lurus. Ternyata, dan Candi Dasa para dewa tidak dapat melihat Gunung Agung dengan jelas dan lurus.<br />
<br />
Para dewa lalu pindah ke Gunung Gundul, ke Bukit Pejenengan. Ternyata sama juga, Gunung Agung tidak bisa dilihat secara baik. Dan dua tempat itu, mereka akhirnya berpindah ke Bukit Juru yang berbadan tiga. Dan Bukit Juru inilah para dewa barn melihat Gunung Agung dengan lurus. Di Bukit Juru inilah para dewa melakukan musyawarah (mapaiguman) melakukan yoga dan tapa serta mendirikan pura untuk memuja Hyang Widhi di Pura Besakih.<br />
<br />
Lewat musyawarah itulah Bukit Juru disebut Bukit Gumang. Yang bermusyawarah itu adalah para déwa untuk melimpahkan karunianya pada umat yang berusaha memajukan hidupnya, seperti mengembangkan tradisi kehidupan yang agranis. Di Tampaksining juga ada Pura Gumang yang dilatarbelakangi oleh pertemuan Dewa Indra dengan para dewa untuk menata kehidupan di Bali setelah dapat mengalahkan Mayadenawa. Demikian mitologi tentang Mayadenawa. Di tempat - Dewa Indra bermusyawarah atau mapaiguman itulah dibangun Pura Catur Paigu- man yang selanjutnya disebut Pura Gumang di Tampaksiring.<br />
<br />
Di Pura Gumang di Bukit Juru terdapat beberapa petinggih utama dan pelengkap. Ada peling.gih Gedong sebagai stana Ida Bhatara Gede Gumang yang juga disebut Ida Bhatara Gede Manik Mas Kecatur. Di kiri kanan Gedong, agak mundur sedikit, terdapat tiga pelinggih Taksu yang mengapit Gedong - dua dikiri dan satu di kanan. Tiga Taksu tersebut sebagai pelinggih Ida Bhatara Gede Gumang.<br />
<br />
Ada pula pelinggih Meru tumpang tiga sebagai stana Ida Bhatari Uma, saktinya Dewa Siwa. Mengapa Ida Bhatara Gede Gumang disebut juga Ida Bhatara Gede Manik Mas Kecatur, hal mi mungkin sebagai bukti bahwa I Dewa Gede itu pemuja Bhatara Siwa dengan saktinya Sang Catur Dewi. Dewa Siwa memiliki empat sakti yaitu Dewi Uma, Dewi Perwati, Dewi Gangga, dan Dewi Gauri. Empat sakti Siwa inilah yang disebut Sang Catur Dewi. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Dalam kaitannya memuja Tuhan untuk memohon turunnya mata air dan sungai yang mengalir di daerah Bughug, Jasi, Bebandem, Datah dan Ngis, ada kaitannya dengan cerita turunnya sungai Gangga dan Sorga Loka dalam cerita Purana di India.<br />
<br />
Pendirian pelinggih untuk I Dewa Gede mi tentunya dibuat setelah I Dewa Gede Gumang sudah berbadan niskala dalam statusnya yang sudah menjadi Dewa Pitara. Umumnya, roh suci atau Dewa Pitara seorang tokoh dibuatkan pelinggih bukan oleh din tokoh tersebut, namun dibuat oleh keturunannya atau masyarakat generasi setelah tokoh tersebut sudah berbadan niskala sebagai Dewa Pitara atau Siddha Dewata. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-29362480881891111212010-06-16T22:22:00.000-07:002010-06-16T22:22:40.138-07:00Pura Batu Bolong, Lombok - NTB<div style="text-align: justify;"><b style="color: red;">Pura Batu Bolong, Lombok - NTB.</b> Disudut tikungan jalan menurun menuju Senggigi, Lombok, di situlah Pura Batu Bolong berada. Sebuah pura yang berdiri di atas batu karang yang bolong (berlubang) serta tetap kokoh, tegar dan agung di bibir pantai Senggigi ini, menyhnpan aura religius yang kuat dengan keindahan pantainya. Buih-buih ombak yang ramah seolah senantiasa meranku1 dengan damai areal pura dan pantainya.</div><div style="text-align: justify;">Awal memasuki kawasan pura yang piodalan-nya jatuh pada Purnamaning Kasa ini, umat Hindu atau pamedek yang hendak tangkil (melakukan persembahyangan) bisa masuk melalul Candi Bentar bertekstur pasir. Di kiri-kanan gerbang utama ini ada pintu kecil (betelan) berterali besi sebagai side entrance atau pintu sampingnya.<br />
<br />
Di sebelah kiri areal (dekat jalan raya), terdapat bukit yang di atasnya berdiri Pura Pucaksari Melanting dengan beberapa pelinggih dan bangunan pelengkap, seperti Palinggih Pasimpangan Gunung Agung, Pasimpangan Gunung Rinjani, Pasimpangan Ayu Mas Melanting dan Bale Pawedan. Di sekeliling, selain pantai nan elok, juga beragam pepohonan tumbuh di areal dekat pura. Seperti pohon beringin (di Jaba Sisi), bujut, celagi (asem), waru (di tepi pantai), pule, dan lain-lain.<br />
<br />
Memasuki areal pura, orang akan menuruni tangga terlebih dulu, sebelum melewati beberapa pelinggih yang berdiri di sekitar jalan setapak menuju puncak Pura Batu Bolong. Saat pertama, di sisi kiri jalan yang dilalui, ada dua pelinggih (dalam satu penyengker). Yang lebih dekat dengan pintu masuknya, berdiri (menghadap ke selatan), palinggih Bagus Balian. Di sisi kiri dari pelinggih itu (menghadap ke barat) ada pelinggih Pengayengan Ratu Gde Mas Mecaling.<br />
<br />
Pada sisi kirinya, berjejer Bale Pewaregan dan Bale Pakemit. Melewatinya, di sebelah kanan jalan setapak terdapat Bale Pawedan dan Bale Pengodal. Menyusul di belakang Pelinggih Pangelukatan (dasar palinggih-nya bersentuhan dengan air laut). Seberang kanannya ada Palinggih Pelawangan.<br />
<br />
Setelah melewati bangunan-bangunan suci inilah, orang bisa menyaksikan lebih dekat onggokan batu karang besar, berlubang menjulang vertikal. Ibarat menganga, lidah dan suara debur ombak terlihat menembus dan berkecipak dilubang batu karang itu. Maka, suasana alam yang indah berpadu dengan hamparan aura religi yang teduh memendarkan kekaguman. Serta keindahan yang khusuk merasuki benak setiap orang.<br />
<br />
Di sebelah batu berlubang/bolong itulah tersedia undag-undag. Naik menuju hulu atau bagian atas batu karang. Tempat di mana terdapat Padmasana, pelinggih Batara Ayu Mas Lingsir Batu Bolong, palinggih Batara Bagus Lingsir Batu Bolong. Juga pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh dan (di atas tebing yang paling ujung-menjorok ke laut) pesimpangan Petirthan. Beberapa jenis patung yang ada di kompleks pura ini antara lain patung Subali, Sugriwa, Rama, Laksmana, dan patung naga.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><b style="color: red;"><strong>Berpindah-pindah</strong> </b><br />
Menurut beberapa sumber, perjalanan Dang Hyang Dwijendra hingga ke Pulau Lombok merupakan lanjutan dari perjalanan beliau dari Jawa dan Bali. Beliau kerap berpindah-pindah tempat. Di awali dari daerah Daha, kemudian ke Pasuruan, Blambangan, terus ke kawasan Pulau Bali bagian Barat-Jembrana (sekitar tahun Çaka 1411).<br />
<br />
Pun, selain mengelilingi pantai selatan Pulau Bali, beliau melanjutkan peralanan spiritual ke kawasan Bali Utara. Seperti Pura Pulaki hingga ke Pura Ponjok Batu, sebelum melanjutkan perjalanannya ke Pulau Lombok. Di tempat yang terakhir itulah Dang Hyang Dwijendra disebutkan sempat menolong beberapa orang bendega atau nelayan perahu yang karam dekat Ponjok Batu. Para bendega asal Lombok yang diselamatkan beliau itu konon turut mengantarkan Dang Hyang Dwijendra ke Lombok.<br />
<br />
Bapak Mangku Made Sada, salah satu pemangku yang sehari-hari siap melayani umat tangkil ke pura itu, mengungkapkan. Katanya, keberadaan pura itu memiliki nilai sejarah dan spiritual sebagai bagian dari perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra, usai menyusuri pantai-pantai di Bali. Dikatakannya, sebelum beliau - yang disebut pula sebagai Ida Peranda Sakti Wawu Rauh — sampai di Batu Belong, pertama kali memasuki kawasan Tanjung Bukur dan Pura Kapusan - Lombok Barat. Selanjutnya, setelah tiba di Batu Bolong, perjalanan beliau dilanjutkan ke Lingsar dan Suranadi.<br />
<br />
Pura Batu Bolong yang berhadapan dengan Selat Lombok dan Gunung Agung di Bali ini memiliki atmosfir spiritual yang mampu memberikan kedamaian dan ketenangan bagi para pemedek yang ngaturang bakti ke pura ini.<br />
<br />
Ikhwal yang paling menonjol peran beliau dalam penerapan konsep pembangunan pura di Bali maupun di Lombok adalah tentang perlunya dibangun sebuah pelingggih dalam bentuk Padmasana. Sebagai sthana Ida Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Pencipta). Dikatakan berbeda peuntukannya dengan tempat pemujaan lain, yang umumnya berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur dan para dewa.<br />
<br style="color: red;" /><strong style="color: red;">Vibrasi Kesucian</strong><span style="color: red;"> </span><br />
Karya arsitektur Pura Batu Bolong-Lombok ini boleh dikata muncul akibat kebutuhan manusia (umat Hindu) akan ruang peribadatan yang dapat mewadahi seluruh aktivitas spiritual-religiusnya. Dengan demikian, peran kreasi manusia di tempat ini dan kondisi alam sekitar pantai Senggigi akan senantiasa mewarnai dan membantu menambah vibrasi kesucian pura itu sendiri.<br />
<br />
Pura ini juga diyakini oleh masyarakat umat Hindu setempat dapat memancarkan spirit atau getaran rohani yang damai, teduh dan khusuk. ”Mengalami” ruang dan massa arsitektur pura ini mengantarkan orang lebih mamahami “jarak”, “waktu” dan “spirit”. Kegiatan “mengalami” yang dimaksud saat berada didalam pura ini adalah di mana orang bersentuhan langsung dengan realitas. Orang dapat merasakan ruang, permukaan massa dan benda-benda alam pantai serta “spirit” tempat dengan segenap indera yang dimiliki.<br />
<br />
Bagaimana pun, Pura Batu Bolong yang terletak di Lombok ini memiliki makna tradisi yang berkaitan dengan kehidupan budaya masyarakat Hindu di Lombok yang “diwariskan” oleh budaya Bali. Selain secara historis-geografis punya kedekatan, masyarakat umat Hindu setempat tetap masih kuat melekatkan makna tradisi didalamnya. Secara prinsip punya kemiripan dengan makna tradisi yang ada Bali. Hal ini terlihat dari jenis-jenis pelinggih yang dibangun di pura itu.<br />
<br />
Dengan tetap berpijak pada desa-kala-patra dan aspek ekologisnya, tentu ada bagian bagian yang mengalami penyesuaian atau transformasi. Bentuk pintu gerbang yang tidak terlalu besar dan tinggi, panggunaan bahan yang diperoleh dari lingkungan atau alam setempat, bentuk pepalihan yang dikembangkan serta penempatan dari jenis patung yang ada, boleh dikata menunjukkan hal ituPenyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-29210033828345272282010-06-16T22:08:00.000-07:002010-06-22T07:00:26.397-07:00Pura Gunung Kawi<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCDB5nDgNvI/AAAAAAAAAC8/wEEtl4JKvCs/s1600/Pura+Gunung+Kawi.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="268" src="http://1.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCDB5nDgNvI/AAAAAAAAAC8/wEEtl4JKvCs/s400/Pura+Gunung+Kawi.jpg" width="400" /></a></div><b style="color: red;">Pura Gunung Kawi. </b>Hanya beberapa kilometer dari kawasan wisata Istana Negara Tampak Siring dan <a href="http://e-kuta.com/blog/index.php/2008/03/30/pura-tirta-empul/" target="_blank" title="Pura Tirta Empul">Pura Tirta Empul</a>, kita akan melanjutkan jalan-jalan sekaligus photo-photo di objek wisata penuh nilai historis dan spiritual, Pura Gunung Kawi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div></div><div style="text-align: justify;">Dari artikulasi dapat diuraikan menjadi 2 (dua), yaitu gunung yang berarti tempat yang tinggi, bukit atau tebing dan Kawi berarti kekawin atau sesuatu yang dibuat . Jadi pura Gunung Kawi adalah pura yang dibangun di tebing di sebelah barat sebuah pegunungan dimana pegunungan itu sekarang dikenal dengan nama desa Sebatu. Sebatu berasal dari urat kata Sauh berati terpeleset dan Batu berarti batu atau bebatuan. Konon pada jaman pemerintahan raja Mayadenawa yang sangat bengis dan tidak percaya adanya Tuhan, daerah ini merupakan lintasan pelarian Raja Mayadenawa dengan para pengikutnya menuju desa Taro, setelah terdesak dalam peperangan melawan para dewata yang mengejarnya, begitu pula ketakutan para penduduk asli kepada pengikut raja Mayadenawa, sehingga semuanya lari tunggang langgang dan terpeleset diantara bebatuan pegunungan (Sauh di batu). Sadar akan penduduk asli yang tidak berdosa dalam bahaya, maka dewa Wisnu memberikan sumber kehidupan bagi penduduk yang tidak berdosa dalam wujud air suci. Sebagai ucapan rasa syukur penduduk, maka ditempat ini dibangun pura tempat pemujaan dewa Wisnu yang dikenal dengan nama Pura Gunung Kawi yang dilengkapi dengan pancuran-pancuran beraneka ragam fungsi seperti untuk air suci, mandi dan lain-lain.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-53018456614087228472010-06-16T22:05:00.000-07:002010-06-22T07:05:16.811-07:00Pura Gunung Payung - Kuta<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCDDC4hyYCI/AAAAAAAAADE/3kfRSrkeMO8/s1600/Pura+Gunung+Payung.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://4.bp.blogspot.com/_hDHarK3x3eo/TCDDC4hyYCI/AAAAAAAAADE/3kfRSrkeMO8/s200/Pura+Gunung+Payung.jpg" width="200" /></a></div><b style="color: red;">Pura Gunung Payung </b>Pada zaman dahulu perjalanan suci seorang pandita ke tengah-tengah umat untuk melakukan swadharma-nya sebagai orang suci. Salah satu swadharrna pandita adalah melakukan perjalanan untuk menyebarkan pendidikan kerohanian kepada umat. Dalam Sarasamuscaya 40 dinyatakan: panadahari upadesa. Artinya menyebarkan pendidikan kerohanian. Karena hakikat hidup adalah rohani sebagai pengendali kehidupan jasmani. Seperti dinyatakan dalam Katha Upanishad bahwa badan jasmani jul diumpamakan sebagai badannya kereta, indria diumpamakan bagaikan kuda kereta.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div></div><div style="text-align: justify;">Pikiran bagaikan tali kekang kereta, kesadaran Budhi bagaikan kusir kereta. Sedangkan Atman diumpamakan bagaikan pemilik kereta. Tm artinya yang menentukan ke mana gerak kereta diarahkan adalah atas kehendak pemilik kereta. Selanjutnya kusir kereta dengan tali kekangnya yang mengarahkan Indria dan badan kereta. Pikiran Budhi dan Atman adalah unsur-unsur rohani dan pada manusia. Unsur-unsur roham inilah yang wajib dikuatkan eksistensinya dengan berguru pada pandita. Karena itu pandita disebut Adi Guru Loka. Artinya guru yang utama atau guru yang terkemuka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Sebagai Adi Guru Loka pandita itu tidaklah mereka yang hanya diupacarai sebagai pandita dan berbusana pandita melalui proses diksa. Mereka yang dinyatakan sebagai pandita hendaknya mereka yang sudah memiliki ciri-ciri seperti yang dinyatakan dalam Kekawin Nitisastra 1.6 yang seperti kutipan di atas. Umat yang terpanggil untuk menjadi pandita seyogianya melalui proses pendidikan dan latihan keagamaan Hindu yang ketat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Pendidikan dan latihan itu dapat dilakukan dalam bentuk pendidikan dan latihan yang bersifat tradisional maupun dalam bentuk pendidikan modern. Setelah adanya berbagai kemajuan di mana telah dapat diwujudkan sifat dan sikap hidup seperti apa yang dinyatakan dalam Nitisastra 1.6 tersebut barulah upacara diksa dan busana pandita dikenakan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian empat fungsi pandita seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 40 akan lebih mudah dilakukan. Empat fungsi panthta tersebut adalah Sang Satyawadi artinya beliau yang senantiasa berbicara berdasarkan kebenaran Veda. Sang Apta artinya beliau yang dapat dipercaya oleh umat. Sang Patirthan artinya beliau yang dijadikan tempat mohon penyucian din oleh umat dan sang Panadahan Upadesa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Nampaknya Danghyang Dwijendra Sebagai pandita telah mengamalkan petunjuk-petunjuk sastra agama Hindu tersebut sehingga beliau disebutkan Pedanda Sakti Wawu Rauh. Kata Sakti menurut Wrehaspati Tattwa 14 adalah memiliki banyak ilmu dan banyak kerja berdasarkan ilmu tersebut. Tidaklah seperti pemahamanku di mana sakti itu dipahami mereka yang memiliki magic power yang berkonotasi negatif. Ilmu yang dimiliki itu adalah ilmu yang disebut Para Widya dan Apara Widya. Para Widya itu adalah ilmu tentang kerohanian. Sedangkan Apara Widya adalah ilmu tentang keberadaan dan pengelola dunia jul dengan baik dan benar. Dna ilmu itulah yang dibutuhkan oleh kehidupan umat manusia di dunia ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Demikianlah per)alanan suci Danghyang Dwijendra di Bali mendatangi umat dan memberikan kesejukan pada umat. Saat beliau datang di daerah Kuta Selatan untuk niengakhiri keberadaan beiau di dunia sekala menuju dunia niskala beliau sempat datang ke Desa Kutuh di Kuta Selatan di suatu bukit dekat pantai selatan Bali. Di tempat itu beliau menjadi sang Patirthan artinya beliau memberi prayascita atau penyucian pada umat yang datang memohon penyucian diri pada sang Pandita. Di samping itu beliau juga melakukan pena4ahan Upadesa, artinya memberi pendidikan kerokhanian kepada umat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Karena kesaktian beliau itu tangkai payung yang beliau tancapkan di tanah perbukitan yang kering itu dapat menimbulkan sumur dengan air yang tiada pernah kering sampai saat ini. Di tempat inilah umat mendirikan pura yang kini disebut Pura Gunung Payung. Itu artinya di pura un atas kedatangan Danghyang Dwijendra terdapat vibrasi kesucian yang wajib dipelihara oleh generasi selanjutnya. Danghyang Dwijendra thyakini mencapai dunia niskala dengan moksha di Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu yang tidak jauh dan Pura Gunung Payung. Pura Luhur Uluwatu adalah satu dan Pura Kahyangan Jagat sebagai pemujaan Tuhan dalam manivestasinya sebagai Dewa Rudra. Pura Luhur Uluwatu didirikan atas anjuran Mpu Kuturan pada abad ke-II Masehi. Pendirian Pura Luhur Uluwatu dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa dengan landasan konsepsi Sad Winayaka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Pura Luhur Uluwatu mi memiliki banyak pura prasanak atau pura jajar kemiri. Tm artinya di areal perbukitan Kuta Selatan ini sejak zaman dahulu sudah terpatri vibrasi kesucian yang dipelihara dengan adanya banyak Pura Prasanak dari Pura Luhur Uluwatu. Di antaranya adalah Pura Gunung Payung jul. Karena itu sebagai generasi penerus seyogianya dalam menata kawasan di areal Pura Luhur Uluwatu termasuk di areal Pura Gunung Payung seyogianya memperhatikan nilai-nilai spiritual yang sudah terbukti memberikan vibrasi kesucian pada areal tersebut bersinergi dengan areal suci lainnya di seluruh Bali</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Untuk memelihara vibrasi kesucian dikawasan bukit Kuta Selatan ini semua pihak hendaknya bertimbang cermat dan seimbang dengan konsep Tri Semaya. Konsep Tri Semaya itu adalah Atita, Nagata dan Wartamana. Apapun yang dilakukan saat ini (Wartamana) hendaknya terlebih dahulu menelaah dengan cermat di masa lalu (Atita) dan dengan berpikir panjang apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian kita tidak meninggalkan begitu saja nilai-nilai luhur di masa lalu yang susah payah dikerjakan oleh para pendahulu kita. Demikian juga hendaknya kita berusaha melihat ke depan agar jangan sampai kita meninggalkan persoalan-persoalan yang membuat generasi mendatang penuh beban derita karena kesalahan kita saat ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Dengan konsep Atita, Nagata dan Wartamana inilah kita akan bisa hidup Sejahtera dengan berkelanjutan dan generasi ke generasi selanjutnya sepanjang masa.<br />
<br />
</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-35301634862377669422010-06-16T22:01:00.000-07:002010-06-16T22:01:19.793-07:00Pura Tugu - Gianyar<div style="text-align: justify;"><b style="color: red;">Pura Tugu</b> yang berdiri di Desa Tegal Tugu, Keeamatan Gianyar adalah pura yang tergolong pura tua. Kapan persisnya pura itu dibangun belum ada kepastian sejarah. Yang jelas pura tersebut adalah Untuk memohon kesejahteraan di bhur loka, terutama samudera dan kesejahteraan pertanian. Hal ini dibuktikan dengan adanya pelinggih untuk Ida Batara di Segara dan Ida Batara di Ulun Suwi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div> </div><div style="text-align: justify;">Hal itu pula mengingatkan pada adanya Samudra Kerti dan Danu Kerti sebagai unsur Sad Kerti. Pura Tugu pada awalnya untuk memuja Tuhan agar ada kemakmuran ekonomi pertanian melalui pemujaan Tuhan di Pelinggih Batara Segara dan di Pelinggih Batara Ulun Suwi. Pura Segara adalah pura yang konon sudah ada sebelum Mpu Kuturan mendampingi raja menata Bali. Tri Kahyangan Bali sebelumnya ada Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman adalah Pura Segara, Pura Penataran dan Pura Pucak.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Tiga Kahyangan itu sebagai sarana untuk memuja Tuhan yang berada di Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Setelah Mpu Kuturan di Bali barulah ada pendirian Pura Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman atas anjuran Mpu Kuturan. Pura ini tergolong pura yang pernah dikunjungi oleh Dang Hyang Dwijendra ketika beliau bertirthayatra di Bali. Sayang saat beliau berkunjung ke Desa Tegal Tugu, pemangku pura mewajibkan beliau menyembah tanpa sopan santun penghormatan pada tamu yang datang. Apa lagi yang datang itu adalah orang suci dan sakti.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Karena pemangku pura mewajibkan Dang Hyang Dwijendra menyembah di pura tersebut, maka beliau pun bersedia melakukan hal itu. Menyembah di pura tersebut pun dilakukan oleh Dang Hyang Dwijendra. Hal itu dilakukan semata-mata untuk mematuhi perintah pemangku. Bukan karena atas kehendak Dang Hyang Dwijendra. Hal itulah yang menyebabkan pelinggih di Pura Tugu itu akhirnya hancur karena Dang Hyang Dwijendra menyembah di pura tersebut tidak atas dorongan hati beliau.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Sesungguhnya dalam etika Hindu tidak tepat melakukan pemujaan di suatu pura manapun atas pemaksaan atau rayuan dari pihak lain. Lebih-lebih Dang Hyang Dwijendra adalah seorang pandita dwijati. Beliaulah yang sesungguhnya menentukan pemujaan tersebut bagaimana seyogianya dilakukan. Dang Hyang Dwijendra sudah mencapai berbagai persyaratan seorang pandita dan beliau sudah diyakini sebagai pandita sakti.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Mengapa Dang Hyang Dwijendra disebut pandita sakti, karena beliau memiliki banyak ilmu pengetahuan dan banyak pengalaman dalam mengamalkan ilmu yang dimiliki itu. Sakti menurut Wrehaspati Tattwa adalah mereka yang memiliki banyak ilmu dan banyak kerja berdasarkan ilmu yang dimiliki itu. Sebagai orang yang sakti dan suci, Dang Hyang Dwijendra tentunya tidak mudah terpancing oleh sikap yang arogan dan mana pun datangnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Beliau sudah tangguh (dira) dan sudah mampu mengatasi suka dan duka. Dipuji, disanjung maupun dihina bagi beliau diterima secara seimbang. Karena ciri seorang brahmana adalah memiliki sifat-sifat sama, dharma, papa, sauca, ksanti, arjawa, jnyanam, wijnyanam, dan astikyam sebagaimana dinyatakan dalam Sloka Bhagawad Gita yang dikutif di atas.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Sama artinya seimbang. Dalam Bhagawad Gita 11.15 ada dinyatakan sama duhka, sukha diram, artinya seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Orang yang tidak terganggu oleh keadaan senang dan menderita akan mencapai kehidupan yang kekal abadi. Dang Hyang Dwijendra nampaknya sudah berada dalam keadaan seperti itu. Dengan demikian beliau tidak menolak ketika disuruh menyembah di Pura Tugu tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dhama adalah orang yang mampu menasehati dirinya sendiri. Dalam Sarasamuscaya 57 dinyatakan: dama ngarania upasarna dening tuturnia. Artinya tenang dan sabar tahu menasehati dirinya sendiri. Tapa adalah orang yang tahan akan dinamika panasnya kehidupan ini. Dalam Sarasamuscaya 57 dinyatakan: tapa ngaranya carira sang cosana adalah mampu mengendalikan jasmaninya. Sauca adalah suci lahir dan batin. Ksanti selalu dalam keadaan tenang dan damai.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Arjawa adalah orang yang sangat jujur dalam Sarasamuscaya 63 ada dinyatakan sbb: arjawa, si duga-duga bener. Artinya orang yang benar-benar jujur. Knyanam adalah memiliki ilmu pengetahuan. Wijnyanam adalah bijaksana karena telah memiliki banyak menguasai ilmu pengetahuan. Astikyam sangat paham dan percaya pada ajaran suci Weda.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Demikianlah sembilan syarat yang dikemukakan oleh Bhagawad Gita XVIII.42 untuk menentukan untuk bisa disebut seorang brahmana. DangHyangDwijendra sepertinya sudah memenuhi sembilan syarat yang dinyatakan dalam Sloka Bhagawad Gita tersebut. Karena di Pura Tugu di Desa Tegal Tugu itu Dang Hyang Dwijendra di.stanakan thpelinggih yang berbentuk Candi diapit oleh Pelinggih Segara dan Pelinggih Ulun Suwi. Istilah candi umumnya digunakan sebagai bangunan suci di Pulau Jawa. Di Bali candi itu disebut Tugu. Karena itu pura tersebut Pura Tugu, maksudnya Pura Candi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> Pura Tugu itu sudah menjadi tempat pemujaan umum, dan semua kalangan dan seluruh Bali, terutama dan pratisentana Dang Hyang Dwijendra. Pemujaan tersebut hendaknya dilakukan untuk dapat menyerap nilai-nilai kebrahmanaan untuk dijadikan landasan moral dan mental dalam menapaki kehidupan ini. Lebih-lebih pada zaman post modern ini semakin dibutuhkan kekuatan moral dan mental sebagai dasar untuk menapaki kehidupan ini. Memperhatikan keberadaan pelinggih di Pura Tugu ini adalah untuk memuja Tuhan untuk membangun sifat-sifat kebrahmanaan untuk memelihara alam dan kehidupan bersama yang dinamis harmonis dan produktif untuk mengembangkan kehidupan yang sejahtera lahir batin.</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-12502441451948375052010-06-16T21:57:00.000-07:002010-06-16T21:57:58.867-07:00Pura Barong Barongan<div style="text-align: justify;"><b style="color: red;">Pura Barong-Barongan</b>. Unik memang, tetapi beginilah adanya. Pura Barong-Barongan merupakan salah satu jejak perjalanan DangHyang Nirartha yang berada di wilayah Badung Selatan, tepatnya di atas bukit Ungasan. Mengapa Pura ini disebut dengan Pura Barong-Barongan? SUARA angin menderu ditepi pantai menggambarkan betapa tenangnya suasana disekitar Pura Barong-Barongan ini. Perubahan cuaca yang begitu drastis dikawasan bukit ini memang membuat suasana menjadi lain di sekitar pura.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div> </div><div style="text-align: justify;"><b style="color: red;">Dimana letak Pura ini?</b><br />
Kalau kita berjalan menuju Banjar Sawangan, Desa Adat Peminge, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Tepatnya di Selatan areal Hotel Nikko Bali, atau keselatan dari hotel tersebut kita bakal menjumpai jalan kapur menuju pantai. Diareal inilah lokasi pura yang mempunyai sejarah panjang di Bali, dan tidak mungkin dilupakan oleh umat Hindu di daerah ini. Sebenarnya dulu, katanya sebuah sumber kepada MBA yang sempat metirtayatra ke pura ini. Pura Barong-Barongan bernama Pura Dalem Karang Boma. Mengapa diberikan nama Pura Dalem Karang Boma? Konon menurut lontar Dwijendra Tattwa, pura tersebut merupakan salah satu bagian dari napak tilas Danghyang Dwijendra di Bali. Ketika tiba di lokasi perbukitan yang menjorok ke laut, Danghyang Dwijendra kemudian menganugrahkan pasupati kepada anak didiknya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Lantaran lokasi tersebut merupakan tempat memberikan pasupati, banyak sekali keajaiban yang dimiliki tempat itu. Sehingga mulailah terbangun sebuah pura. Pura tersebut awalnya bernama Pura Dalem Karang Mua. Karena pasupatinya itu bisa diistilahkan dengan segala sesuatu yang bermuka seram. Sehingga pura tersebut dikatakan sebagai Pura Karang Mua. Lama kelamaan pura ini akhirnya berubah nama menjadi Karang Boma. Selain itu ada beberapa hal yang mengakibatkan pura ini disebut Pura Barong-Barongan.<br />
Yang memberikan nama Pura Barong-Barongan adalah para nelayan. Ceritera yang berkembang di masyarakat adalah ketika para nelayan berangkat menangkap ikan di laut, mereka melihat bahwa daratan yang menjorok ke laut dilihatnya menyerupai barong. Untuk itu nelayan akhirnya menandai tempat itu agar tidak tersesat dilaut. Batas daratan itulah yang dipakai tandanya. Saat itulah sebagian besar nelayan melihat bahwa ada pura yang dipakai tanda ketika turun kelaut. Dan karena pura tersebut bentuknya seperti barong, maka diberilah nama Barong-Barongan. Sederhana sekali.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pura Barong-Barongan terdiri atas dua palebahan yaitu jaba sisi dan jaba tengah. Pura ini disungsung oleh berbagai komponen masyarakat. Selain itu ada beberapa tempat yang memohon pasupati ketapaknya masing-masing di pura Barong-Barongan. Misalnya Tapakan Barong dari Krama Sesetan Banjar Lantang Bejuh, Suci- Badung, Sidakarya, Pedungan, Bualu, Pagan, Kelandis dan sebagainya.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Yang mamedek di Pura ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu sebagai Pengemong, Pengempon dan Pemaksan. Sebagai pengemongnya adalah keluarga Jro Mangku Regig. Sementara iru sebagai pengemponnya adalah Pasek Gaduh, Pasek Kebayan serta Pasek Gelgel dan Pasek Denpasar. Sedangkan yang terakhir Pemaksan. Pemaksan ini adalah sejenis sekaa yang mempunyai tugas yang sama juga dengan yang lainnya, yakni menyelenggarakan upacara yadnya. Jumlah pemaksan di Pura Barong-Barongan tersebut adalah empat puluh empat orang. Piodalan Pura Barong-Barongan ini adalah pada Tumpek Landep. Bersamaan dengan piodalan pusaka. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="color: red; text-align: justify;"><b>DIJAGA MONYET DAN KERIS EMAS LUK TELU</b></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">SEORANG krama Kecos yang berprofesi sebagai nelayan, saat ditemui MBA mengungkapkan Pura Barong-Barongan ini sangat angker. Dahulu, ketika Kecos masih senang ke laut, tiap malam hari banyak sekali krama nelayan kawehan. Ia melihat seolah-olah ada barong yang begitu saja muncul di Pura, melesat keatas dan menari-nari. Karena kejadian itu sering terjadi, akhirnya masyarakat nelayan setempat menyebut pura ini dengan nama Pura Barong-Barongan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Kemudian bagi peminat spiritual, keanehan apapun yang terjadi di pura ini berasal dari kekuatan magis. Melihat situasi sekelilingnya, maka ada beberapa getaran yang mengakibatkan getaran wilayah tersebut menjadi sangat kuat. Selain berada ditepi tebing, Pura ini memang mempunyai daya tarik tersendiri. Sayangnya jalan menuju lokasi Pura ini kondisinya sangat memprihatinkan, padahal disebelahnya terdapat hotel berbintang yakni Hotel Nikko. Ketika tiba di lokasi Pura ternyata MBA merasakan getaran gaib yang luar biasa. Pada saat ditanyakan kepada Jro Mangku, ternyata getaran gaib itu berasal dari hasil pasupati yang sering dilihat oleh peminat spiritual seperti Keris Emas yang mempunyai luk tiga.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">“Memang wilayah ini dulunya sangat angker. Akan tetapi saat ini keangkerannya itu hanya bisa dirasakan oleh orang tertentu saja. Hal itu diakibatkan kepercayaan masing- masing,” katanya. Suatu ketika ada beberapa orang penganut spiritual melakukan semadi di Pura ini. Pada saat semadi tubuhnya bergetar ia bisa melihat bahwa ada pusaka emas di depan matanya. Dengan penuh rasa bakti orang yang melakukan semadi tersebut langsung memohon keselamatan serta tidak akan melakukan hal yang negatif. Selain itu ada juga hewan yang sering menunggui areal Pura seperti kera. Kera tersebut memang sangat banyak disekliling pura. Akan tetapi tidak berani untuk mengganggu segala sesuatu yang ada disekitar pura. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="color: red; text-align: justify;"><b>TEMPAT PASUPATI PUSAKA DAN NUNAS PAICA</b></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">MUNGKIN hanya sebagian kecil krama yang mengetahui fungsi Pura tersebut. Menurut Jro Mangku Regig fungsi Pura Barong-Barongan itu sudah jelas adalah untuk nunas pasupati. “Ida Bhatara di Pura Barong-Barongan ini sangat sueca. Apapun yang diminta masyarakat sebagian besar diberikan. Ida Bhatara yang melinggih di Pura Barong-Barongan ini adalah sebagai pengelingsir Ida Bhatara Ratu Ayu Manik Maketel. Sedangkan yang bertugas menjadi bendesa serta menguasai wilayah sekitarnya adalah Ida Bhatara di tempat ini adalah seorang wanita berpakaian putih. Karena telah putus (suci) maka segala sesuatu yang dibawanya itu selalu berkenaan dengan unsur kesucian.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dengan rambutnya yang panjang, Ida Bhatara selalu memberikan peanugrahan kepada krama yang memerlukan. Seperti yang dikatakan di atas, Pura ini juga mempunyai fungsi untuk nunas paica sebagai balian. Sudah banyak krama yang ada di luar maupun sekitar tempat Pura berada nunas. Semua pinunas memang terkabul. Baik memohon agar bisa ngiwa, nengen (kanan) ataupun yang lainnya. jadi intinya adalah apabila ingin memohon keselamatan yang berkenaan dengan pasupati, baik nunas agar bisa ngiwa, agar bisa mengobati maupun yang lainnya, bisa memohon di pura ini. Sampai saat ini sudah banyak sekali balian yang sukses serta permohonannya dikabulkan. Pada saat piodalan berlangsung banyak sekali tapakan barong yang datang untuk menghadiri piodalan tersebut. </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><br />
<b style="color: red;"> NGIRING PEKAYUNAN (Jro Mangku Regig)</b></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">SEIRING dengan tugasnya sebagai pemangku di Pura Dalam Karang Boma (Pura Barong-Barongan), Jro Mangku mempunyai kiat tersendiri. Bagi pemangku yang mempunyai penampilan kalem dan tenang ini merasa bersyukur karena sampai saat ini ia sekeluarga selalu diberikan kebahagiaan.<br />
“Tiang bersyukur karena apa yang menjadi harapan keluarga tetap terpenuhi.” katanya. Disisi lain meskipun banyak sekali hambatan yang ditemuinya, ia mengatakan dirinya berusaha semaksimal mungkin untuk ngiring pekayunan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Jro Mangku yang telah mengabdi selama 5 tahun ini telah merasakan berbagai hal yang berkenaan dengan tugasnya sebagai pemangku. “sampai saat ini saya belum menemui hambatan berarti. Karena apapun yang tiang lakukan adalah pengabdian sebagai manusia,” akunya. Ketika ditanya ia mengaku teringat kembali pada masa upacara padudusan tahun 1994, dimana saat itu untuk pertama kalinya dia diangkat sebagai pemangku. “Keluarga tiang memang keturunan mangku di pura ini. Akan tetapi kesan yang mendalam memang tiang dapatkan ketika diangkat menjadi pemangku,” katanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> Ia merasakan bahwa ketika diangkat menjadi pemangku ada beberapa penyesuaian yang harus dilakukannya. Penyesuaian tersebut baginya memang gampang-gampang susah. Pemangku yang berasal dari Banjar Sawangan ini sangat tabah dan tekun melakukan aktivitas tapa brata dan semadi. Akhirnya dengan usaha yang dilakukannya dengan tekun, iapun berhasil menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Sampai saat ini Jro Mangku merasa aktivitas kesehariannya tidak terganggu oleh tugasnya sebagai pemangku. Selain mendapat cobaan yang berat dalam menyesuaikan diri, ia juga merasa bangga karena senantiasa bisa mendekatkan diri dengan Ida Bhatara. “Yang paling pokok adalah bagaimana tiang bisa membantu umat dalam menyampaikan keinginannya di pura itu,” katanya. Disisi lain, Jro Mangku juga merasa berkewajiban untuk membantu masyarakat yang menemui kesulitan yang berarti bagi kehidupannya</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-33883460993214103202010-06-16T21:47:00.000-07:002010-06-16T21:47:48.924-07:00<div style="text-align: justify;"><b style="color: red;">PURA PULAKI </b>ini berdekatan dengan Pura Dalem Melanting yakni pantai utara Pulau Bali, termasuk Desa Banyupoh, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng. Pura atau Khayangan ini disamping sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam perwujudannya (manifestasi)-Nya. Pura ini juga sebagai tempat memuliakan dan memuja arwah suci dari Sri Patni Kaniten- salah seorang istri dari Danghyang Nirartha yang diberi gelar “Bhatari Dalem Ketut”. Pembangunan Pura Pulaki ini ada kaitannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha seperti halnya Pura Dalem Melanting. Di dalam Dwijendra Tattwa mengenai asal mula berdirinya pura atau khyangan pulaki disebutkan: Pada waktu itu istri Danghyang Nirartha Sri Patni Kaniten yang berasal dari Blambangan bergelar Mpu Istri Ktut dalam keadaan payah menyembah Danghyang Nirartha dan berkata, “Mpu Danghyang, dinda tidak kuasa lagi melanjutkan perjalanan dan rasanya ajal hamba sudah tiba, karena itu ijinkanlah dinda sampai disini saja mengiringi Mpu Danghyang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div> </div><div style="text-align: justify;">Dengan hormat serta kerenahan hati yang tulus iklas dinda mohon agar diberikan ajaran ilmu gaib sebagaimana yang sudah diberikan kepada anakda Ni Ayu Swabhawa, agar adinda dapat terlepas dari segala dosa dan kembali menjadi Dewa,” demikian permohonan Mpu Isteri Ktut. Danghyang Nirartha lalu menjawab, “baiklah kalau demikian, dinda diam disini saja bersama-sama dengan puteri kita Ni Ayu Swabhawa, ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting, dan adinda boleh menjadi “Bhatari Dalem Ktut” yang akan menjadi junjungan dan disembah orang-orang desa disini. Desa bersama orang-orang yang ada disini akan kanda “Pralina” (hanguskan), sehingga tidak dapat lagi dilihat oleh manusia biasa dan semua orang-orangnya menjadi orang halus (wong gamang) namanya orang “Sumedang”, sedang daerah desa ini kemudian bernama “Mpu Laki”, demikian kata Danghyang Nirartha.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Setelah itu menggaiblah Mpu Isteri Ktut dan tidak dapat dilihat manusia lagi, dan kemudian Danghyang Nirartha bersama putra-putrinya meneruskan perjalanannya dengan tujuan Gelgel untuk bertemu dengan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang bertahta dan memerintah di Bali. Dalam perjalanannya ini Danghyang Nirartha pertama tiba di Desa Gadingwani, dan oleh orang desa Gadingwani Danghyang Nirartha dimohon agar berkenan untuk sementara waktu tinggal di desa Gadingwani untuk mohon pengobatan, berhubung desa Gadingwani sedang diserang wabah penyakit sehingga banyak rang-orang desa menderita sakit, dan malahan tidak sedikit sudah menemui ajal sebagai korban penyakit yang sedang berkecamuk itu..dan seterusnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Begitulah di tempat moksa (menggaibnya) Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut itu kemudian dibangun sebuah bangunan suci (Pura atau Khayangan) yang diberi nama Pura Pulaki sebagai tempat memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa. Selain itu disini dimuliakan yaitu Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut. *patra dari berbagai sumber</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><b>JAGA KESUCIAN PURA</b></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">PURA Pulaki terletak di Desa Banyupoh, Kecamatan Grokgak, Buleleng. Penyungsung pura atau pengemponnya terdiri atas desa-desa yang ada di Grokgak dan Seririt. Dari kedua Kecamatan ini ada 42 Desa adat atau Subak sebagai pengempon utamanya. Pura Pulaki yang pujawalinya jatuh pada Purnama Kapat ini tetap harus dijaga kesuciannya. Pasalnya di Pura ini ada tempat yang disebut dengan Utamaning Mandala yang sama sekali tidak boleh dinaiki oleh orang sembarangan, mengingat tempat ini boleh dibilang teramat disucikan. Jangan krama pamedek yang boleh kesana (pelinggih utama-red) tiang sebagai pemangku saja tidak dibolehkan menginjak tempat itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dan ini harus ada sejenis upacara tertentu untuk bisa ke pelinggih utama itu. Di pelinggih bawah ada dua pelinggih sebagai penyawangnya. Dari sanalah umat ngaturang bhakti dan menghaturkan sarana upakara, ucap Jro Mangku Mas. Dikatakan karena sangat disucikan pelinggih utama itu, maka harus bebas dari cakar atau “injakan kaki”, ini semata-mata untuk menjaga kesucian pura. Jro Mangku pun kurang tahu sejarah persisnya mengapa tidak boleh naik keatas.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Tapi kalau ada upacara besar seperti “ngeteg linggih” di pura baru dibolehkan naik ke atas yakni ke pelinggih utama itu, katanya. Disamping ada persyaratan tidak boleh munggah keatas, terutama utama mandala, juga pamedek disarankan sangat hati-hati dengan kera atau monyet yang berkeliaran disana. Bojog ini sangat nakalnya, sehingga setiap krama pamedek yang kurang hati-hati jangan harap tasnya atau sandalnya dan sarana upakaranya bisa selamat. Setiap bawaan tidak boleh lengah membawanya, karena setiap saat kera ini siap menyambar bawaan pamedek. Ditanya mengapa kera ini sangat licik dan menyambar bawaan pamedek? Dengan enteng Jro Mangku mengatakan, cuma karena lapar saja, karena tidak ada yang mengurusnya. Tapi Jro Mangku hanya bisa menyarankan saja, setiap bawaan dijaga dengan waspada. Karena upakara yang masih suklapun akan siap disambar oleh monyet yang nakal itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Kadang-kadang Monyet itu sempat melawan bila kita mau menghalaunya. Banyak pamedek yang takut oleh ulah monyet ini, katanya menambahkan. Sampai saat ini belum diketahui mengapa bojog yang berada didaerah ini begitu beringas terhadap manusia, padahal dulu tidak begitu, jelas I Wayan Natha salah seorang krama di Pura Pulaki. Banyak yang memperkirakan kebringasan bojog ini terhadap manusia, tidak tertutup kemungkinan karena semakin berkurangnya makanan yang ada disekitarnya. Dulu, bojog-bojog itu mencari makanan di hutan disekitar tempat itu, sekarang hutannya sudah tidak ada. Otomatis bojog hanya mengandalkan makanan yang diberikan pamedek dan umat yang kebetulan sembahyang ke pura. Tetapi semua ini masih tetap dalam perkiraan sementara. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><b>NGAYAH, KASISIPAN IDA BHATARA</b></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">NGAYAH disuatu tempat atau pura, tidak sembarang orang dapat melakukannya. Dalam perjalanan hidup seseorang sering ada pekerjaan yang disebut dengan ngayah. Ngayah berarti melakukan pekerjaan “tanpa mengharapkan hasil”, Dan semuanya harus berdasarkan ketulus iklasan. Begitu juga dialami Jro Mangku Mas, krama asal Brengbeng, Celukan Bawang ini, ketika dihubungi MBA di Pura Pulaki. Dalam hatinya sama sekali tidak terpikirkan untuk ngayah disebuah pura walaupun secara garis keturunan memang sentana pemangku, ujarnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Tapi karena tiang tahu yang namanya ngayah pekerjaan berat, paparnya lagi. Tak diduga toh takdir sulit tiang tolak, pasalnya ada sebuah “perintah” yang mengharuskan mau sebagai pengayah. Dalam usia yang telah menginjak 45 tahun Jro Mangku Mas memang masih tampak muda dan penuh semangat. Kegiatan ngayahnya diawali dengan sebuah peristiwa yang terjadi di tahun 1995. Saat itu, katanya mengenang masa lalunya, tiba-tiba rasanya ada sakit yang tidak beres dihati. Sebagai krama Bali tiang yakin sebuah penderitaan yang namanya sakit pasti bisa disembuhkan. Apalagi sakitnya tidak begitu kronis, celotehnya. Berbagai cara sudah tiang upayakan misalnya berobat ke berbagai dokter, semuanya ini tidak menyelesaikan masalah. Payah berobat melalui medis, tiang alihkan saja keberbagai balian. Tapi usaha balian juga tidak ada perubahan. Sakit semakin membandel saja, seolah-olah tidak mau pergi dari badannya. Sehingga tiang menjadi bingung dan ragu. Lebih ragu lagi mau kemana dibawa sakit yang membandel ini. Berdasarkan berbagai mimpi yang telah dialaminya, lantas diputuskannya membawa diri ke seorang dukun yang mumpuni yang berada jauh di Nusa. Oh Tuhan, ternyata jodoh terkuaknya sebuah sakit misterius ini ada pada dukun atau balian dari Nusa tanpa disebutkan namanya. Dari balian ini tiang diharapkan memakai sarana asep (dupa) sebagai terapinya, pasalnya sakit yang dibawa Jro Mangku Mas ini bukanlah penyakit yang mudah disembuhkan. Karena penyakit ini adalah sisipan dari Ida Bhatara tempat leluhurnya ngayah. Balian dari Nusa ini menyarankan, Jro Mangku Mas ngamel dengan sebuah dupa. Dupa itu diletakkan ditempat tidurnya. karena dupa itu sebagai terapi sebagai kesembuhan dirinya, ucap Sang Balian seperti ditirukan Jro Mangku Mas. Akhirnya tanpa diduga, penyakitnya berangsur-angsur hilang. Betapa senangnya hati Jro Mangku Mas saat itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Begitu sembuh tahun 1995 dirinya disarankan Balian dari Nusa itu untuk ngayah. Dan jadilah dia Pemangku di Pura Sad Khayangan Pulaki yang merupakan sungsungan Jagat Bali di Bali, sejak saat itu Jro Mangku Mas mulai melaksanakan tugas-tugas kepemangkuan, apakah mabersih-bersih ataukah melayani umat yang bakal pedek tangkil ke pura. Pekerjaan ini dilakukannya dengan tulus iklas, tanpa pamerih.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><b>JRO MANGKU MAS: TIDAK PUNYA OBSESI</b></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">DITANYA Obsesinya ngayah sebagai Juru Sapuh dengan jujur Jro Mangku Mas mengungkapkan. Sebenarnya ngayah itu adalah sebuah profesi, kalau sudah menyangkut profesi, otomatis pekerjaan yang dilakukan harus berdasarkan kesenangan hati, tanpa berfikir banyak untung ruginya. Begitu juga dengan tugas tiang sebagai seorang pemangku, katanya sambil tersenyum bangga. Bagaimana sebagai pemangku ini merupakan profesi yang sangat membanggakan. Soalnya ini semua amanat yang diberikan Tuhan kepada kita.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Kembali ke soal untung rugi sebagai seorang pemangku, Jro Mangku Mas menjelaskan, kalau sudah ngayah di tempat suci seperti pura kita tidak boleh terlalu berharap, karena masalah pamerih atau hasil seluruhnya tergantung dari Sang Pencipta. Yang jelas, sebagai Pemangku cuma satu yang tiang minta, “Mogi-mogi Hyang Pramakawi asung suweca ring padewekan tiang keluarga, umat Hindu dan umat manusia yang ada di Mercapada. Inilah yang tiang harapkan. Harta ini tidak dapat diukur dengan uang seberapapun jumlahnya. uang bukan jaminan untuk membahagiakan umat manusia. kalau kita sudah mendapat keselamatan apapun yang akan dicari kemungkinan akan tercapai.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> Tinggal kita berusaha menunggu hasilnya sesuai dengan karma kita masing-masing, tukas Jro Mangku dengan penuh harapan. Harapan untuk hidup selamat adalah dambaan umat manusia tanpa terkecuali. Ketika ditanya apa yang sudah didapatkan selama menjadi seorang pemangku. Jro Mangku Mas enggan menjelaskan lebih detail, seakan ada sesuatu yang dirahasiakan. Walaupun begitu Jro Mangku Mas tetap tampil ramah apa adanya, seakan-akan tidak ada beban dalam dirinya. Tampil bersahaja merupakan gaya khas Jro Mangku Mas, karena itu dia selalu merasa dekat dengan umat yang tangkil ke pura. Sedapat mungkin tiang bakal melayani umat dengan baik, katanya enteng</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-19106076592108414092010-06-16T21:40:00.000-07:002010-06-16T21:40:37.470-07:00Pura Kertha Kawat<div style="text-align: justify;"><b style="color: red;">Pura Kertha Kawat.</b> Para pejabat atau orang yang hendak meraih jabatan, sepatutnya tak lupa tangkil ke Pura Kertha Kawat. Ida Batara I Dewa Mentang Yuda atau lumrah disebut Ida Batara Hakim Agung yang berstana di sini diyakini mampu memberi kasukertan jagat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div> </div><div style="text-align: justify;">Bila Anda menyebut nama pura di Buleleng, Pura Pulaki jelas tak pernah terlupakan. Pura yang berlokasi Buleleng Barat ini, memang dikenal sebagai satu pura yang kerap disinggahi orang-orang, lebih-lebih yang melintasi di pinggir pantai jalur Jalan Raya Gerokgak–Gilimanuk, sebelum sampai mereka seolah-olah wajib berhenti sejenak di depan Pura Pulaki. Di tempat suci berkategori dang kahyangan ini, sesuai Purana Pulaki terkait dengan perjalanan Danghyang Dwijendra yang di Bali juga berjuluk Padanda Sakti Wawu Rauh, rohaniwan dari Jawa Timur, di tanah Bali abad ke-16, mereka mencakupkan tangan, mohon pada Hyang Mahadewi penguasa di Pura Pulaki supaya diberikan keselamatan dalam perjalanan. Lazimnya pura sad kahyangan, dang kahyangan , maupun kahyangan jagat lain, maka Pura Pulaki juga memiliki beberapa pura pasanakan (kerabat). Lokasinya berada di empat arah mata angin. Satu di antaranya Pura Kertha Kawat yang berlokasi di Banjar Kertha Kawat, Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Berjarak kurang lebih satu kilometer dari Jalan Raya Gerokgak-Gilimanuk.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Sekitar dua kilometer arah tenggara Pura Agung Pulaki. Sama halnya dengan Pura Pulaki, tempat suci yang berlokasi di tengah tegalan, pada kaki bebukitan nan menjulang ini juga dikenal sebagai peninggalan Danghyang Dwijendra. Sesuai tersurat dalam buku Purana Pura Pulaki yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Propinsi Bali pada 10 Oktober 2003, Pura Kertha Kawat posisinya berada di sisi timur sebagai stana Batara I Dewa Mentang Yuda atau Batara Ngertanin Jagat kini lumrah disebut Ida Batara Hakim Agung. Sebagai tempat berstana Ida Batara Ngertanin Jagat, tentu manifestasi Tuhan yang berstana di Kertha Kawat mampu memberi kesejahteraan dan keadilan pada masyarakat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Kepercayaan itu pula yang mendasari hingga banyak orang datang ke Pura Kertha Kawat. Di Bali, pun berbagai daerah lainnya di Indonesia, seseorang yang hendak meraih jabatan dan menunaikan tugas setelah menjabat di pemerintahan maupun swasta, mereka merasa tak cukup percaya mengandalkan kemampuan diri. Berbekal keahlian semata. Guna lebih memantapkan langkah dalam mencapai tujuan, kerap pula menempuh jalan niskala . Memohon berkah, petunjuk, dan bimbingan dari Hyang Mahaagung. Mereka berkeyakinan beberapa tempat suci, di antaranya Pura Kertha Kawat, dirasakan cocok sebagai tempat memohon berkah seperti itu. Dalam cermat Pamangku Pura Kerta Kawat, Ida Bagus Putu Darmika, hampir saban hari ada yang bersujud ke hadapan penguasa Pura Kertha Kawat. Terlebih saat transportasi darat bertambah lancar, kapasitas warga Hindu yang datang semakin melonjak.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Penangkilan bukan saja dari daerah Bali Utara (Buleleng-red). Tak sedikit pula berasal dari berbagai wilayah di Bali Selatan dan Bali Tengah. “ Pamedek dari luar Bali juga ada,” tunjuk rohaniwan yang akrab disapa Ratu Aji Mangku ini. Warga yang tangkil ke Kertha Kawat memang tak semata-mata untuk mempertahankan jabatan atau meraih posisi penting di pemerintahan. Banyak pula yang sekadar mohon keselamatan dari Ida Batara Hakim Agung. “Saya tak terlalu banyak tahu prihal pura ini,” Ida Bagus Darmika mengakui.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Tapi dosen pengajar di Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar ini mencermat, Kertha Kawat beserta pasanakan Pura Agung Pulaki, lebih teridentifikasi sebagai pura fungsional. Artinya disesuaikan dengan profesi dan fungsi masing-masing. Pura Melanting misalkan, di samping pamedek umum, diyakini pula sebagai satu tempat suci yang mampu mendatangkan rezeki bagi pedagang. Maka, orang-orang yang berprofesi sebagai pedagang, pebisnis, dan penjual jasa banyak tangkil ke pura ini. “Begitu pula yang saya amati dengan Pura Kertha Kawat,” peneliti beberapa pura ini menegaskan. Masih sedikit sumber yang menyebutkan keberadaan Pura Kerta Kawat, memang. Pun data dari masyarakat pangempon, Kertha Kawat di- empon warga desa pakraman se-Kecamatan Seririt dan Gerokgak, tepatnya yang berdiam dari sebelah timur Cekik (Jembrana) dan sebelah barat Tukad Saba, tiada banyak bisa dijelaskan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Mereka hanya tahu bertanggung jawab terhadap segala kegiatan di Pura kerta Kawat dan pasanakan Pura Agung Pulaki lain, seperti terhadap penyelenggaraan piodalan yang dilaksanakan bersamaan dengan Pura Agung Pulaki, selama tujuh hari. Bedanya, puncak karya dilakukan secara berjenjang. Karya bertepatan dengan Purnama Kapat (September-Oktober). Piodalan di pura pasanakan, termasuk di Kerta Kawat, mengikuti upacara di Pulaki, dilakukan dua hari setelah Puranama Kapat, pada pangelong ping kalih . Pada Purnama Kapat puncak karya di Pura Pulaki, keesokan harinya di Pura Melanting, hari kedua di Kerta Kawat, panglong ping tiga puncak piodalan di Pemuteran, dan terakhir di Pura Pabean. “Bangunan suci di sini tak terlalu banyak,” Ratu Aji Mangku mengingatkan. Gedong yang berada di tengah-tengah merupakan palinggih pokok di Pura Kerta Kawat. Di sini berstana Ida Batara Hakim Agung atau Batara Ngertaning Jagat. Kemudian ada padmasana sebagai stana Ida Batara Luhuring Akasa. Di samping kanan kiri gedong ada palinggih bale sidang yang diyakini warga sebagai tempat menggelar sidang.</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-12323376292977207932010-06-16T21:37:00.000-07:002010-06-16T21:37:34.933-07:00Pura Rambut Petung<div style="text-align: justify;"><b style="color: red;">Pura Rambut Petung</b> terletak di Desa Pakraman Pesedahan, Kecamatan Manggis, Karangasem dipercaya se- bagai pura Kahyangan Jagat stana Batara/Dewa Sangkara. Masyarakat setempat percaya guna mohon per- lindungan agar terhindar dari marabahaya, menggelar persembahyangan mengayu-ayu. Seperti menghindari usaha peternakan ayam dari wabah flu burung, digelar mengayu-ayu, tirtha dimohon dari pura ini lalu dipercik kan ke pekarangan dan lokasi kandang peternakan.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Selama ini selain pangempon utama krama Desa Pakraman Pesedahan, juga pura setempat disungsung dari krama di desa sekitarnya seperti Tenganan Dauh Tukad, Sengkidu termasuk Nyuh Tebel dan sekitarnya. Klian Desa Pakraman Pasedahan Nyoman Wage, S.H. belum lama ini di desa setempat mengatakan, pura ini sudah diketahui keberadaannya tahun 1021. Hal itu dapat dibuktikan dari prasasti dan teks yang diterjemahkan dari Leiden, Belanda baru diperoleh 1985.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div> </div><div style="text-align: justify;">Dulu raja Bali yang berpusat di Gelgel, Klungkung ketika masa pemerintahan Ida Dalem Pasuruan, mengutus I Gusti Ngurah Tenganan serta empat pengiring dan pasukannya menjaga dan mapekeling (mengingatkan) kepada raja dan menggelar upacara di pura yang berlokasi di pebumian Pesedahan. Mereka kini dipercaya sebagai leluhur krama Pesedahan. Pura ini berlokasi di kaki Bukit Dulun Petung.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Disebutkan, setelah Dukuh De Mangku kalah perang dalam peperangan yang berkecamuk sekitar enam bulan, I Gusti Ngurah Tenganan menemukan tiga KK krama yang masih ada. Dengan jumlah krama yang terbatas, dirasakan tak cukup membentuk desa pakraman. Lantas dimohonkan krama kepada Raja Karangasem dan mereka ditempatkan di mel kelod (di selatan pusat desa) yang kini diperkirakan Banjar Karanganyar. Mereka itu diperkirakan berasal dari Subagan, Seraya, Perasi dan Macang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Sampai kini, diketahui dua kali upacara besar yakni 100 tahun lalu, serta terakhir karya ngenteg linggih, nubung padagingan tahun 2005. Hal itu melihat dari kemampuan krama panyungsung.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Karya tahun 2005 itu disaksikan keturunan raja atau keluarga Puri Karangasem seperti AAB Ngurah Agung serta Cokorda Klungkung. Itu upacara yang berdasarkan petunjuk dari lontar yang ada. Sementara pujawali rutin tiap enam bulan saat Umanis Galungan. ‘Ketika itu dari Tenganan Dauh Tukad mengaturkan wewalian berupa gambang,’ ujar Wage.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dikatakan, penyungsung pura itu kini lebih dari 500 KK. Pamangku di pura ini yakni Mangku Gede Nengah Sujati dan Mangku Ayu Nengah Supadmi. Sementara saat pujawali atau karya besar dibantu paguyuban pemangku di Pesedahan yakni 32 orang, terdiri atas para pemangku kahyangan desa, pemaksan dan dadia.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Di mana menjelang aci sambah, kata Wage, di Desa Tenganan Dauh Tukad atau Sengkidu, biasanya mendak tirtha di Pura Rambut Petung. Di pura ini dipercaya sebagai Stana Dewa/Batara Sangkara serta di kalangan krama penyungsung setempat dimanifestasikan Batara Gede Lingsir Rambut Petung.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Di antara sekian bangunan/pelinggih, terdapat Meru Tumpang Siya (sembilan) di kanan dan kiri ada Pelinggih Gaduh, tiga buah Padmasana masing-masing dua menghadap ke selatan dan satu ke barat.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Ada juga Gedong Sari, pelinggih putra-putri seperti Pelinggih Batara Ayu, Pelinggih Batara Segara, Batara Majapahit. Dibuatkan juga Pelinggih Batara di Sengkidu dan Mendira ketika tangkil ke ajine di Pura Ramput Petung.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Mohon Kesejahteraan</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Wage mengatakan, sejumlah tokoh pernah tangkil dan mendapat panugerahan atau paica. Pamedek dari Lombok juga pernah ngaturang pakemit di pura ini. Selain itu, masyarakat Pesedahan dan sekitarnya mempercayai mohon perlindungan dan kesejahteraan akan terkabul. Ini terbukti, saat wabah flu burung atau gerubug ayam di daerah lain dan luar Bali, pengusaha peternakan ayam ras di Pesedahan tak sampai rugi besar. Bahkan bisa dibilang terhindar dari kematian massal akibat wabah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Saat menangkal gerubug ayam, peternak menggelar upacara mengayu-ayu, mohon tirtha perlindungan dan air suci itu dipercikkan di rumah, keluarga dan sekitar areal usaha peternakan. Puluhan usaha peternakan ayam ras dari skala besar dan kecil merupakan andalan masyarakat Pesedahan dalam menghidupkan perekonomian krama-nya.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Saat puwajali, kata Wage, pamedek berdatangan dari luar desa seperti Selumbung, Padangkerta, Perasi dan Subagan Amlapura. Saat itu areal parkir tak memadai. Kini pangempon pura setempat merencanakan memugar panyengker keliling 225 meter dengan rencana anggaran sekitar Rp 500 juta.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Kahyangan Jagat</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pura ini oleh prajuru setempat diyakini sebagi kahyangan jagat. Hal itu termuat dalam Lontar Mpu Kuturan dan Lontar Padma Buana. Dalam Lontar Mpu Kuturan disebutkan dengan terjemahan (dikutip dari Proposal Pembangunan Penyengker Pura Kahyangan Jagat Rambut Petung Desa Pakraman Pesedahan).</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Di sana juga dijelaskan, tata cara melakukan persembahyangan bagi sang tri wangsa utama, brahmana, ksatria ratu yang boleh disembahnya Batara di sad kahyangan yang dibangun oleh brahmana dahulu, ksatria ratu beserta para menteri, wesya, sudra, yaitu Batara Giri Jagatnata, Batara Siwa Raditya, Batara Brahma, Wisnu, Iswara, stana Batara Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa dan Rambut Basukih, Erjeruk, Uluwatu, Watukaru, Pakendungan, Gowa Lawah, Rambut Petung, Tampakhyang, Sakenan, Panataran, itu sama-sama boleh disembah olehnya di samping juga menyembah leluhur yang sudah memasuki alam dewata dari sejak dulu, keturunan dari Batara Dwijendra, yang demikian itu tidaklah menyebabkan dosa baginya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Sementara dalam Lontar Padma Buana disebutkan dengan terjemahan, keterangannya, sad winayaka (kelompok enam dewa) dinamai sad kahyangan sthana batara berbentuk padma di bumi, di Pulau Bali disungsung oleh Sang Bhuta Berdua. Selanjutnya tempat Batara Berdua menetap, inti padma di bumi bagaikan dasarnya alam, maka didirikan empat pura, maka itu genaplah sad kahyangan di Pulau Bali, juga berasal dari perhitungan Panca Brahma dalam batin sebagai berikut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Sang yaitu sadya, aksobhya, Iswara jugalah dia arahnya di timur, letaknya di Pura Gunung Tampakhyang. Bang atau bhamadewa, ratnasambhawa, Brahma jugalah dia arahnya di selatan, letak puranya di Gunung Andakasa. Tang yaitu tat purusa, amittaba, Mahadewa juga dia arahnya di barat, letak puranya di Gunung Watukaru. Ang yaitu aghosa, amoghasidi, Wisnu jugalah dia, arahnya di utara letak puranya di Pura Gunung Pagadungan Tungtung.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> Ing yaitu Isana, Siwa Wairocana letak puranya di tengah menjadi Batara Pratiwi bagaikan dasar berstana di Dalem Puri lalu dibuatkan pura sebagai sudut-menyudut berasal dari perhitungan pancaaksara yaitu. Nang, Maheswara terletak di tenggara berstana di Gowa Lawah. Mang, Ludra terletak di barat daya berstana di Pejeng. Sing, Sangkara di barat lfsaut letaknya di Rambut Petung.</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-14427497384692457792010-06-16T21:26:00.000-07:002010-06-16T21:26:56.932-07:00Pura Dalem Mangening<b style="color: red;">Pura Dalem Mangening.</b><br />
NAMA <em>niskala</em> Desa Pakraman Renon adalah Dalem Lumajang Dang Hyang Nirartha ketika tirthayatra ke Bali sempat singgah ke Desa Dalem Lumajang. Dang Hyang Nirartha amat berkesan dan beliau amat senang tinggal dan menyaksikan Desa Dalem Lumajang tersebut. Demikian dikatakan Jero Mangku Sudita, Penyarik an Paiketan Pemangku Desa Pakraman Renon. Lalu keunikan apa saja yang dimiliki Pura Dalem Mangening tersebut?<br />
<br />
<br />
<div> </div><div style="text-align: justify;">“Senang” dan “terkesan” itu dalam bahasa Bali disebut Rena. Dan kata “rena” inilah lama kelamaan disebut Renon. Keberadaan Pura Dalem Mangening ini pun, menurut Jero Mangku Majawan, ada kaitannya dengan kedatangan Dang Hyang Nirartha ke Bali yang juga pernah datang ke Renon ini. Pura Dalem Mangening sebagai pangawangan Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur memiliki upacara piodalan tersendiri. Saat ada upacara piodalan di Pura Semeru Agung pada Purnamaning Sasih Kasa, di Pura Dalem Mangening juga diadakan Batara Nyejer selama upacara piodalan di Semeru Agung. Umat yang tidak sempat ke Semeru Agung dapat juga bhakti nyawang dan Pura Dalem Mangening, karena Ada pelinggih panyawangan untuk Ida Batara di Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Khusus upacara piodalan di Pura Dalem Mangening dilakukan pada han Banyupinaruh sehari setelah han raya Saraswati. Jero Mangku Dalem Mangening menyatakan pelaksanaan upacara piodalan pada saat Banyupinaruh karena memang sudah demikian dilakukan sejak dahulu sebelum Jero Mangku Majawan sebagai jan banggul Ida Batara di Pura Dalem Mangening.Yang cukup menarik adalah sebutan Tuhan sebagai Ida Batara Dalem Mangening yang upacara piodalannya pada hari Banyupinaruh. Tirtha Ening yang didapat dengan melalui proses nunas di Pura Dalem Mangening memiliki nilai sakral yang tidak sebatas berarti air cuci. Istilah sakral Mangening dan Banyupinaruh itu memiliki korelasi yang amat dalam dan luas artinya bagi kehidupan umat Hindu di Bali.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> <em>Mangening</em> berasal dan kata “maha ening”. Kalau air itu maha ening di suatu tempat, maka apa pun akan amat jernih kelihatannya di dasar air tersebut. Air yang jernih itu dalam konsep Hindu disimbolkan sebagai air kehidupan manusia. Karena itu air suci itu dalam nyasa Hindu disebut Tirtha Amerta yang artinya air kehidupan. Memang dalam berbagai pustaka suci Hindu air itulah sebagai sumber hidupnya semua makhluk hidup di bumi i. Sumur sakral di Pura Dalem Mangening ini di samping digunakan Sebagai wangsuhpada dan Ida Batara dapat juga digunakan sebagai Tirtha Pengelukatan. Untuk Ti rt ha Pengelukatan ini Jero Mangku mendapatkan petunjuk niskala agar Tirtha Ening di sumur di jeroan pura itu dialirkan di jaba sisi. Hal itu dimaksudkan agar umat yang pedek tangkil ke pura terlebth dahulu mohon Tirtha Pengelukatan di jaba sisi pura.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dalam konsep Hindu di Bali Ti rt ha Pengelukatan itu adalah sewanya Batara Gana. Batara Gana itu disebut Wighna-ghna Dewa dan Dewa Winayaka. Dalam fungsinya sebagai Wighnaghna Dewa, Batara Gana adalah manifestasi Tuhan yang dipuja untuk mohon perlindungan dan berbagai godaan yang datangnya dan luar diri manusia.<em>Wighna</em> dalam bahasa Sansekerta artinya halangan atau godaan yang datangnya dan luar diri. Karena itu Tirtha Pengelukatan di Pura Dalem Mangening itu memiliki arti Tuhan untuk melindungi umat dari godaan yang berasal dari luar diri manusia. Sedangkan <em>Tirtha Wangsuhpada</em> yang dapat dimohon di <em>jeroan</em> pura yang ada di sumur suci tersebut dapat menjadi sumber pemeliharaan dan pengembangan hidup di dunia <em>sekala</em> dan <em>niskala.</em></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Batara Ghana sebagai Winayaka Dewa adalah manifestasi Tuhan untuk menuntun umat manusia agar mendapatkan kehidupan yang bijaksana. Orang bijaksana adalah orang yang menggunakan akal budinya untuk mengendalikan indrianya untuk mengekspresikan kesucian Atman dalam perilaku sehari-hari. Keselamatan hidup akan diperoleh apabila kesucian Atman dalam perilaku sehari-hari. Keselamatan hidup akan diperoleh apabila kesucian Atman yang mendominasi dinamika kesadaran budhi dalam mengendalikan indria atau gejolak hawa nafsu. Karena itu atribut Batara Ghana adalah bertangan empat. Ada membawa Genitri ataujapa mala lambang bahwa ilmu pengetahuan suci itu tidak habis-habisnya untuk didalami. Ada membawa lontar sebagai lambang pustaka suci sumber ilmu pengetahuan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> Agama menurut Sarasamuscaya 181 adalah apa yang dinyatakan dalam kitab suci. <em>Agama ngarania kawarah Sang Hyang Aji</em>. Demikian dinyatakan Sarasamuscaya dalam keterangan dalam hahasa Jawa Kunonya. Tangan Batara Ghana yang lainnya ada yang membawa kapak. Kapak adalah salah satu hasil teknologi. Ilmu tersebut harus bisa menghasilkan teknologi untuk memberi berbagai kemudahan hidup bagi manusia. Sedangkan mangkuk lambang saran menampung amerta atau air kehidupan. Ini artinya puncak penggunaan Tirtha Pengetahuan yang diaplikasikan secara bijaksana manusia mendapatkan kehidupan yang Sejahtera lahir batin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> Upacara piodalan saat Banyupinaruh sangat tepat sebagai piodalan Ida Batara di Pura Dalem Mangening. Karena arti kata Banyupinaruh juga berarti air kehidupan yang harus diwujudkan oleh pengembangan ilmu pengetahuan. Kanena pada hari raya Saraswati umat Hindu secara simbolis sakral memperingati han ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Agi Saraswati adalah untuk mengingatkan umat manusia agar jangan sampai menyalahgunakan ilmu pengetahuan untuk merusak manusia itu sendini. Mahatma Gandhi juga mengmngatkan bahwa ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan dapat memmbulkan dosa sosial. Hal ini patut dijadikan pegangan oleh umat yang mohon tirtha di Pura Dalem Mangening. Baik yang nunas Tirtha Pengelukatan maupun Tirtha Wangsuhpada.Nunas tirtha di Puna Dalem Mengenmg itu bukan untuk mengembangkan kehidupan yang tidak-tmdak. Jero Mangku menyatakan bahwa kalau benar-benar hening pikiran kita mohon sesuatu yang baik umumnya kaswecan</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-71478791632204091822010-06-16T21:20:00.000-07:002010-06-16T21:20:31.203-07:00Pura Andakasa<div style="text-align: justify;"><b><span style="color: red;">PURA LUHUR ANDAKASA </span></b>adalah pura kahyangan jagat yang terletak di Banjar Pakel Desa Gegelang Kecamatan Manggis, Karangasem. Pura ini didirikan atas konsepsi Catur Loka Pala dan Sad Winayaka. Pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan empat manifestasi Tuhan untuk memotivasi umat mendapatkan rasa aman atau perlindungan atas kemahakuasaan Tuhan. Keempat pura itu dinyatakan dalam kutipan Lontar Usana Bali di atas. Mendapatkan rasa aman (raksanam) dan mendapatkan kehidupan yang sejahtera (danam) sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib diupayakan oleh para pemimpin atau kesatria. Demikian dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra I.89.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div> </div><div style="text-align: justify;">Usaha manusia itu tidak akan mantap tanpa disertai dengan doa pada Tuhan. Memanjatkan doa pada Tuhan untuk mendapatkan rasa aman (raksanan) di segala penjuru bumi itulah sebagai latar belakang didirikannya Pura Catur Loka Pala di empat penjuru Bali. Di arah selatan didirikan Pura Andakasa sebagai tempat pemujaan Batara Hyanging Tugu. Hal ini juga dinyatakan dalam Lontar Babad Kayu Selem. Sedangkan dalam Lontar Padma Bhuwana menyatakan: ”Brahma pwa sira pernahing daksina, pratistheng kahyangan Gunung Andakasa.” Artinya Dewa Brahma menguasai arah selatan (daksina) yang dipuja di Pura Kahyangan Gunung Andakasa. Yang dimaksud Hyanging Tugu dalam Lontar Usana Bali dan Babad Kayu Selem itu adalah Dewa Brahma sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pura Andakasa juga salah satu pura yang didirikan atas dasar konsepsi Sad Winayaka untuk memuja enam manifestasi Tuhan di Pura Sad Kahyangan. Memuja Tuhan di Pura Sad Kahyangan untuk memohon bimbingan Tuhan dalam melestarikan sad kertih membangun Bali agar tetap ajeg — umatnya sejahtera sekala-niskala. Membina tegaknya Sad Kertih itu menyangkut aspek spiritual yaitu atma Kertih. Yang menyangkut pelestarian alam ada tiga yaitu samudra kertih, wana kertih dan danu kertih yaitu pelestarian laut, hutan dan sumber-sumber mata air. Sedangkan untuk manusianya meliputi jagat kertih membangun sistem sosial yang tangguh dan jana kertih menyangkut pembangunan manusia individu yang utuh lahir batin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Jadinya pemujaan Tuhan Yang Mahaesa dengan media pemujaan dalam wujud Pura Catur Loka Pala dan Sad Winayaka untuk membangun sistem religi yang aplikatif. Sistem religi berupaya agar pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa itu dapat berdaya guna untuk memberikan landasan moral dan mental.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pura Andakasa dalam kesehariannya didukung oleh dua desa pakraman yaitu Desa Pakraman Antiga dan Gegelang. Menurut cerita rakyat di Antiga didapatkan penjelasan bahwa pada zaman dahulu di Desa Antiga ada tiga butir telur jatuh dari angkasa. Tiga telur tersebut didekati oleh masyarakat. Tiba-tiba telur itu meledak dan mengeluarkan asap. Asap itu berembus dari Desa Antiga menuju tiga arah. Ada yang ke barat daya, ke barat laut dan ke utara. Masyarakat Desa Antiga mendengar adanya sabda atau suara dari alam niskala. Sabda itu menyatakan bahwa asap yang mengarah ke barat daya desa adalah Batara Brahma. Sejak itu bukit itu bernama Andakasa sebagai tempat pemujaan Batara Brahma. Asap yang ke barat laut desa adalah Batara Wisnu menuju Bukit Cemeng didirikan Pura Puncaksari. Asap yang menuju ke utara desa adalah perwujudan Batara Siwa dipuja di Pura Jati. Tiga pura di tiga bukit itulah sebagai arah pemujaan umat di Desa Antiga dan Desa Gegelang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pemujaan Batara Brahma di Pura Andakasa ini dibangun di jejeran pelinggih di bagian timur dalam bentuk Padmasana. Di bagian jeroan atau pada areal bagian dalam Pura Andakasa di jejer timur ada empat padma. Yang paling utara adalah disebut Sanggar Agung di sebelah selatannya ada pelinggih Meru Tumpang Telu. Di selatan meru tersebut ada padmasana sebagai pelinggih untuk memuja Dewa Brahma atau Hyanging Tugu. Di sebelah selatan pelinggih Batara Brahma ada juga dua padmasana untuk pelinggih Sapta Petala dan Anglurah Agung.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Upacara pujawali atau juga disebut piodalan di Pura Andakasa diselenggarakan dengan menggunakan sistem tahun wuku. Hari yang ditetapkan sejak zaman dahulu sebagai hari pujawali di Pura Andakasa adalah setiap hari Anggara Kliwon Wuku Medangsia. Di samping ada pujawali setiap 210 hari, juga diselenggarakan upacara pecaruan setiap Anggara Kliwon pada wuku Perangbakat, wuku Dukut dan wuku Kulantir.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Setiap pujawali di Pura Andakasa pada umumnya diadakan upacara melasti ke Segara Toya Betel di Desa Pengalon. Tujuan melasti ini adalah untuk lebih menguatkan dan memantapkan umat dalam menyerap vibrasi kesucian Ida Batara di Pura Andakasa. Tujuan utama melasti menurut Sundarigama adalah anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana. Artinya mengatasi penderitaan rakyat, menghilangkan kekotoran (klesa) diri dan untuk menyucikan alam lingkungan dari pencemaran.</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-13544171983425388242010-06-16T21:17:00.000-07:002010-06-16T21:17:02.985-07:00Pura Goa Lawah<div style="text-align: justify;"><b style="color: red;"> Pura Goa Lawah </b>di Desa Pesinggahan Kecamatan Dawan, Klungkung inilah sebagai pusat Pura Segara (pura laut) di Bali untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut. Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa Siwa mengutus Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka. Naga Basuki penjelmaan Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut menggerakan samudara agar menguap menajdi mendung. Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan. Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja, salah satu pura di kompleks Pura Besakih. Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja itu konon tembus sampai ke Pura Goa Lawah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div> </div><div style="text-align: justify;">Karena ada gempa tahun 1917, goa itu menjadi tertutup.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Keberadaan Pura Goa Lawah ini dinyatakan dalam beberapa lontar seperti Lontar Usana Bali dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar tersebut dinyatakan Pura Goa Lawah itu dibangun atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI Masehi dan kembali dipugar untuk diperluas pada abad ke XV Masehi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dalam Lontar Usana Bali dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya yang bernama ”Babading Dharma Wawu Anyeneng’ yang isinya menyatakan tentang pendirian beberapa Pura di Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga memuat tahun saka 929 atau tahun 107 Masehi. Umat Hindu di Bali umumnya melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup upacara Atma Wedana atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia. Upacara ini berfungsi sebagai pemakluman secara ritual sakral bahwa atman keluarga yang diupacarai itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara Nyegara Gunung itu umumnya di lakukan di Pura Goa Lawah dan Pura Besakih salah satunya ke Pura Goa Raja.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pura Besakih di lereng Gunung Agung dan Pura Goa Lawah di tepi laut adalah simbol lingga yoni dalam wujud alam. Lingga yoni ini adalah sebagai simbol untuk memuja Tuhan yang salah satu kemahakuasaannya mempertemukan unsur purusa dengan predana. Bertemunya purusa sebagai unsur spirit dengan predana sebagai unsur materi menyebabkan terjadinya penciptaan. Demikiankah Gunung Agung sebagai simbol purusa dan Goa Lawah sebagai simbol pradana. Hal ini untuk melukiskan proses alam di mana air laut menguap menjadi mendung dan mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh gunung dengan hutannya yang lebat. Itulah proses alam yang dilukiskan oleh dua alam itu. Proses alam itu terjadi atas hukm Tuhan. Karena itulah di tepi laut di Desa Pesinggahan dirikan Pura Goa Lawah dan di Gunung Agung dirikan Pura Besakih dengan 18 kompleksnya yang utama. Di Pura itulah Tuhan dipuja guna memohon agar proses alam tersebut tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena dengan berjalannya proses itu alam ini tetap akan subur memberi kehidupan pada umat manusia.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pujawali atau piodalan di Pura Goa Lawah ini untuk memuja Bhatara Tengahing Segara dan Sang Hyang Basuki dilakukan setiap Anggara Kasih Medangsia. Di jeroan (bagian dalam) Pura, tepatnya di mulut goa terdapat pelinggih Sanggar Agung sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal. Ada Meru Tumpang Tiga sebagai pesimpangan Bhatara Andakasa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Ada Gedong Limasari sebagai Pelinggih Dewi Sri dan Gedong Limascatu sebagai Pelinggih Bhatara Wisnu. Dua pelinggih inilah sebagai pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Basuki dan Bhatara Tengahing Segara.</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-88291774716429193032010-06-16T21:08:00.000-07:002010-06-16T21:14:19.232-07:00Pura Dang Khayangan PasatanKeberadaan <b style="color: red;">Pura Dangkhayangan Luhur Pasatan</b> pada awalnya merupakan Pura Hulun Swi atau Pura Bedugul panyungsungan krama subak. Tetapi, kini pura yang berada di perbukitan Dusun Dangin Pangkung Jangu, Poh Santen, Mendoyo ini menjadi pura penyungsungan umat Hindu yang ada di Jembrana dan Bali. <div style="text-align: justify;">Bagaimana asal-usul pura tersebut?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div> </div><div style="text-align: justify;">Menurut I Wayan Sentra, salah seorang penglingsir Desa Poh Santen, ditemukannya Pura Dangkhayangan Luhur Pasatan berawal dari keadaan Subak Pecelengan Pedukuhan dan Babakan Poh Santen. Ketika itu, subak lanus tidak pernah menghasilkan (mertha). Selain itu sawah juga diganggu babi berkepala kuning.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Klian Subak I Gusti Made Rebah bersama krama lalu mohon petunjuk di Pura Hulun Swi Pura Bedugul Pecelengan Pedukuhan. Di sana mereka mendapat pawisik, kalau ingin mendapat mertha, pergilah ke utara ke hutan Pasatan. Di sana ada batu besar yang diapit pohon plawa dan andong. Di tempat itulah krama diminta melakukan pemujaan dan permohonan sesuai dengan keinginan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Krama subak pun berjalan ke tengah hutan dan menemukan tempat yang dimaksud dalam pawisik. Tempat tersebut pertama kali ditemukan Kumpi Sabda. Setelah beristirahat sejenak, mereka pun bersembahyang. Saat bersembahyang, muncul sinar dari batu besar yang membuat kaget krama subak. Usai sembahyang, mereka nunas tirta dan pulang kembali ke rumah. Sejak saat itu, wilayah Pesubakan Pecelengan Pedukuhan dan Babakan Poh Santen mulai menampakkan hasil.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Sebagai wujud syukur dan rasa bakti, krama subak pun rutin melakukan persembahyangan di tempat tersebut. Pembangunan pertama dilakukan di batu besar yang memancarkan sinar. Sebagai pemangku pertama ditunjuklah Kumpi Sabda pada tahun 1755. Untuk seterusnya, keturunan Kumpi Sabda-lah yang menjadi pemangku yakni Pan Toyo, Pan Sider dan kini I Wayan Geder.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Sentra menambahkan, sekitar tahun 1939, hutan Pasatan masih merupakan hutan rimba. Belum ada jalan menuju pura. Seiring perkembangan zaman, hutan pun mulai dibuka. Pada tahun 1953 hutan mulai dibuka. Kepada yang membuka hutan, kami minta wilayah pura seluas timur barat 20 depa dan utara selatan 50 depa jangan diganggu. Setelah itu, pada tahun 1971 dilakukan rehab pura secara swadaya, tandas penglingsir yang menjadi klian subak ketiga di Subak Pedukuhan Pecelengan ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Selanjutnya pura ini dijadikan Pura Pesimpangan Hulun Danu untuk memuliakan dan memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudan Dewi Sri yang memberi kesejahteraan bagi masyarakat. Berikutnya, pura ini disebut Pura Dangkhayangan Luhur Pasatan ini. Pujawali di Pura Dangkhayangan Luhur Pasatan jatuh pada Anggara Kliwon (Anggarkasih) Julungwangi. Setiap tahun sekali, krama subak mengaturkan sarin tahun dan setiap tiga tahun sekali menyelenggarakan ngusabha.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Sebagai pendukung untuk melaksanakan pujawali, Raja Jembrana ke-7 Anak Agung Bagus Negara memberikan satu petak tegal seluas 1985 ha sebagai pelaba pura. Berikutnya, bukan hanya krama subak yang sembahyang di Pura Dangkhayangan Luhur Pasatan, warga dari Mendoyo Dangin Tukad, Pergung dan Yeh Kuning pun datang mengaturkan bakti. Saat ini Pura Dangkhayangan Luhur Pasatan memiliki beberapa pelinggih di antaranya pelinggih Dewa Ayu Mesari Merthan Jagat, Tedung Jagat, Hulun Danu Idewa, Taksu, Padma, Meru dan Pepelik Ratu Nyoman. Bendesa Pakraman Poh Santen I Gusti Agung Komang Suryadiasa menambahkan, pengempon Pura Dangkhayangan Luhur Pasatan adalah Subak Ketengking, Semanggon serta Pedukuhan/Pecelengan, sedangkan pekandelnya krama Desa Pakraman Poh Santen.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pengempon dan pekandel saat ini tengah merencanakan pembangunan Pura Dangkhayangan Luhur Pasatan. Wakil Bendesa Pakraman Poh Santen I Made Sarka ditunjuk sebagai ketua umum panitia pembangunan. Dia didampingi beberapa pengurus dan anggota.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><b>Sejarah Pasatan</b></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Terkait sejarah Pasatan, ada pawisik yang diterima I Wayan Kendra, sadeg atau pembantu pemangku. Dia mendapatkan pawisik itu tidak berurutan namun setelah dirangkai menjadi suatu yang berkaitan. Rangkaian tersebut berawal dari Batari Hyang Dewi Dhanuh berkeliling Bali. Dalam perjalanan di Bali bagian Barat ditemukan perbukitan yang kering (kasat) karena tak ada air. Beliau pun berlaku sebagai pertapa bergelar Hyang Bahu Daha atau Hyang Bahu Dari. Dari yoganya itu, muncul air dari gunung. Air yang mengalir ke utara menjadi sumber air panas, sedangkan yang ke selatan berupa air dingin yang mengairi sawah.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Beliau juga mayoga mohon putra. Dari yoganya itu muncul dua putra dari bahu. Salah satunya bernama Hyang Dukuh Sakti Pacekan. Anaknya ini kemudian berjalan ke bukit. Di sebuah batu besar. Hyang Dukuh Sakti Pacekan menancapkan batang plawa dan andong yang diberikan oleh ibunya. Saat itu juga ada sabda, kapan batu yang diapit plawa dan andong ini ditemukan, maka lokasinya akan menjadi khayangan jagat, tutur sadeg yang biasa disapa Mangku Partini ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Kisah mengenai babi berkepala kuning ternyata diyakini oleh krama subak. Babi tersebut merupakan ancangan Hyang Dukuh Sakti Pacekan. Karena itulah, menurut Mangku Partini, saat pujawali di Pura Dangkhayangan Luhur Pasatan, tidak diperkenankan mengaturkan daging babi. Babi itu ancangan Hyang Dukuh Sakti Pacekan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dia juga menceritakan pawisik mengenai keberadaan Danghyang Nirarta dalam kaitan dengan Pura Dangkhayangan Luhur Pasatan. Suatu ketika, Danghyang Nirarta kehilangan putrinya. Dalam pencarian tersebut, Danghyang Nirarta bertemu dengan orang tua berpakaian putih yang memberinya petunjuk untuk berjalan di utara bukit. Orang tua itu adalah penguasa yang bergelar Hyang Dukuh Sakti Pacekan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Singkat cerita, Danghyang Nirarta pun menemukan putrinya Ida Ayu Swabhawa duduk sambil menangis di batu besar yang diapit pohon plawa dan andong. Kepada ayahnya, Ida Ayu Swabhawa mohon ampun dan mohon diberi kasujatmika (ilmu rahasia kepanditaan) untuk menebus doa. Keinginan ini pun dipenuhi Danghyang Nirarta. Sesudah diberikan ilmu itu, Ida Ayu Swabhawa menggaib. Di tempat itu pula Danghyang Nirarta menanam batu mustika yang memancarkan lima warna sesuai arah mata angin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Danghyang Nirarta juga bersabda, Karena ananda tidak mau kembali, terus menangis di atas batu sampai batu tersebut basah, air mata ananda sebagai Merthan Jagat, Tedung Jagat, Hulun Danu Idewa dan kapan batu yang diapit oleh pohon plawa dan andong itu diketemukan, tempat ini supaya dijadikan panyungsungan jagat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Mangku Partini menambahkan, plawa yang berasal dari kata pal berarti kawitan, sedangkan andong berasal dari kata anda dan ong yang merupakan sastra suci.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, lontar Puri Agung Negara juga mencantumkan keberadaan Pura Dangkhayangan Luhur Pasatan. Pada saat Anak Agung Ngurah Jembrana memerintah, beliau memiliki dua putra yakni Anak Agung Gde Agung dan Anak Agung Made Ngurah.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Setelah dua tahun pernikahan, Anak Agung Made Ngurah tidak juga dikaruniai putra. Anak Agung Ngurah Jembrana lalu menyelenggarakan pemujaan di Pura Taman Sari, Batu Agung, Negara. Dalam pawisik yang diterima, Anak Agung Made Ngurah diminta pergi ke hutan Pasatan dan mencari sebuah pelinggih yang sudah rusak. Bila menemukan pelinggih tersebut, bersemedilah mohon kepada Sang Hyang Widhi agar dianugerahi putra.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> Pawisik ini kemudian disampaikan kepada Anak Agung Made Ngurah yang selanjutnya berangkat bersama rakyatnya pada tahun 1745. Setelah menempuh perjalanan sambil berburu, mereka masuk hutan yang penuh pacet. Meski demikian, perjalanan tetap dilakukan sampai Anak Agung Made Ngurah menemukan pelinggih yang dimaksud. Dia pun bersemedi dan memperoleh firasat, keinginannya mendapatkan putra akan terwujud. Putra yang lahir itu diberi nama Anak Agung Putu Pasatan.</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-73850874559138119082010-06-16T21:02:00.000-07:002010-06-16T21:02:07.949-07:00Pura Batu Karu<div style="text-align: justify;"><b style="color: red;">PURA LUHUR BATUKARU</b> adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mega Dewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan memfungsikan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh arti sebutan Tuhan itu adalah Tuhan sebagai yang menumbuhkan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div> </div><div style="text-align: justify;">Ini artinya Tuhan sebagai sumber yang menemukan air dengan tanah sehingga muncullah kekuatan untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu akan tumbuh subur dengan daunnya yang hijau mengandung klorofit sebagai zat yang menyelamatkan hidup. Pemujaan Tuhan di Pura Luhur Batukaru hendaknya dijadikan media untuk membangun daya spiritual membangun semangat hidup untuk secara sungguh-sungguh menjaga kesuburan tanah dan sumber-sumber air.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dengan tanah yang terjaga kesuburannya dan sumber-sumber air terlindungi, maka tumbuh-tumbuhan akan subur. Tumbuh-tumbuhan yang subur akan berlanjut terus apabila udara tidak tercemar oleh emisi CO2. Udara yang tercemar akan dapat menimbulkan acid rain atau hujan asam yang merusak pucuk tumbuhan-tumbuhan. Jadi pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh memiliki makna yang dalam bagi kehidupan umat manusia di bumi ini. Adanya konferensi tentang perubahan cuaca yang diikuti oleh 187 negara di Nusa Dua patut dijadikan momentum untuk mengingatkan diri kita tentang nilai yang terkandung di balik Pemujaan Sang Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><b>Pura Luhur Batukaru terletak di Desa Wongaya Gede</b></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Lokasi pura ini terletak di bagian barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung Batukaru. Kemungkinan besar nama pura ini diambil dari nama Gunung Batukaru ini. Bagi mereka yang ingin sembahyang ke Pura Luhur Batukaru sangat diharapkan terlebih dahulu sembahyang di Pura Jero Taksu. Pura Jero Taksu ini memang letaknya agak jauh dari Pura Luhur Batukaru.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Tujuan persembahyangan di Pura Jero Taksu itu adalah sebagai permakluman agar sembahyang di Pura Luhur Batukaru mendapat sukses. Pura Taksu ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Pura Luhur Batukaru. Setelah itu barulah menuju pancuran yang letaknya di bagian tenggara dari pura utama namun tetap berada dalam areal Pura Luhur Batukaru.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Air pancuran ini adalah untuk menyucikan diri dengan jalan berkumur, cuci muka dan cuci kaki di pancuran tersebut terus dilanjutkan sembahyang di Pelinggih Pura Pancuran tersebut sebagai tanda penyucian sakala dan niskala atau lahir batinsebagai syarat utama agar pemujaan dapat dilakukan dengan kesucian jasmani dan rohani.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pura Luhur Batukaru ini juga termasuk Pura Sad Kahyangan yang disebut dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura Luhur Batukaru sudah ada pada abad ke-11 Masehi. Sezaman dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Guwa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pusering Jagat. Sebagai penggagas berdirinya Sad Kahyangan adalah Mpu Kuturan. Banyak pandangan para ahli bahwa Mpu Kuturan mendirikan jagat untuk memotivasi umat menjaga keseimbangan eksistensi Sad Kerti yaitu Atma Kerti, Samudra Kerti, Wana Kerti, Danu Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti. Pura Luhur Batukaru kemungkinan sebelumnya sudah dijadikan tempat pemujaan dan tempat bertapa sebagai media Atma Kerti oleh tokoh-tokoh spiritual di daerah Tabanan dan Bali pada umumnya. Pandangan tersebut didasarkan pada adanya penemuan sumber-sumber air dan dengan berbagai jenis arca Pancuran. Dari adanya sumber-sumber mata air ini dapat disimpulkan bahwa daerah ini pernah dijadikan tempat untuk bertapa bagi para Wanaprastin untuk menguatkan hidupnya menjaga Sad Kerti tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Setelah pendirian Pura Luhur Batukaru pada abad ke-11 tersebut kita tidak mendapat keterangan dengan jelas bagaimana keberadaan pura tersebut. Baru pada tahun 1605 Masehi ada keterangan dari kitab Babad Buleleng. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Pura Luhur Batukaru pada tahun tersebut di atas dirusak oleh Raja Buleleng yang bernama Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dalam kitab babad tersebut diceritakan bahwa Kerajaan Buleleng sudah sangat aman tidak ada lagi musuh yang berani menyerangnya. Sang Raja ingin memperluas kerajaan lalu mengadakan perluasan ke Tabanan. Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam perjalanan bertemu dengan daerah Batukaru yang merupakan daerah Kerajaan Tabanan. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti bersama prajuritnya lalu merusak Pura Luhur Batukaru. Pura tersebut diobrak-abriknya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Di luar perhitungan Ki Panji Sakti tiba-tiba datang tawon banyak sekali galak menyengat entah dari mana asalnya. Ki Panji Sakti beserta prajuritnya diserang habis-habisan oleh tawon yang galak dan berbisa itu. Ki Panji Sakti lari terbirit-birit dan mundur teratur dan membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan Tabanan. Karena pura tersebut dirusak oleh Ki Panji Sakti maka bangunan pelinggih rusak total. Tinggal onggokan berupa puing-puing saja.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Baru pada tahun 1959 Pura Luhur Batukaru mendapat perbaikan sehingga bentuknya seperti sekarang ini. Pada tahun 1977 secara bertahap barulah ada perhatian dari pemerintah daerah berupa bantuan. Sampai sekarang Pura Luhur Batukaru sudah semakin baik keadaannya.</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-60423143327448357552010-06-16T20:53:00.000-07:002010-06-16T20:53:47.138-07:00Pura Rambut Siwi<div style="text-align: justify;"><b style="color: red;"><strong>PURA</strong> Rambut Siwi </b>— kurang lebih 17 km di timur kota Negara — adalah pura untuk memuja Tuhan sebagai dewanya pertanian. Turun ke bawah di bagian tenggara Pura Rambut Siwi terdapat Pura Segara. Pura ini ada juga yang menyebutnya Pura Taman. Bersebelahan dengan Pura Segara itu terdapat Pura Penataran. Dalam acara persembahyangan apalagi kalau ada pujawali atau piodalan, ketiga pura itu sangat nampak keterkaitannya. Pujawali diadakan setiap enam bulan wuku yaitu pada hari Buda Umanis Prangbakat. Umumnya kalau kita bersembahyang ke Pura Rambut Siwi ini pasti juga dilakukan persembahyangan di Pura Segara dan Pura Penataran.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span>Naik ke atas di barat dayanya barulah Pura Rambut Siwi berdiri megah. Memperhatikan susunan letak tiga pura tersebut nampak pura tersebut sangat tua umurnya. </span>Karena sebelum Mpu Kuturan mengajarkan pembangunan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali sudah ada tiga jenis pura di setiap kerajaan di Bali yaitu Pura Segara, Pura Penataran dan Pura Puncak. Pura Rambut Siwi ini tergolong Pura Puncak-nya karena letaknya di puncak atau di dataran tinggi kalau dilihat dari Pura Segara dan Penataran. Hal ini melambangkan pemujaan Tuhan menjiwai Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Tiga pura tersebut melukiskan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana, di alam bawah, tengah maupun di alam atas. </div><blockquote><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #660000; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: 'Trebuchet MS';">Rambut Dang Hyang Nirartha</span></strong> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span style="font-family: 'Trebuchet MS';">Santa dyauh santa prthivi</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span style="font-family: 'Trebuchet MS';">Santam idam idam urvantariksam</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span style="font-family: 'Trebuchet MS';">Santam udanvatir apah</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span style="font-family: 'Trebuchet MS';">Santa nah santu-osadhih.</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span style="font-family: 'Trebuchet MS';"><b>Athrvaveda XIX.9.1).</b> </span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong style="color: #660000;"><span style="font-family: 'Trebuchet MS';">Maksudnya</span></strong><span style="font-family: 'Trebuchet MS';"><span style="color: #660000;">: </span><em><span style="font-family: 'Trebuchet MS';">semoga langit penuh damai. Semoga bumi bebas dari gangguan-gangguan. Semoga lapisan udara yang meliputi bumi (atmosfir) yang luas menjadi tenang. Semoga air terus mengalir memberikan kehidupan dan kesejukan. Semoga semua tanaman tumbuh menjadi bermanfaat untuk kami.</span></em></span></div></blockquote><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di samping itu, tiga pura ini sebagai media untuk memohon kedamaian di Tri Loka tersebut. Memohon kedamaian di Tri Loka itu dinyatakan dalam mantram Atharvaveda dalam kutipan di atas. Kalau langit, udara dan tanah serta air di bumi dalam keadaan damai maka kehidupan agraris yang berpangkal pada eksistensi pertanian pasti berlangsung dengan baik. Masyarakat di daerah Jembrana memohon kepada Tuhan di Pura Rambut Siwi dengan Pura Penataran dan Pura Segara-nya agar bumi, udara dan langit tidak terganggu fungsinya menjadi sumber kehidupan ekonomi agraris di Jembrana. Kemakmuran ekonomi itu sangat tergantung pada tercukupnya kebutuhan masyarakat akan makan, minum, sandang dan perumahan. Kalau tanah dan air rusak, udara kotor penuh polusi maka pertanian itu akan sulit dikembangkan dengan baik. <br />
<br />
Mengapa pura ini sekarang lebih terkenal dengan sebutan Pura Rambut Siwi? Hal itu terkait dengan mitologi kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Jawa Timur atau Majapahit ke Bali. Menurut Mpu Bhaskara Murti dari Geria Madu Sudana di kota Negara, saat Mpu Dang Hyang Nirartha ke Bali salah satu pura yang beliau kunjungi adalah Pura Rambut Siwi. Saat beliau memasuki pura, penjaga pura mengharuskan agar Mpu Dang Hyang Nirartha sembahyang di pura tersebut. Kalau tidak, beliau akan diterkam oleh harimau. Karena diharuskan, menyembahlah beliau di pura tersebut. Ternyata pura tersebut menjadi hancur berantakan. Karena demikian, penjaga pura akhirnya mohon maaf kepada Mpu Dang Hyang Nirartha. Di samping itu penjaga pura mohon agar pura itu dikembalikan pada keadaan semula. Atas kewisesaan Mpu Dang Hyang Nirartha, pura itu pun kembali utuh seperti sediakala. Mpu Dang Hyang Nirartha mengambil sehelai rambut beliau diletakkan di pura tersebut untuk dijadikan sarana pemujaan di pura tersebut. Sejak itulah pura tersebut bernama Pura Rambut Siwi. Nama Rambut Siwi inilah yang lebih populer sampai saat ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Saat Mpu Dang Hyang Nirartha ke Bali yang berkuasa di Jembrana adalah I Gusti Ngurah Rangsasa. Konon penguasa ini menganut ajaran Bairawa. Ajaran Bairawa ini bersumber dari ajaran Tantrayana. Pada zaman dahulu banyak yang menyalahartikan ajaran Tantrayana ini. Misalnya salah satu ajarannya ada yang menyatakan tentang maituna yang diartikan sebagai hubungan seks secara bebas dan erotis. Hakikat ajaran maituna adalah suatu sikap yoga untuk menguatkan dan meningkatkan hubungan purusa dengan pradana dalam diri. Dari hubungan tersebut akan muncul daya spiritual dari dalam diri yang lebih hebat. Daya spiritual itu akan mampu mengekspresikan kesucian Atman mencapai Brahman/keadaan diri yang seperti itu akan berdaya guna untuk membangun jati diri yang sehat jasmani dan rohani. Dalam Mahanirwana Tantra dinyatakan bahwa Tantrayana itu menguatkan kekuatan Guna Sattwam dan Rajas secara seimbang menguasai pikiran. Pikiran yang dikuatkan oleh Guna Sattwam dan Rajas itu akan mampu membuat manusia berniat baik dan berbuat baik secara nyata.<br />
<br />
Nampaknya ajaran Tantrayana inilah yang diluruskan oleh Mpu Dang Hyang Nirartha ketika datang di Jembrana khususnya dan di Bali pada umumnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="color: #660000; text-align: justify;"><strong>Delapan Pura</strong></div><div style="text-align: justify;">Sampai saat ini pemedek yang tangkil ke Pura Rambut Siwi bukan hanya warga setempat saja. Banyak orang dari luar Jembrana datang ke pura untuk sembahyang dan memohon keselamatan serta kesejahteraan. Seka subak, baik subak sawah maupun subak abian juga banyak yang melakukan persembahyangan di pura ini.</div><div style="text-align: justify;">Disekitar Pura Luhur Rambut Siwi terdapat tujuh pura atau delapan termasuk Pura Luhur. Bagi umat yang pedek tangkil diharapkan mengikuti urutan tersebut. Pertama, persembahyangan dilakukan di Pura Pesanggrahan yang letaknya di pinggir jalan Denpasar-Gilimanuk. Selanjutnya persembahyangan dilanjutkan ke Pura Taman yang berada disebelah timur jalan masuk ke lokasi Pura Rambut Siwi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Selesai di Pura Taman, pemedek menuju ke Pura Penataran, lokasinya berada di timur Pura Luhur dan turun ke bawah. Selanjutnya persembahyangan dilanjutkan ke Pura Goa Tirta, Pura Melanting, Pura Gading Wani dan Pura Ratu Gede Dalem Peed. Setiap persembahyangan di Pura Ratu Gede Dalem Peed ini, pemedek mendapatkan gelang tri datu (hitam, merah, putih). Setelah itu, persembahyangan diakhiri di Pura Luhur Rambut Siwi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dikawasan pura ini, Pura Penataran dan Pura Luhur merupankan pura inti, sedangkan yang lainnya perupakan pesanakan. Di Pura luhur terdapat 13 bangunan pelinggih. Bangunan itu antara lain Padma, Pengayeng Gunung Agung, Meru Tiga linggih Ida Batara Sakti Wawu Rauh , Gedong, Pelinggih Ratu Nyoman Sakti, pelinggih tumpang dua linggih Batara Dewa Ayu Ulun Danu, Palinggih Rambut Sedana, Taksu, Pepelik, Piasan, Peselang, Bale Gong dan Gedong Pesimpenan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-70833061395757900162010-06-16T20:21:00.000-07:002010-06-16T20:21:32.637-07:00Peradaban Peninggalan Hindu Nusantara<b><span style="color: red;">1. Candi Cetho</span></b><br />
<b><span style="color: red;"> </span></b><br />
<div style="text-align: justify;"> Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.<br />
<b> Ciri-cirinya:</b><br />
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><b style="color: red;"> 2. Candi Asu</b><br />
<b style="color: red;"> </b><br />
<div style="text-align: justify;"> Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, provinsi Jawa Tengah (kira-kira 10 km di sebelah timur laut dari candi Ngawen). Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung (Magelang). Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya.<br />
<b> Ciri-cirinya :</b><br />
Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).</div><br />
<b style="color: red;"> 3. Candi Gunung Wukir</b> <br />
<div style="text-align: justify;"> Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal adalah candi Hindu yang berada di dusun Canggal, kalurahan Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Candi ini tepatnya berada di atas bukit Gunung Wukir dari lereng gunung Merapi pada perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi ini merupakan candi tertua yang dibangun pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada tahun 732 M (654 tahun Saka).<br />
<b> Ciri-cirinya:</b><br />
Kompleks dari reruntuhan candi ini mempunyai ukuran 50 m x 50 m terbuat dari jenis batu andesit, dan di sini pada tahun 1879 ditemukan prasasti Canggal yang banyak kita kenal sekarang ini. Selain prasasti Canggal, dalam candi ini dulu juga ditemukan altar yoni, patung lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Andini.</div><br />
<b style="color: red;"> 4. Candi Prambanan</b><br />
<b style="color: red;"> </b><br />
<div style="text-align: justify;"> Candi Prambanan yang dikenal juga sebagai Candi Roro Jonggrang ini menyimpan suatu legenda yang menjadi bacaan pokok di buku-buku ajaran bagi anak-anak sekolah dasar. Kisah Bandung Bondowoso dari Kerajaan Pengging yang ingin memperistri dara cantik bernama Roro Jonggrang. Si putri menolak dengan halus. Ia mempersyaratkan 1000 candi yang dibuat hanya dalam waktu semalam. Bandung yang memiliki kesaktian serta merta menyetujuinya. Seribu candi itu hampir berhasil dibangun bila akal licik sang putri tidak ikut campur. Bandung Bondowoso yang kecewa lalu mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca, yang diduga menjadi arca Batari Durga di salah satu candi.</div><br />
<b style="color: red;"> 5. Candi Gunung Sari</b><br />
<b style="color: red;"> </b><br />
<div style="text-align: justify;"> Candi Gunung Sari adalah salah satu candi Hindu Siwa yang ada di Jawa. Lokasi candi ini berdekatan dengan Candi Gunung Wukir tempat ditemukannya Prasasti Canggal.<br />
<b> Ciri-cirinya:</b><br />
Candi Gunung Sari dilihat dari ornamen, bentuk, dan arsitekturnya kemungkinan lebih tua daripada Candi Gunung Wukir. Di Puncak Gunung Sari kita bisa melihat pemandangan yang sangat mempesona dan menakjubkan. Candi Gunung Sari terletak di Desa Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Semoga di masa depan Candi Gunung Sari semakin dikenal oleh banyak orang untuk dapat menemukan inspirasi dan keindahannya.</div><br />
<b><span style="color: red;"> 6. Arca Gupolo</span></b><br />
<b><span style="color: red;"> </span></b><br />
<div style="text-align: justify;"> Arca Gupolo adalah kumpulan dari 7 buah arca berciri agama Hindu yang terletak di dekat candi Ijo dan candi Barong, di wilayah kelurahan Sambirejo, kecamatan Prambanan, Yogyakarta. Gupolo adalah nama panggilan dari penduduk setempat terhadap patung Agastya yang ditemukan pada area situs. Walaupun bentuk arca Agastya setinggi 2 meter ini sudah tidak begitu jelas, namun senjata Trisula sebagai lambang dari dewa Siwa yang dipegangnya masih kelihatan jelas. Beberapa arca yang lain, kebanyakan adalah arca dewa Hindu dengan posisi duduk.<br />
<b> Ciri-cirinya:</b><br />
Di dekat arca Gupolo terdapat mata air jernih berupa sumur yang dipakai oleh penduduk setempat untuk mengambil air, dan meskipun di musim kemarau panjang sumur ini tidak pernah kering. Menurut legenda rakyat setempat, Gupolo adalah nama patih (perdana menteri) dari raja Ratu Boko yang diabadikan sebagai nama candi Ratu Boko (ayah dari dewi Loro Jonggrang dalam legenda candi Prambanan).</div><br />
<b style="color: red;"> 7. Candi Cangkuang</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;"> Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu di Tatar Sunda.<br />
<b> Ciri-ciri nya:</b><br />
Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar 1,26 m.</div><br />
<b style="color: red;"> 8. Candi Gedong Songo</b> <br />
<div style="text-align: justify;"> Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat lima buah candi.<br />
Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).<br />
<br />
<b> Ciri-cirinya:</b><br />
Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27°C).<br />
<br />
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Di sekitar lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata air yang mengandung belerang.</div><br />
<b style="color: red;"> 9. Candi Pringapus</b><br />
<b style="color: red;"> </b><br />
<div style="text-align: justify;"> Candi Pringapus adalah candi di desa Pringapus, Ngadirejo, Temanggung 22 Km arah barat laut ibu kota kabupaten Temanggung. Arca-arca berartistik Hindu yang erat kaitanya dengan Dewa Siwa menandakan bahwa Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Candi tersebut dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi menurut prasasti yang ditemukan di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada tahun 1932.<br />
<b> Ciri-cirinya:</b><br />
Candi ini merupakan Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata. Hal ini terbukti dengan adanya adanya hiasan Antefiq dan Relief Hapsara-hapsari yang menggambarkan makhluk setengah dewa. Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis</div><br />
<br />
<b style="color: red;"> 10. Candi Sukuh</b> <br />
<div style="text-align: justify;"> Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.<br />
Ciri-cirinya:<br />
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir</div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-52371362484890000472010-04-08T03:35:00.000-07:002010-04-08T03:35:53.477-07:00Pura-pura yang Tersohor di Manca Negara<table border="0" cellpadding="9" cellspacing="0" class="bodytext" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: normal;"><tbody>
<tr><td><div align="justify"><a class="header2" href="http://www.babadbali.com/pura/kahyangan_jagat.htm" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: bold;">Pura Kahyangan Jagat dan Pura Dang Kahyangan</a><br />
<span class="bodytext" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: normal;">Pura Kahyangan jagat tergolong pura untuk umum, sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widi Wasa - Tuhan Yang Maha Esa dalam segala prabhawa-Nya atau manifestasi-Nya.</span>Sedangkan Pura Dang Kahyangan dibangun untuk menghormati jasa-jasa pandita (guru suci). Pura Dang Kahyangan dikelompokkan berdasarkan sejarah. Di mana, pura yang dikenal sebagai tempat pemujaan di masa kerajaan di Bali, dimasukkan ke dalam kelompok Pura Dang Kahyangan Jagat. Keberadaan Pura Dang Kahyangan tidak bisa dilepaskan dari ajaran Rsi Rena dalam agama Hindu.<span class="bodytext" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: normal;"> Pura Dang Kahyangan adalah pura-pura besar yang berkaitan dengan dharma-yatra Dhang Guru terutama Dhang Hyang Dwijendra termasuk dalam Kahyangan Jagat dan juga pura-pura kerajaan yang pernah ada.</span><span class="bodytext" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: normal;"></span></div></td><td> </td></tr>
<tr><td><img height="400" src="http://www.babadbali.com/image/pura/besakih/pedarman7.gif" width="400" /></td><td><div align="justify"><span><a class="header2" href="http://www.babadbali.com/pura/kahyangan-desa.htm" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: bold;">Pura Kahyangan Desa </a></span><br />
Pura-pura yang disungsung oleh desa adat berupa <a href="http://www.babadbali.com/pura/pura-kahyangan-tiga-1.htm">Kahyangan Tiga</a> yaitu tiga buah pura yang melingkupi desa ialah Pura Desa atau Bale Agung sebagai tempat pemujaan Tuhan dalam prabhawa-Nya sebagai pencipta yaitu Brahma, Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Tuhan dalan manifestasi-Nya sebagai pemelihara yaitu Wisnu dan Pura Dalem sebagai tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai pelebur yaitu Çiwa.</div></td><td> </td></tr>
<tr><td><img height="400" src="http://www.babadbali.com/image/pura/br-tanggayuda.gif" width="400" /></td><td><div align="justify"><span><a class="header2" href="http://www.babadbali.com/pura/swagina.htm" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: bold;">Pura Swagina</a> </span><br />
<span class="bodytext" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: normal;">Pura pura ini dikelompokkan berdasarkan fungsinya sehingga sering disebut pura fungsional. Pemuja dari pura-pura ini disatukan oleh kesamaan di dalam kekaryaan atau di dalam mata pencaharian seperti; untuk para pedagang adalah Pura Melanting, para petani dengan Pura Subak, Pura Ulunsuwi, Pura Bedugul, dan Pura Uluncarik. Masih banyak lagi seperti di hotel hotel, perkantoran pemerintah maupun swasta.</span></div></td><td> </td></tr>
<tr><td><img height="400" src="http://www.babadbali.com/image/pura/dalem-sigaran.gif" width="400" /></td><td><div align="justify"><span><a class="header2" href="http://www.babadbali.com/pura/kawitan.htm" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: bold;">Pura Kawitan</a> </span><br />
<span class="bodytext" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: normal;">Pura ini sudah bersifat spesifik di mana para pemujanya ditentukan oleh asal usul keturunan atau wit dari orang tersebut. Termasuk ke dalam kategori ini adalah; Sanggah-Pemerajan, Pratiwi, Paibon, Panti, Dadia atau Dalem Dadia, Penataran Dadia, Pedharman dan sejenisnya.</span></div></td><td> </td></tr>
<tr><td><img height="400" src="http://www.babadbali.com/image/pura/penataran-agung-peed.gif" width="400" /></td><td><div align="justify"><a class="header2" href="http://www.babadbali.com/pura/cyber/cyberpura.htm" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: bold;">Pura Cyber</a><br />
Informasi tentang pura yang didapat oleh kelian dalam beberapa waktu menjadi pemulung di jagat maya. Ada yang lengkap, ada yang cuma selayang pandang, namun sangat informatif dan mengasikkan untuk dibaca. Penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada pemilik wacana, semoga keberadaan semua pura tetap lestari.</div></td><td> </td></tr>
<tr><td><img height="400" src="http://www.babadbali.com/image/pura/kancing-gumi.gif" width="400" /></td><td><div align="justify"><span><a class="header2" href="http://www.babadbali.com/tirtayatra/tirtayatra.htm" style="color: black; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 11pt; font-weight: bold;">Tirta Yatra </a></span><br />
Kumpulan catatan perjalanan spiritual metirtayatra ke beberapa pura, agar dapat menjadi pedoman para semeton yang berniat tangkil ke pura yang sama.</div></td></tr>
</tbody></table>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-35127518673260082002010-04-08T03:14:00.000-07:002010-04-08T03:14:12.992-07:00Forum Bhisama Kesucian Pura dan Pemangku Se-Bali Segera Turun<span class="Apple-style-span" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; border-collapse: collapse; color: #333333; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 16px;"></span><br />
<div style="margin-bottom: 15px; margin-top: 10px;">Denpasar (Bali Post) -<br />
Forum Bhisama Kesucian Pura dan Pemangku Sejagat Bali segera turun untuk mempertanyakan sejauh mana pencaplokan kawasan suci Danau Buyan. “Kami secepatnya berkirim surat ke DPRD Buleleng, Bupati Buleleng, PHDI Bali serta Dinas Kehutanan Bali untuk mempertanyakan hal itu,” kata Ketua Forum Bhisama Kesucian Pura dan PemangkuSejagat Bali Si Ketut Mandiranatha, S,H. usai pertemuan di Kerobokan, Rabu (21/1) kemarin.</div><div style="margin-bottom: 15px; margin-top: 10px;">Sekitar 20-50 elemen masyarakat khususnya peduli lingkungan dan bhisama kesucian pura akan bergerak 27 Januari mendatang. Pertama sekitar pukul 08.00 mereka akan bertemu pengurus PHDI Bali. Usai di PHDI Bali, pthaknya pukul 10.00 mendatangi Dinas Kehutanan Bali untuk mempertanyakan alih fungsi hutan dan terakhir di DPRD Bali. Selanjutnya akan diagendakan lagi peninjauan ke Danau Buyan. Baru kemudian digagas bertemu dengan DPRD dan Bupati Buleleng untuk mempertanyakan keluarnya izin pengembangan kawasan Danau Buyan.</div><div style="margin-bottom: 15px; margin-top: 10px;">Lolosnya izin tersebut dinilai aneh, karena Gubernur Bali sebelumnya Drs. Dewa<br />
Beratha sempat menolak investasi di kawasan suci Danau Buyan karena itu merupakan jantung kawasan lindung yang berfungsi menyediakan kebutuhan air masyarakat Bali.<br />
Ada ungkapan bijak yang disampaikan Mandiranatha kepada para pejabat dan wakil rakyat. “Man kita tanyakan kepada din kita sendiri sebagai umat Hindu apa yang bisa kita lakukan saat mi untuk menyelamatkan Bali, bukan sebaliknya apa yang kita dapat dan Bali.”</div><div style="margin-bottom: 15px; margin-top: 10px;">Forum Bhisama Kesucian Pura dan Pemangku Sejagat Bali ke Dinas Kehutanan Bali guna mempertanyakan sejauh mana alih fungsi hutan di sekitar kawasan Danau Buyan untuk kepentingan di luar fungsi lindung. Terlebih investor menyebut memohon rekomendasi kepada Gubernur Bali agar diizinkan memanfaatkan kawasan hutan di sekitar Danau Buyan 60 hektar. Sedangkan proposal investasi, penggagas PT Anantara akan membidik 900 hektar lahan milik Departemen Kehutanan di kawasan Danau Buyan.</div><div style="margin-bottom: 15px; margin-top: 10px;">Menurutnya, pencaplokan lahan hutan sampai ratusan hektar selain menyebabkan kerusakan hutan juga debit air terus mengecil. Mandiranatha juga mengisyaratkan segera membentuk pengurus forum se-Bali Sejumlah tokoh menyatakan kesiapan bergabung di dalamnya.</div><div style="margin-bottom: 15px; margin-top: 10px;">I Gusti Ngurah Mendra menyatakan siap bergabung karena danau merupakan bagian dari sad kertih yang harus disucikan umat Hindu. Sejumlah elemen dari Jembrana juga menyatakan kesiapan seperti disampaikan Ketut Sukarmen Hadi Wijaya serta Ketua Gerakan Marhaen dari Badung Drs. Ida Bagus Purwa Tatwa, SIP,, M.Si. </div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1679343201803808235.post-82905201954149709482010-04-08T03:12:00.000-07:002010-04-08T03:23:52.099-07:00DASAR HUKUM PERLINDUNGAN PURA - PHDI PUSAT<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; line-height: 14px;"><b><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;">KEPUTUSAN PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT</span></b></span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 14px;"><b><br />
</b><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"> NOMOR: 11/Kep/I/PHDIP/1994</span></span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 14px;"><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"> TENTANG </span><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">BHISAMA KESUCIAN PURA</span></b></span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 14px;"><b><br />
</b><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"> Menimbang:<br />
</span> </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 14px;"><div style="text-align: justify;">Bahwa dengan semakin berkembangnya Pembangunan Nasional pada umumnya dan pembangunan kepariwisataan pada khususnya dan demi terjaminnya kesucian Pura dengan kawasan sucinya disatu pihak dan tetap berlangsungnya Pembangunan Nasional dan Daerah dilain pihak.</div></span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 14px;"><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"> Mengingat:<br />
<br />
Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia Bab. IX Pasal 28, Pasal 29, Pasal 33 dan Pasal 34.</span> </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 14px;"><br />
Mendengar:<br />
</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 14px;"><div style="text-align: justify;">Hasil musyawarah para anggota Pesamuhan Sulinggih dan Pesamuhan Walaka serta Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat pada tanggal 25 Januari 1994 di Universitas Hindu Indonesia dengan acara membahas Kesucian Pura bagi umat Hindu.</div></span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 14px;"><br />
Memperhatikan:</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 14px;"><br />
Aspirasi Umat Hindu yang berkembang tentang Kesucian Pura</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 14px;"><br />
MEMUTUSKAN</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 14px;"><br />
Menetapkan :</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 14px;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
A. PENDAHULUAN</span><br />
</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 14px;"><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat senantiasa mendukung kebijaksanaan pemerintah dalam Pembangunan Nasional sebagaimana ditegaskan di dalam GBHN tahun 1993. Bahwa Pembangunan jangka panjang 25 tahun tahap ke II merupakan proses berlanjut, peningkatan, perluasan, dan pembaharuan dari Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun Tahap I.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">Dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap ke II Bangsa Indonesia memasuki proses tinggal landas menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">Dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Pembangunan Nasional kecenderungan- kecenderungan yang diperkirakan timbul khususnya yang berdampak negatip perlu diwaspadai, dan kendala- kendala yang muncul perlu ditanggulangi secara dini, tepat dan benar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">Mengingat Bangsa Indonesia akan segera memasuki tahap tinggal landas dan meningkatnya kemajuan Industrialisasi dan Globalisasi yang ditunjang oleh kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dimana Bali merupakan daerah wisata yang utama. Untuk menjamin kelancaran Pembangunan Nasional maka dibutuhkan landasan- landasan Pembangunan Agama Hindu dan kebudayaan secara kuat dan ampuh. Umat Hindu dituntut agar mampu mengantisipasi masalah-masalah yang merupakan dampak negatip akibat dari Pembangunan itu sendiri. Hal ini sangat penting mengingat masyarakat Hindu Indonesia khususnya Hindu di Bali bersifat sosial keagamaan. Oleh karena itu maka perlu pengkajian-pengkajian secara mendalam dan terarah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">B. UMUM</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">1. Agama Hindu dalam kitab sucinya yaitu Weda-weda telah menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan Kawasan Suci, Gunung, Danau, Campuan (pertemuan sungai), Pantai, Laut dan sebagainya diyakini memiliki nilai- nilai kesucian. Oleh karena itu Pura dan tempat- tempat suci umumnya didirikan ditempat tersebut, karena ditempat orang-orang suci dan umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu).</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
</span><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">2. Tempat- tempat suci tersebut telah menjadi pusat- pusat bersejarah yang melahirkan karya- karya besar dan abadi lewat tangan orang-orang suci dan para Pujangga untuk kedamaian dan kesejahteraan umat manusia. maka didirikanlah Pura-Pura Sad Khayangan, Dang Khayangan, Khayangan Tiga, dan lain-lain. Tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah kekeran dengan ukuran Apeneleng Apenimpug, dan Apenyengker. Untuk Pura Sad Khayangan dipakai ukuran Apeneleng Agung (minimal 5 Km dari Pura), untuk Dang Khayangan dipakai ukuran Apeneleng Alit (minimal 2 km dari Pura), dan untuk Khayangan Tiga dan lain-lain dipakai ukuran Apenimpug atau Apenyengker.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">3. Mengingat perkembangan pembangunan yang semakin pesat, dan Umat Hindu yang bersifat sosial keagamaan maka kegiatan pembangunan mengikutsertakan Umat Hindu disekitarnya, mulai dari perencanaan pelaksanaan dan pengawasan, demi kelancaran pembangunan tersebut. Agama Hindu menjadikan umatnya menyatu dengan alam lingkungan, oleh karena itu konsepsi Tri Hita Karana wajib diterapkan dengan sebaik-baiknya. Untuk memelihara keseimbangan antara pembangunan dan tempat suci, maka tempat-tempat suci (pura) perlu dikembangkan untuk menjaga keserasian dengan lingkungannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">4. Berkenaan dengan terjadinya perkembangan pembanugnan yang semakin pesat, maka pembangunan harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Didaerah Radius kesucian pura (daerah kekeran) hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan keagamaan Hindu, misalnya didirikan Dharmasala, Pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan (misalnya Tirta yatra, Dharma Wacana, Dharma Githa, Dharma Sedana dan lain-lain).</span></div><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"> C. KHUSUS</span></span><div><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 14px;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
</span><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">1. Menyadari bahwa suksesnya pembinaan umat Hindu dan kebudayaan menyebabkan keberhasilan pariwisata budaya, maka diperlukan adanya kerjasama yang sebaik- baiknya antara instansi kepariwisataan dengan PHDI dan lembaga adat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">2. Perlu diadakan pengkajian ulang yang lebih mendalam terhadap segala aktivitas pembangunan yang ada di kawasan suci Tanah Lot untuk menjaga kelestarian dan kesucian sesuai dengan ketentuan di atas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
</span></div><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"> Om Santhih, Santhih, Santhih, Om</span><br />
<br />
<br />
<span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"> Denpasar, 25 Januari 1994<br />
</span> <b><span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"> Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat</span></span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
</span> <b><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"> Ketua Umum </span></b><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;"><br />
Ida Pedanda Putra Telaga </span></span><div><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 14px;"><b>Sekretaris Jenderal</b></span></span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 14px;">Drs. Ida Bagus Suyasa Negara</span></div></div>Penyungsung :http://www.blogger.com/profile/07140568391357221827noreply@blogger.com0